Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Memasuki akhir Juli, suhu udara di Jakarta makin panas, bisa mencapai 33 derajat Celcius, yang membuat mandi keringat saat siang hari.
Bahkan, di sejumlah daerah sudah lebih dari sebulan terakhir tidak turun hujan hingga mengalami kekeringan, seperti di beberapa kabupaten di Yogyakarta, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Akibat kekeringan tersebut, masyarakat mulai sulit memperoleh air bersih untuk kebutuhan sehari-hari karena air di sumur-sumur warga mulai mengering.
Seperti masyarakat di sejumlah desa di kawasan pesisir Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah mulai kesulitan air bersih akibat kekeringan yang melanda kawasan tersebut.
Kesulitan air bersih memang sering terjadi di daerah itu saat musim kemarau. Sumber air, seperti sumur dan danau mengering, sedangkan air sungai berasa asin akibat intrusi air laut.
Saat ini, lima desa dilanda kekeringan, yakni Desa Parebok, Basawang, Regei Lestari, Kuin Permai, dan Lempuyang, sedangkan Desa Ujung Pandaran yang berada di pinggir pantai, masih tersedia air bersih dari sumur yang masih terdapat cadangan air.
Untuk memenuhi kebutuhan air, warga terpaksa membeli atau memanfaatkan cadangan air yang adam bahkan ada yang mengambil air di kubangan, seperti dilakukan warga Desa Krangkeng Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah memprediksikan puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus dan September 2018.
Saat ini, sebagian besar wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau yang diperkirakan normal dan tidak dipengaruhi El Nino yang menyebabkan kekeringan parah seperti pada 2015.
Meski tidak dibarengi dengan El Nino atau anomali suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik ekuator yang membawa dampak kekeringan di Indonesia, namun musim kemarau tahun ini sudah makin terasa dampaknya.
Dua Musim Indonesia hanya memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau yang masing-masing dipengaruhi oleh faktor tertentu sehingga menyebabkan kondisi normal atau di atas normal.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal mengatakan musim kemarau di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Monsun Australia.
"Untuk wilayah Indonesia yang paling berpengaruh menyebabkan musim kemarau adalah angin Monsun Australia atau orang sering menyebutnya angin timuran," katanya.
Saat matahari berada di utara equator, yaitu pada April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus, maka wilayah di sebelah utara equator memiliki tekanan lebih rendah daripada wilayah selatan equator.
Akibat dari peristiwa tersebut, maka angin akan bergerak dari wilayah selatan equator, yaitu Australia menuju utara (Asia). Angin ini sering dikenal dengan nama angin Monsun Australia.
Angin timuran itu membawa massa udara yang bersifat kering dan dingin sehingga wilayah di Indonesia mengalami musim kemarau.
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang panjang. Biasanya, kejadian ini muncul bila suatu daerah secara terus-menerus mengalami kurang hujan.
Untuk mengetahui kapan suatu daerah memasuki musim kemarau, jika hujan yang turun di daerah tersebut dalam dua dasarian rata-rata kurang dari 50 mm atau dalam satu bulan kurang dari 150 mm.
"Musim kemarau bukan berarti tidak ada hujan sama sekali. Di awal dan menjelang akhir musim kemarau biasanya masih ada cukup hujan, namun kalau diukur dalam sebulan jumlahnya kurang dari 150 mm," katanya.
Sementara itu, puncak musim kemarau adalah bulan di mana hujan yang turun paling minimum, sering nol mm atau dalam satu bulan tidak ada hujan sama sekali.
Yang menyebabkan musim kemarau adalah berkurangnya uap air di udara sebagai bahan untuk pembentuk awan. Uap air bervariasi jumlahnya di udara karena faktor dinamika atmosfer.
Ekstrem Tercatat sejumlah daerah telah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) ekstrem atau lebih dari 60 hari sehingga daerah-daerah tersebut perlu mewaspadai terjadinya kekeringan.
