Ada apa di Kampung Tugu

id Kampung Tugu, Jakarta Utara, Kampung Portugis

Ada apa di Kampung Tugu

Dokumentasi. Warga keturunan Portugis menyalakan lilin saat ziarah ke makam anggota keluarga mereka pada malam Natal di kompleks Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Tugu, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (24/12/2019). Ziarah tersebut menjadi tradisi keluarga keturunan Portugis di Kampung Tugu menjelang Hari Raya Natal. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Jakarta (ANTARA) - Musik keroncong Tugu dalam lagu berjudul Oud Batavia mengalun merdu membelai syahdu gendang telinga pada awal 50 peserta Walking Tour tiba di Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Andre Juan Michiels, keturunan warga negara Portugis generasi ke-10 yang tergabung dalam grup musik Krontjong Toegoe, menceritakan bahwa mereka adalah grup musik yang berdiri sejak 1988 dan masih melestarikan musik keroncong Tugu sampai saat ini.

Berangkat dari sejarah panjang, musik asli Indonesia yang lahir di kawasan berjuluk Kampung Portugis itu masih bisa dinikmati hingga sekarang.

Termasuk lagu Oud Batavia yang menceritakan tentang Batavia tempo dulu, yakni suatu suasana pada masa itu yang membuat penulis lagunya terkesan hingga terinspirasi menciptakan syair-syair yang unik dalam bahasa campuran Melayu dan Belanda.

Selesai bernyanyi, Andre pun coba mengenalkan sejarah Kampung Tugu. Kampung Tugu merupakan salah satu kampung tertua di Jakarta dan ditempati oleh nenek moyangnya (generasi pertama warga negara Portugis) sejak tahun 1661.

Kaum Mardijkers (tawanan perang Belanda yang dimerdekakan dan dibawa ke Batavia) kemudian membuka lahan dan bercocok tanam, menangkap ikan, hingga berburu.

Adapun bukti sejarah bahwa Kampung Tugu merupakan kampung tertua di Jakarta, antara lain terlihat dari keberadaan gedung Gereja Tugu, Cilincing, Jakarta Utara.

Gedung tersebut terakhir dibangun kembali pada tahun 1747 oleh tuan tanah Belanda Justinus van der Vinch karena sempat rusak. Namun pembangunan kembali gedung itu tetap mempertahankan mimbar dan jendela yang masih autentik.

Hingga kini, Gereja Tugu masih bertahan dan digunakan sebagai tempat peribadatan masyarakat Tugu dan sekitarnya.

Gedung gereja itu pun masih menghadap ke timur, bukan menghadap ke Jalan Raya Tugu di sisi utara. Hal itu karena dulu akses ke Kampung Tugu adalah dari saluran Kali Gomati.

Pada zaman itu, kali atau sungai tersebut merupakan akses utama masyarakat di sana untuk bermobilitas.

Kali Gomati dibangun pada abad V Masehi pada masa Kerajaan Tarumanegara di bawah kekuasaan raja ketiga, Purnawarman.

Panjang Kali Gomati 6.112 tumbak atau sekitar 12 kilometer, selesai dibangun setelah digarap  selama 21 hari.

Selesai pembangunan Kali Gomati, Raja Purnawarman membuat prasasti yang kini dikenal sebagai Prasasti Tugu, salah satu prasasti bersejarah yang tersimpan di Museum Nasional Indonesia atau juga dikenal Museum Gajah.

Prasasti Tugu diukir dengan huruf Pallawa dan sempat membuat terkesan Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako saat berkunjung ke Gedung A Museum Nasional Indonesia pada ruang Organisasi Sosial lantai 3, 20 Juni 2023.