Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan Pekan Imunisasi Dunia pada setiap pekan terakhir April, 24-30 April setiap tahun.
Imunisasi telah menyelamatkan jutaan nyawa dan secara luas diakui sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling berhasil dan efektif menghemat biaya kesehatan di dunia.
Pekan Imunisasi Dunia memfokuskan pada tindakan kolektif yang diperlukan dalam menjamin setiap orang terlindungi dari penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi.
Vaksin merupakan produk yang menghasilkan kekebalan terhadap penyakit dan dapat diberikan melalui jarum suntik, melalui kulit atau mulut, dan juga dapat dengan penyemprotan.
Sedangkan vaksinasi adalah tindakan penyuntikan organisme yang mati atau dilemahkan yang akan menghasilkan kekebalan tubuh terhadap organisme tersebut.
Untuk ikut berpartisipasi pada Pekan Imunisasi Dunia 2018, Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengadakan seminar bertema "Capai Imunisasi Lengkap: Bersama Melindungi dan Terlindungi" di Jakarta, Rabu.
Meskipun sudah kerap dikampanyekan, fakta tentang imunisasi di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Pada kurun waktu 2014-2016, terdapat 1.716.659 anak di Indonesia belum mendapat imunisasi dan imunisasinya tidak lengkap.
"Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, beberapa alasan yang menyebabkan bayi tidak mendapatkan imunisasi antara lain takut panas, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk, sering sakit dan tidak tahu tempat imunisasi,", kata Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan drg Vesya Sitohang.
Vesya mengatakan anak panas akibat imunisasi sebenarnya merupakan reaksi wajar dari imunisasi sehingga orang tua tidak perlu khawatir dan takut. Beberapa hari setelah imunisasi, biasanya anak memang mengalami demam.
Sedangkan alasan orang tua tidak mengizinkan, Vesya mengatakan perlu ada sosialisasi untuk memberi pemahaman kepada masyarakat agar mengerti arti penting imunisasi bagi kesehatan anak.
Bisa Dicegah Ketua Satuan Tugas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) Prof dr Cissy B Kartasasmita mengatakan terdapat tujuh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi sehingga anak perlu mendapatkan imunisasi yang lengkap.
Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) adalah polio, hepatitis B, pertusis, difteri, haemophilus influenzae tipe B, campak dan tetanus.
PD3I masih menjadi ancaman kesehatan di dunia. Angka kejadian PD3I masih tinggi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kejadian penyakit menular di Indonesia cenderung menjadi kejadian luar biasa (KLB) yang mengakibatkan angka kematian tinggi dan biaya pengobatan individu meningkat yang menambah biaya kesehatan nasional.
Karena itu, anak harus mendapatkan imunisasi lengkap baik imunisasi dasar maupun imunisasi lanjutan.
Sementara itu, Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia (Perdalin) dr Hindra Irawan Satari mengatakan vaksin diproduksi melalui riset yang panjang serta menggunakan standar praktik kesehatan yang baik serta berdasarkan etika ketat.
Meski telah dilisensi, vaksin tetap dipantau baik oleh pemerintah, maupun badan independen yang kompeten, kata Hindra.
Pembentukan vaksin dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap praklinis dan tahap klinis. Pada tahap praklinis, riset dilakukan di laboratorium dan pada binatang, termasuk di dalamnya identifikasi, kreasi konsep vaksin, evaluasi khasiat vaksin, dan standar pembuatan vaksin.
Sedangkan pada tahap klinis, vaksin diujikan kepada manusia selama bertahun-tahun dalam empat fase berdasarkan prinsip etika ketat dan persetujuan relawan, serta fokus pada keamanan dan khasiat.
Bila vaksin terbukti aman dan berkhasiat, maka dilakukan lisensi di negara-negara tertentu. Di Indonesia, dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan berdasarkan rekomendasi Komisi Nasional Penilai Obat Jadi.
Peran Media Salah satu pihak yang berperan dalam mengampanyekan arti penting imunisasi adalah media massa. Namun, seiring dengan sejumlah kampanye yang dilakukan kelompok-kelompok antivaksin, pemberitaan sejumlah media pun kerap menambah keraguan masyarakat terhadap imunisasi.
Karena itu, Ketua I Pengurus Pusat IDAI dr Piprim Basarah Yanuarso meminta media massa tidak memberitakan tentang imunisasi secara provokatif yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
"Misalnya, membuat judul 'Bayi Meninggal Dunia Setelah Diimunisasi' tanpa mengecek apakah benar kematian bayi tersebut ada hubungannya dengan imunisasi atau tidak," kata Piprim.
