Riamon sebut dirinya lugu dan polos dalam pledoi
...terdakwa dalam keterangan dihadapan majelis hakim mengakui tidak memahami "kourum" dan tata cara pengesahan RAPBN...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Ketua DPRD nonaktif Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Riamon Islandar menyebut dirinya lugu dan polos dalam nota pembelaannya yang dibacakan pada sidang di Pengadilan Tipikor Palembang, Senin.
"Seperti diketahui bahwa terdakwa orangnya lugu dan polos, minim pendidikan formal dan baru lima bulan menjadi ketua DPRD Muba," kata penasihat hukum membacakan pledoi terdakwa di hadapan majelis hakim yang diketuai Pharlas Nababan, dengan anggota Gustina Ariyani, dan Eliwarti.
Majelis hakim diharapkan mempertimbangkan fakta bahwa uang suap tersebut tidak digunakan terdakwa tapi diserahkan ke partai untuk kepentingan mengikuti kongres.
Atas dasar itu, terdakwa menilai lebih tepat dijerat dengan Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi. (Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.00 dan paling banyak Rp250.000.000).
Terdakwa tidak sependapat dengan pasal yang dikenakan jaksa yakni Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 KUH Pidana
Terdakwa menyampaikan keberatan atas tuntutan jaksa berupa hukuman pidana penjara selama 5,5 tahun denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.
"Apabila tidak sependapat, meminta hakim mempertimbangkan fakta di persidangan untuk memutuskan seadil-adilnya," kata terdakwa melalui penasihat hukumnya.
Sebelumnya, berdasarkan fakta dipersidangan terungkap bahwa terdakwa dalam keterangan dihadapan majelis hakim mengakui tidak memahami "kourum" dan tata cara pengesahan RAPBN.
Saat menerima setoran uang pertama sebesar Rp99 juta, Riamon tidak mengetahui bahwa uang itu merupakan pemberian dari pemkab. Sementara untuk setoran kedua Rp200 juta (kemudian dibagikan ke tiga pimpinan DPRD lainnya) merupakan atas perintah Islan Hanura (terdakwa ketiga).
"Terdakwa meminta keringanan hukuman karena memiliki lima orang anak dan yang paling bungsu baru berusia dua bulan dan menjadi tulang punggung keluarga," demikian pledoi.
Menanggapi pledoi terdakwa, Ketua Tim Jaksa Penutut Umum KPK Mohammad Wirasakjaya mengatakan tetap pada tuntutan.
"Apa yang dimintakan oleh terdakwa sudah diuraikan dalam materi tuntutan, sehingga jaksa tetap pada tuntutan," kata Wirasakjaya.
Kasus suap terungkap setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan di kediaman Bambang Karyanto pada 19 Juni 2015.
Pada saat ini, dilakukan penyerahan sisa kesepakatan suap yang menjadi angsuran ketiga yakni senilai Rp2,56 miliar, sementara ansuran pertama Rp2,65 miliar dan angsuran kedua Rp200 juta khusus untuk empat pimpinan DPRD sudah diserahkan lebih dahulu.
KPK kemudian menyeret empat pimpinan DPRD Muba, Riamond Iskandar (ketua), Darwin AH (wakil), Islan Hanura (wakil), dan Aidil Fitri (wakil) ke meja hijau, demikian juga Bupati Pahri Azhari dan istrinya Lucianty.
"Seperti diketahui bahwa terdakwa orangnya lugu dan polos, minim pendidikan formal dan baru lima bulan menjadi ketua DPRD Muba," kata penasihat hukum membacakan pledoi terdakwa di hadapan majelis hakim yang diketuai Pharlas Nababan, dengan anggota Gustina Ariyani, dan Eliwarti.
Majelis hakim diharapkan mempertimbangkan fakta bahwa uang suap tersebut tidak digunakan terdakwa tapi diserahkan ke partai untuk kepentingan mengikuti kongres.
Atas dasar itu, terdakwa menilai lebih tepat dijerat dengan Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi. (Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.00 dan paling banyak Rp250.000.000).
Terdakwa tidak sependapat dengan pasal yang dikenakan jaksa yakni Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 KUH Pidana
Terdakwa menyampaikan keberatan atas tuntutan jaksa berupa hukuman pidana penjara selama 5,5 tahun denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.
"Apabila tidak sependapat, meminta hakim mempertimbangkan fakta di persidangan untuk memutuskan seadil-adilnya," kata terdakwa melalui penasihat hukumnya.
Sebelumnya, berdasarkan fakta dipersidangan terungkap bahwa terdakwa dalam keterangan dihadapan majelis hakim mengakui tidak memahami "kourum" dan tata cara pengesahan RAPBN.
Saat menerima setoran uang pertama sebesar Rp99 juta, Riamon tidak mengetahui bahwa uang itu merupakan pemberian dari pemkab. Sementara untuk setoran kedua Rp200 juta (kemudian dibagikan ke tiga pimpinan DPRD lainnya) merupakan atas perintah Islan Hanura (terdakwa ketiga).
"Terdakwa meminta keringanan hukuman karena memiliki lima orang anak dan yang paling bungsu baru berusia dua bulan dan menjadi tulang punggung keluarga," demikian pledoi.
Menanggapi pledoi terdakwa, Ketua Tim Jaksa Penutut Umum KPK Mohammad Wirasakjaya mengatakan tetap pada tuntutan.
"Apa yang dimintakan oleh terdakwa sudah diuraikan dalam materi tuntutan, sehingga jaksa tetap pada tuntutan," kata Wirasakjaya.
Kasus suap terungkap setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan di kediaman Bambang Karyanto pada 19 Juni 2015.
Pada saat ini, dilakukan penyerahan sisa kesepakatan suap yang menjadi angsuran ketiga yakni senilai Rp2,56 miliar, sementara ansuran pertama Rp2,65 miliar dan angsuran kedua Rp200 juta khusus untuk empat pimpinan DPRD sudah diserahkan lebih dahulu.
KPK kemudian menyeret empat pimpinan DPRD Muba, Riamond Iskandar (ketua), Darwin AH (wakil), Islan Hanura (wakil), dan Aidil Fitri (wakil) ke meja hijau, demikian juga Bupati Pahri Azhari dan istrinya Lucianty.