Antropolog: Intoleran akibat dangkalnya pemahaman nilai keagamaan

id umat, agama, Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD, Antropolog, pengamat, pemahaman agama, nilai keagamaan, intoleransi

Kupang (Antarasumsel.com) - Antropolog Budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD berpendapat maraknya praktik intoleransi dewasa ini sebagai akibat dari dangkalnya pemahaman seseorang tentang nilai-nilai keagamaan.

"Disparitas pemahaman terhadap nilai-nilai agama ini dapat diatasi dengan dialog karya dan dialog kehidupan yang sudah berlangsung selama ini di seluruh Indonesia," kata Gregor Neonbasu kepada Antara di Kupang, Senin.

Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan fenomena perilaku intoleransi yang berkembang akhir-akhir ini dan pemahaman tentang keagamaan.

Menurut dia, pemahaman terhadap suatu agama jelas memerlukan pula pengenalan akan konteks relasional, maupun segala ikhwal yang berkaitan dengan aspek evolusi atau historisitas agama yang bersangkutan.

"Persoalan kita ada pada disparitas politik dan lebih utama pada kehausan akan kekuasaan, yang kemudian merambah pada salah menempatkan simbol-simbol agama pada tempat yang tidak benar," katanya.

Menurut dia, sebetulnya semua agama selalu membimbing para penganutnya untuk bersikap toleran, moderat, saling menghormati, selalu setia dalam harmonisasi, tidak hura-hura, selalu aman dan damai, tidak mengata-ngatai sesama di muka publik, lemah lembut, rendah hati dan selalu menghormati orang lain.

Ia mengatakan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kini, seakan tercabik dan terkeping-keping akibat salah persepsi masyarakat terhadap agama.

Menurut Neonbasu, masuknya agama di ruang publik dalam perebutan kekuasaan tidak selalu berpangkal pada ketidak-pahaman keagamaan rakyat jelata.

Sumbernya justru ada pada pundak para politisi kelas atas yang masih menyimpan berbagai kenangan tidak manis dalam mengemas serta menyikapi citra politik masa silam.

Artinya, masyarakat kecil hanyalah alat untuk mengungkap perasaan politik yang tidak diidentifikasi dan diapresiasi secara benar dan lebih realistis, demikian Gregor Neonbasu.