Piprim mengatakan memang ada yang disebut kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI). KIPI adalah semua kejadian medis yang terjadi setelah imunisasi, yang menjadi perhatian dan diduga berhubungan dengan imunisasi, bisa berupa gejala, tanda, penyakit atau hasil pemeriksaan laboratorium.
Masalahnya, banyak media massa yang kemudian melaporkan semua kejadian yang terjadi setelah pasien diimunisasi dan pemberitaanya seolah mengarahkan kejadian itu akibat imunisasi.
"Misalnya, setelah imunisasi bayi dibawa pulang naik ojek, lalu ojeknya kecemplung parit dan bayi menderita patah tangan dan kaki, kemudian dilaporkan dengan judul "Bayi Tulang dan Kaki Setelah Diimunisasi'," tuturnya.
Pada seminar itu juga terungkap bahwa kejadian bayi berumur dua bulan yang meninggal setelah diimunisasi, yang sempat diberitakan sejumlah media massa, ternyata disebabkan pendarahan di kepala karena bayi tersebut terjatuh empat hari sebelum imunisasi.
Pemberitaan media massa tentang penyebab kematian bayi yang sebenarnya itu tidak mendapatkan porsi yang berimbang dibandingkan berita yang seolah mengaitkan kematian bayi tersebut dengan imunisasi.
Halal Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh mengatakan pengadaan vaksin halal merupakan jawaban ampuh untuk mempercepat cakupan imunisasi di Indonesia.
Penyediaan vaksin yang aman dan halal adalah tanggung jawab negara dalam memenuhi hak anak, yaitu pemenuhan hak kesehatan dan keagamaan anak.
Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu mengatakan keamanan vaksin merupakan upaya memenuhi hak kesehatan anak, sedangkan kehalalan vaksin untuk memenuhi hak keagamaan anak.
Kedua hak itu dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah undang-undang yang berlaku di Indonesia.
"Ketiadaan keduanya, berarti pelanggaran. Anak harus diberikan hak-haknya, tidak boleh pemenuhan salah satu hak mengesampingkan hak-hak yang lain," tuturnya.
Deputi Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga itu mengatakan vaksin harus aman dan sesuai norma agama agar masyarakat tidak ragu mengimunisasi anaknya.
Pada 2002, MUI mengeluarkan fatwa tentang penggunaan vaksun polio khusus IPV. Menurut fatwa tersebut pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari atau mengandung benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
Namun, pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.
Begitu pula pada 2005, MUI mengeluarkan fatwa tentang penggunaan vaksin polio oral (OPV) yang menyatakan pemberian vaksin OPV kepada kepada seluruh balita, dibolehkan sepanjang belum ada OPV jenis lain yang produksinya menggunakan media dan proses yang sesuai dengan syariat Islam.
"Fatwa MUI yang membolehkan imunisasi polio akhirnya diterima masyarakat dan nyaris tidak ada masalah," katanya.
Tentang imunisasi secara keseluruhan, MUI juga telah mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi.
Menurut fatwa tersebut, imunisasi pada dasarnya dibolehkan atau mubah sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
Fatwa tersebut juga mensyaratkan vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci dan penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis hukumnya haram.
Namun, terkait hukum haram vaksin yang berbahan haram dan atau najis, fatwa tersebut mengecualikan bila digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci, dan ada keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
Kemudian, fatwa tersebut juga menyebutkan dalam hal bila seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan.
Berita Terkait
Dinkes OKU jemput bola pemberian imunisasi polio
Senin, 9 September 2024 20:03 Wib
Dinkes OKU capai target nasional pemberian imunisasi polio
Jumat, 6 September 2024 17:05 Wib
46.764 anak di OKU sudah peroleh imunisasi polio
Jumat, 2 Agustus 2024 18:54 Wib
Dinas Kesehatan OKU kerahkan 659 pos pelayanan vaksin polio
Kamis, 25 Juli 2024 21:00 Wib
Pj Bupati Banyuasin Muhammad Farid launching PIN Polio
Rabu, 24 Juli 2024 9:17 Wib
OKI targetkan 104.200 anak untuk vaksin polio pada PIN 2024
Rabu, 24 Juli 2024 8:00 Wib
PJ Bupati Muba melaunching Pekan Imunisasi Nasional
Selasa, 23 Juli 2024 12:04 Wib
Sasaran anak 0-7 tahun, Dinkes Palembang gencarkan pekan imunisasi polio
Rabu, 17 Juli 2024 20:00 Wib