Pasuruan (ANTARA News Sumsel) - Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara eksplisit menyebutkan media massa sebagai salah satu pilar perlindungan anak.
Pemerintah dianggap tidak bisa bekerja sendiri dalam mewujudkan perlindungan anak. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, empat pilar perlindungan anak, adalah pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan media Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga menyebutkan salah satu fungsi pers selain informasi, hiburan, dan kontrol sosial, juga pendidikan.
Anak adalah masa depan dan investasi suatu bangsa. Oleh karena itu, media sebagai salah satu pilar harus diperkuat untuk melindungi anak-anak Indonesia.
Salah satu sasaran yang ingin dicapai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah Indonesia Layak Anak (Idola) 2030. Sasaran itu merupakan sasaran antara menuju Generasi Emas 2045.
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny R Rosalin mengatakan pada 2045, sekitar 70 persen penduduk Indonesia usia produktif.
"Karena itu, dari awal harus ada intervensi agar kita fokus pada sumber daya manusia. Bila tidak ada intervensi, 2045 kita hanya akan memiliki sumber daya manusia yang apa adanya," katanya.
Apalagi, permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak-anak Indonesia masih terus terjadi. Oleh karena itu, perlu peran media agar pemberitaannya juga lebih ramah anak.
Media berperan mengedukasi masyarakat, terutama keluarga, baik yang sudah memiliki anak maupun akan memiliki anak, agar proses tumbuh kembang anak terlaksana dengan baik.
Salah satu upaya untuk memainkan peran media sebagai salah satu pilar perlindungan anak adalah memberitakan anak secara seimbang.
Lenny meminta pemberitaan media massa tidak hanya tentang gambaran suram tentang anak-anak.
"Tolong media beri potret tentang anak yang seimbang. Berita yang buruk, diimbajjjngi dengan berita yang baik," tuturnya.
Menurut Lenny, media jangan hanya memberitakan tentang permasalahan dan pelanggaran-pelanggaran hak anak.
Media juga perlu memberitakan hal-hal yang baik dan membangun tentang anak dan upaya-upaya perlindungan anak.
"Jangan hanya anak-anak bermasalah saja yang diberitakan. Angkat juga anak-anak yang berprestasi," ujarnya.
Untuk mengupayakan agar pemberitaan di media massa lebih baik dan membangun dalam upaya perlindungan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sedang mengupayakan kerja sama dengan Komisi Pernyiaran Indonesia (KPI).
Hal itu agar lembaga-lembaga penyiaran bisa menyiarkan tayangan-tayangan yang lebih ramah anak, termasuk mengangkat pemberitaan-pemberitaan tentang hal-hal baik dalam upaya perlindungan anak.
"Saya juga sudah sempat berdikusi dengan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo yang menyambut baik hal itu," tuturnya.
Media Penyiaran Sementara itu, Komisioner KPI Dewi Setyarini mengatakan sejumlah peraturan mengatur tentang perlindungan anak terhadap media penyiaran, mulai dari Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).
Undang-Undang Nomor Perlindungan Anak mengatur hak anak dalam media, yaitu menyampaikan pendapat, berpartisipasi, berpikir, dan mendapat informasi yang bermanfaat.
Menurut Pasal 36 Ayat (2) Undang-Undang Penyiaran, isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat.
Lembaga penyiaran juga diwajibkan mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Klasifikasi khalayak berdasarkan isi siaran meliputi prasekolah, anak-anak, remaja, dewasa, dan semua umur.
"Adapun poin-poin penting perlindungan anak dalam P3-SPS adalah kewajiban lembaga penyiaran mengutamakan kepentingan anak dalam setiap program siaran serta perlindungan dari pornografi dan unsur seksualitas dan eksploitasi anak dalam tayangan," katanya.
Selain itu, P3-SPS juga mengatur larangan menampilkan adegan kekerasan verbal maupun visual, perlindungan anak dari unsur mistik dan kewajiban muatan positif dan sesuai psikologi anak serta bebas dari klenik, sihir, mistik, dan horor.
"Juga ada larangan menjadikan anak sebagai narasumber di luar kapasitasnya serta kewajiban penyamaran identitas dalam kasus kejahatan seksual dan penegakan hukum," tuturnya.
Mengapa media harus memiliki perspektif perlindungan anak? Dewi mengatakan anak sangat mudah terkena dampak negatif media.
Jumlah anak di Indonesia mencapai 87 juta jiwa atau sepertiga dari total jumlah penduduk Indonesia. Sebagian penikmat media adalah anak-anak.
Oleh karena itu, anak-anak harus dilindungi dari dampak negatif media dan media harus memiliki perspektif perlindungan anak karena anak-anak memiliki sifat imitatif dan adaptif.
Padahal, di Indonesia, generasi Z atau yang berusia dua tahun hingga 20 tahun menghabiskan sekitar lima jam 18 menit setiap hari untuk mengonsumsi televisi, sedangkan generasi milenial yang berusia 21 tahun hingga 37 tahun menghabiskan waktu empat jam 52 menit.
Hal itu jauh berbeda dengan di Amerika Serikat, generasi Z dan generasi milenial menghabiskan sekitar dua jam untuk menonton televisi.
"Sifat media penyiaran saat ini masuk ke dalam ruang privat anak tanpa diundang. Bisa dikatakan, televisi sudah menjadi bagian dari keluarga," katanya.
Langgar Hak Agak berbeda dari harapan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) justru menemukan pemberitaan media yang masih kerap melanggar hak-hak anak saat menjadi pelaku, korban, maupun saksi tindak kejahatan.
Pemantauan yang KPAI lakukan menemukan pemberitaan pers seringkali melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan pemberitaan media seringkali mengungkap secara jelas identitas anak sebagai pelaku, korban, maupun saksi tindak kejahatan. Itu suatu hal yang jelas dilarang dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Menurut Retno, hal itu jelas merupakan pelanggaran pidana yang bisa mendapatkan sanksi penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
"Sanksi itu bisa digunakan anak dan keluarganya yang menjadi korban pemberitaan media bila hak-haknya dilanggar dan dapat membahayakan diri," katanya.
Sayangnya, kata Retno, menurut Undang-Undang Sistem Pidana Peradilan Anak, yang dapat mengadukan pemberitaan yang melanggar hak anak tersebut hanya anak dan keluarganya.
"Itu yang menjadi hambatan karena KPAI tidak bisa mengadukan. Karena itu kami mendorong agar KPAI juga dimungkinkan untuk mengadukan pelanggaran hak anak di media massa kepada Dewan Pers," tuturnya. (T.D018)
Media salah satu pilar perlindungan anak
Tolong media beri potret tentang anak yang seimbang. Berita yang buruk, diimbangi dengan berita yang baik