Jamila pedagang Gulo Puan yang langka

id Gulo puan,Kuliner,Makanan khas,Kuliner palembang

Jamila pedagang Gulo Puan yang langka

Salah satu penjual gulo puan Jamila (65), sedang menjajakan gulo puan di Pelataran Masjid Agung Palembang, Jumat (4/1). (ANTARA News Sumsel/Aziz Munajar/EM/18)

Palembang (ANTARA News Sumsel) - Gulo Puan merupakan salah satu makanan tradisional khas populer di Kota Palembang sejak masa Kesultanan Melayu Palembang Darussalam yang terbuat dari susu kerbau, saat ini keberadaanya amat langka dan tidak banyak pembuat maupun penjualnya. 

Salah satu yang masih menjual Gulo Puan adalah Jamila, perempuan berusia 65 tahun berasal dari Dusun Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir, setiap hari Jumat menjualnya di pelataran Masjid Agung Palembang, ia terbilang cukup familiar dikalangan penyuka gulo puan. 

"Saya 15 tahun lebih menjual Gulo Puan di sini (Masjid Agung Palembang), kalau dulu masih agak banyak yang jual, tapi sekarang sudah langka," kata Jamila kepada Antara News Sumsel, Jumat. 

Menurutnya Gulo Puan memang termasuk panganan khas bernilai sejarah dan saat ini kurang eksis,  namun semakin digemari banyak kalangan terutama yang berusia 40 tahun ke atas, tak heran setiap kali berjualan daganganya cepat habis. 

Jamila hanya setiap hari Jumat menjajakan 4 sampai 5 kilogram gulo puan dalam sebuah panci tradisional atau dibungkus menggunakan plastik, ia ditemani anaknya yakni Ardi (35) menjajakan gulo puan ke jamaah shalat jumat masjid Agung atau pelanggan setianya. 

Jamila mengaku bukanlah pembuat gulo puan, namun dibuat oleh keluarganya di Dusun Pampangan OKI yang lebih mengetahui detail proses dan takaran dalam membuat gulo puan. 

"Saya cuma jual saja karena masih banyak yang minat, setiap Jumat pasti ada langganan beli setengah kilo atau sekilo, kalau pembuatnya keluarga di daerah Pampangan," ujar Jamila

Selain alasan ekonomi, Jamila juga punya rasa keinginan untuk terus mengeksistensikan panganan khas tersebut, ia mengungkapkan kendati masih ada pembuat gulo puan, namun tidak menurut resep aslinya alias 'palsu'. 

Ia menjelaskan gulo puan asli di buat dari susu kerbau rawa Pampangan dicampur gula pasir dan beraroma khas, sedangkan yang 'palsu' terbuat dari susu sapi serta cenderung tidak beraroma. 

Jamila menjual gulo puan seharga Rp 150.000 perkilogram atau Rp 35.000 seperempat kilogram, memang terbilang mahal sesuai proses pembuatannya yang membutuhkan 3-4 jam dan tak banyak pembuatnya lagi. 

Walaupun sudah usia lanjut, Jamila menyatakan berniat terus menjual gulo puan, saat ini dua anaknya sudah mulai mengikuti langkahnya berjualan panganan khas tersebut. 

Sementara Sejarawan dari UIN Raden Fatah Palembang Kemas Ari Panji mengatakan gulo puan merupakan panganan khas melayu bernilai sejarah yang sebenarnya hanya dibuat pada saat-saat tertentu dan dulu hanya dikonsumsi oleh para sultan. 

"Tapi nilai sejarahnya perlahan pudar akibat adanya stigma 'makanan kuno' dan pegeseran nilai budaya generasi milenial yang cenderung western (kebarat-baratan), jadi sebetulnya sekarang perlu di eksistensikan lagi gulo puan itu," jelas Kemas Ari Panji. 

Selain gulo puan lanjut Kemas, beberapa panganan tradisional Palembang juga mulai langka dijumpai seperti ragit, putu embun, enggkak, dadar jiwo, gandus, putu embun, bangkik, pare, lumpang, manam sahmin, dan kumbu kacang. 

Dia menambahkan salah satu cara mempertahankan eksistensi gulo puan dan panganan tradisional lainnya yakni dengan membuat lebih banyak sentra makanan tradisional (pusat jajanan khas), bisa dibangun oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.