Bersama menjaga martabat Bahasa Indonesia
Sementara erupsi, Bahasa Indonesia juga memiliki kata asli, yakni meletus. Lagi-lagi penggunaan kata meletus dan letusan ini memerlukan ketelitian dalam menggunakannya. Kalau kata erupsi bisa digunakan untuk segala konteks dan maksud maka meletus dan letusan memerlukan kejelian.
Misalnya untuk menjelaskan fakta bahwa Gunung Merapi mengeluarkan debu, kata yang pas adalah meletus, sementara kata letusan digunakan untuk menjelaskan lebih luas mengenai penyebab atau dampak dari gunung yang oleh penduduk lokal biasa disebut gunung sedang "batuk".
Mengapa kecenderungan menggunakan diksi dari bahasa asing itu harus kita ingatkan?
Pertama, untuk menjaga agar kekayaan kata yang kita miliki itu tidak punah karena jarang digunakan. Menyerap kata dari luar Bahasa Indonesia sebetulnya tidak ada masalah jika memang kata dimaksud tidak ada dalam bahasa kita.
Bisa kita bayangkan jika dengan sangat mudah kita menyerap kata asing menggantikan kata asli, keajekan bahasa yang perlu kita jaga bersama ini akan susah untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Tidak perlu heran jika dalam 10 atau 20 tahun ke depan bangsa kita tidak terbiasa lagi menggunakan kata "kamu" karena berganti dan kita terlalu sering menggunakan sebutan "you" atau "antum".
Selain mewariskan masalah keajekan bagi anak cucu, pengabaian terhadap dampak mengambil kata asing dengan seenaknya juga akan mewariskan masalah bagi orang asing yang ingin menguasai Bahasa Indonesia.
Warga asing yang telah bersusah payah belajar Bahasa Indonesia akan kesulitan mencerna apa maksud dari kalimat yang kita susun dalam model gado-gado dengan bahasa asing.
Belum ada kecenderungan anak milenial saat begitu mudah membuat pelesetan satu maksud dalam satu kata baru. Karena berlandaskan kesepakatan, seolah-olah kata tersebut sudah menjadi bagian dari diksi Bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, mereka yang kata-kata atau kalimatnya sering menjadi perhatian masyarakat umum, termasuk mungkin menjadi panutan, harus memelopori sikap berhati-hati dalam menggunakan Bahasa Indonesia.
Misalnya untuk menjelaskan fakta bahwa Gunung Merapi mengeluarkan debu, kata yang pas adalah meletus, sementara kata letusan digunakan untuk menjelaskan lebih luas mengenai penyebab atau dampak dari gunung yang oleh penduduk lokal biasa disebut gunung sedang "batuk".
Mengapa kecenderungan menggunakan diksi dari bahasa asing itu harus kita ingatkan?
Pertama, untuk menjaga agar kekayaan kata yang kita miliki itu tidak punah karena jarang digunakan. Menyerap kata dari luar Bahasa Indonesia sebetulnya tidak ada masalah jika memang kata dimaksud tidak ada dalam bahasa kita.
Bisa kita bayangkan jika dengan sangat mudah kita menyerap kata asing menggantikan kata asli, keajekan bahasa yang perlu kita jaga bersama ini akan susah untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Tidak perlu heran jika dalam 10 atau 20 tahun ke depan bangsa kita tidak terbiasa lagi menggunakan kata "kamu" karena berganti dan kita terlalu sering menggunakan sebutan "you" atau "antum".
Selain mewariskan masalah keajekan bagi anak cucu, pengabaian terhadap dampak mengambil kata asing dengan seenaknya juga akan mewariskan masalah bagi orang asing yang ingin menguasai Bahasa Indonesia.
Warga asing yang telah bersusah payah belajar Bahasa Indonesia akan kesulitan mencerna apa maksud dari kalimat yang kita susun dalam model gado-gado dengan bahasa asing.
Belum ada kecenderungan anak milenial saat begitu mudah membuat pelesetan satu maksud dalam satu kata baru. Karena berlandaskan kesepakatan, seolah-olah kata tersebut sudah menjadi bagian dari diksi Bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, mereka yang kata-kata atau kalimatnya sering menjadi perhatian masyarakat umum, termasuk mungkin menjadi panutan, harus memelopori sikap berhati-hati dalam menggunakan Bahasa Indonesia.