Jakarta (ANTARA News Sumsel)- Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan pada Januari 2019, setidaknya 94 korban jiwa meninggal dunia akibat Demam Berdarah Dengue (DBD).
Penyakit tersebut ditularkan nyamuk Aedes Aegypti yang sudah terinfeksi virus dengue. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Ari F Syam mengatakan demam berdarah merupakan penyakit endemis di Indonesia dan kasus demam berdarah dapat ditemukan sepanjang tahun.
Semakin dini seseorang diketahui menderita demam berdarah, makin mudah ditangani dan tidak mudah jatuh ke berbagai komplikasi seperti syok dan perdarahan yang lebih sulit ditangani.
"Kasus-kasus demam berdarah seharusnya tidak datang terlambat ke rumah sakit, karena makin terlambat semakin susah untuk ditangani," kata Ari.
Permasalahannya, masyarakat kerap tidak menyadari jika terkena demam berdarah. Siklus demam berdarah yang seperti layaknya pelana kuda, membuat masyarakat seakan terlena karena demam tinggi mereda setelah tiga hari dan menganggap bahwa itu merupakan sudah sembut. Padahal fase tersebut merupakan fase kritis seseorang yang terkena DBD.
Untuk mengetahui jika mengidap demam berdarah atau tidak, maka harus melakukan cek darah di laboratorium. Uji laboratorium digunakan untuk memastikan infeksi DBD. Uji itu dilakukan dengan melakukan isolasi virus dalam kultur sel, identifikasi asam nukleat atau antigen serta deteksi antibodi spesifik terhadap virus. Hal itu dinilai tidak efesien dan efektif, karena membutuhkan waktu banyak dan biaya tidak sedikit.
Menyadari kondisi itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menciptakan kit diagnostik yang bisa mendeteksi DBD. Dengan peralatan tersebut, masyarakat bisa melakukan pengujian sendiri di rumah tanpa harus ke laboratorium atau rumah sakit.
Alat diagnostik itu merupakan pengembangan anti NS1 antibodi monoklonal (mAb) berbasis virus dengue lokal.
Penggunaannya sama seperti alat tes kehamilan, bedanya sampel yang digunakan adalah darah yang ingin diuji. Alat tersebut harus diletakkan mendatar agar darah mengalir pelan. Jika alatnya berdiri maka akan mengurangi keakuratan pendeteksian.
"Kalau ternyata yang bersangkutan positif DBD, maka garis pada alat itu dua. Sementara kalau negatif, garisnya hanya satu," kata perekayasa BPPT yang melahirkan inovasi itu, Irvan Faizal.
Alat diagnostik DBD itu dibekali satu jarum steril yang digunakan untuk melakukan tes DBD. Waktu yang diperlukan untuk mengetahui seseorang positif DBD atau tidak, hanya 10 menit saja.
Cara kerja alat itu yakni mendeteksi NS1 Dengue. Antigen NS1 merupakan protein yang dihasilkan virus dengue pada hari pertama hingga kelima pascaterjadinya infeksi.
Antigen NS1 memiliki peran besar dalam mendiagnosis infeksi dengue, karena disekresikan ke dalam konsentrasi yang cukup tinggi pada plasma atau serum penderita DBD. Antigen NS1 muncul lebih awal dibandingkan antibodi antidengue.
"Pendeteksian melalui antigen NS1 lebih efektif dibandingkan dengan deteksi antibodi IgG/IgM atau Immunoglobulin G dan Immunoglobulin M." Alat pendeteksi DBD itu disinyalir bisa menghemat banyak biaya, mulai dari biaya dokter hingga biaya laboratorium.
"Demam berdarah itu ada siklusnya. Setelah lima jam digigit nyamuk, virus masuk ke tubuh dan menyebar. Pada saat itulah mulai panas hingga tiga hari, kemudian mereda," jelas Irvan.
Dengan alat itu, bisa mendeteksi apakah panas yang diderita tersebut hanya panas biasa atau DBD. Begitu positif DBD, maka yang bersangkutan diminta ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut.
Akurat Sebenarnya alat tersebutlah bukanlah yang pertama, Irvan menyebut ada sejumlah alat pendeteksi DBD yang berasal dari luar negeri.
Akan tetapi perbedaan alat diagnostik DBD buatan BPPT ini lebih akurat dan juga lebih murah. Tingkat kearutannya mencapai 98 persen, sedangkan harganya dibawah Rp50.000. Bandingkan dengan alat diagnostik impor yang harganya sekitar Rp150.000 dan belum tentu akurat.
Perekayasa lulusan Hiroshima University, Jepang, itu mengatakan alat tersebut memiliki sejumlah keunggulan. Seperti mampu memdeteksi dini infeksi DBD, menggunakan bahan baku antibodi monoklonal berdasarkan strain lokal Indonesia, spesimen dapat berupa darah, plasma dan serum.
Alat itu juga mudah digunakan, bahkan bagi masyarakat awam sekalipun. Hasil yang diperoleh juga dapat dideteksi dengan cepat, dan tidak memerlukan alat dalam penggunaannya.
"Alat ini lebih akurat, karena menggunakan virus nyamuk lokal di Indonesia. Perlu penelitian selama tiga tahun untuk mendapatkan sampel dari Sabang sampai Merauke," tambah Irvan yang merupakan Kepala Program Kit Diagnostik DBD BPPT itu.
Virus nyamuk dari Sabang sampai Merauke itu diambil kemudian dibuat anti-DNA. Setelah itu dimasukkan ke dalam mikroba yang menghasilkan antiDNA. Uji yang dilakukan dengan melakukan isolasi virus dalam kultur sel, identifikasi asam nukleat atau antigen serta deteksi antibodi spesifik terhadap virus.
Irvan menambahkan rencananya alat pendeteksi itu akan diproduksi Kimia Farma dan akan dijual ke pasaran pada April mendatang. Dia berharap dengan adanya alat tersebut dapat mendeteksi DBD lebih dini dan mampu menyelamatkan lebih banyak nyawa.