Seperti di Sape Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak mengalami hujan selama 112 hari disusul Wulandoni NTT selama 103 hari, Bali 102 hari, Kawah Ijen Jawa Timur 101 hari, Bangsri Jawa Tengah 92 hari, Daerah Istimewa Yogyakarta tepatnya di Lendah dan Srandakan selama 82 hari.
Daerah lain juga perlu mewaspadai ancaman kekeringan karena hanya memiliki curah hujan rendah di bawah 55 milimeter, yaitu sebagian besar Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Maluku Utara, bagian selatan Papua Barat, dan Papua sekitar Merauke.
Meski musim kemarau bukan berarti tidak terjadi hujan, karena sejumlah daerah diprediksi masih mengalami hujan namun dengan intensitas rendah, yaitu 0-100 mm per bulan pada Agustus 2018.
Wilayah dengan curah hujan 100-300 mm per bulan terdapat di Sumatera bagian tengah hingga utara, Kalimantan Utara, Sulawesi bagian tengah, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Curah hujan lebih dari 300 mm per bulan berpeluang terjadi di sebagian kecil Aceh dan bagian utara Sumatera Utara, Riau bagian timur, Sumatera Barat, Kalimantan Utara bagian barat, Sulawesi bagian barat, Papua Barat bagian utara, dan wilayah Pegunungan Jayawijaya.
Sifat hujan didominasi bawah normal, curah hujan atas normal berpeluang terjadi di Aceh, sebagian kecil Sumut bagian utara dan selatan, sebagian kecil Sumatera Barat, Bengkulu Utara, sebagian kecil Jawa Timur bagian timur, sebagian kecil NTB dan NTT, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Sulawesi Utara dan Gorontalo, bagian utara Papua Barat dan Papua di sekitar Pegunungan Jayawijaya.
Saat ini juga berpeluang terjadi gelombang laut dengan ketinggian ekstrem yang diprediksi mencapai enam meter di sejumlah perairan.
Kondisi tersebut karena dipengaruhi faktor masuknya periode puncak musim kemarau, yaitu pada Juli dan Agustus, khususnya wilayah Indonesia bagian selatan, yakni Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Faktor lainnya karena hembusan massa udara atau angin yang dingin dan kering dari wilayah Australia yang berdampak pada minimnya potensi hujan dan terjadinya peningkatan kecepatan angin mencapai 35-50 kilometer per jam.
Saat ini juga, terjadi kondisi tekanan udara tinggi yang bertahan di Samudera Hindia, tepatnya di sebelah barat Australia atau disebut Mascarene High yang memicu gelombang tinggi di perairan selatan Indonesia.
Hal ini disebabkan kecepatan angin yang tinggi disekitar Mascarene High dan terjadinya alun yang dibangkitkan oleh Mascarene High tersebut dan hal itu menjalar hingga perairaan barat Sumatera, selatan Jawa, hingga Pulau Sumba.
Kondisi gelombang tinggi ini diprediksikan akan berlangsung selama sepekan ke depan dengan puncaknya pada 24-25 Juli 2018.
Distribusi Air Upaya penanganan kekeringan yang sudah dilakukan pemerintah antara lain mendistribusikan air bersih kepada warga.
Hal itu, seperti yang dilakukan oleh Kementerian Sosial yang mengoptimalkan berbagai potensi serta sarana yang ada, termasuk relawan untuk menangani dampak kekeringan.
Contohnya di Yogyakarta, sebanyak 119 tangki air bersih sudah didistribusikan ke daerah yang mengalami kekeringan, seperti di Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul.
Prediksi terjadinya musim kemarau seharusnya menjadi pegangan masyarakat dan pemerintah untuk menghadapi ancaman kekeringan.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan misalnya dengan membuat embung untuk penampungan air, waduk, dan yang terpenting penghijauan di daerah-daerah sumber air.
Namun, upaya yang dilakukan memang tidak mudah dan berbuah instan, karenanya kekeringan masih menjadi ancaman.