Ada apa di Kampung Tugu
Prasasti Tugu menceritakan jejak sejarah keterkaitan harmoni antara manusia Nusantara dengan alam guna menjaga keberlanjutan lingkungan, khususnya pada tata kelola air.
Kali Gomati kala itu dibangun untuk mengairi sawah dan mencegah banjir. Namun seiring perjalanan waktu, berkembang menjadi sarana lalu lintas perdagangan dan pelayaran antardaerah.
Di lokasi Prasasti Tugu saat itu ditemukan apa yang disebut Batutumbuh di Tugu, Jakarta Utara. Penamaan daerah penemuan sebagai Batutumbuh juga ada kaitannya dengan penemuan Prasasti Tugu.
Karena tanah di Tugu, Jakarta Utara, tergerus, maka semakin kelihatan dasarnya terkubur batu. Karena batu semakin muncul ke permukaan, maka oleh masyarakat sekitar akhirnya disebut sebagai "batu tumbuh".
Benda bersejarah itu kemudian diidentifikasi dan dinyatakan sebagai prasasti bersejarah, lalu dipindahkan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau yang kini dikenal sebagai Museum Nasional pada 1911 setelah sebelumnya diletakkan sementara di Gereja Tugu yang terletak di Kampung Tugu.
Kampung yang menyimpan sejarah masa lalu Jakarta itu masih bisa dinikmati hingga kini. Dari perjalanan sejarah Kampung Tugu itu hendaknya membuat warga belajar, betapa penting menjaga tradisi agar tetap lestari hingga nanti.
Tujuannya, aga masyarakat pada masa mendatang tidak lupa bagaimana leluhurnya memiliki beberapa kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan air.
Kultur menjaga air tetap mengalir merupakan keharusan bagi generasi penerus pada masa mendatang.
Untuk memperingati Hari Pariwisata Sedunia, 50 peserta diundang mengikuti kegiatan Walking Tour di Kampung Portugis Tugu oleh Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Kota Jakarta Utara berkolaborasi dengan Wisata Kreatif Jakarta, pada akhir September ini.
Sebanyak 50 orang yang terlibat sebagai peserta kegiatan itu terdiri atas unsur komunitas, vlogger, pelajar, Abang None Jakarta Utara, dan sejumlah unit kerja perangkat daerah terkait.
Kasudin Parekraf Kota Jakarta Utara Shinta Nindyawati menyatakan bahwa generasi saat ini harus bangga bahwa Jakarta Utara memiliki kekayaan yang luar biasa, mulai dari sejarah, budaya, kearifan lokal mengelola air.
Krontjong Toegoe pun merupakan cikal bakal pertumbuhan musik keroncong di Indonesia. Jadi, kawasan Kampung Tugu, yang merupakan bangunan cagar budaya, harus dilestarikan. Keberadaannya kini menjadi salah satu tujuan wisata pesisir Jakarta Utara.
Napak tilas di Kampung Portugis bukan sekadar berwisata, melainkan menjadi langkah untuk menyusuri masa lalu beserta jejak-jejak budaya beserta kearifan lokal yang ditinggalkan, seperti Gereja Tugu, rumah kuno Portugis, musik keroncong Tugu, hingga kuliner khas setempat.
Kini kian banyak orang yang memahami mengapa Kampung Tugu disebut lokasi bersejarah.
Kampung Tugu memiliki beragam keunikan. Tidak hanya memiliki bangunan bersejarah, namun ada pesan kuat dari leluhur, agar setiap generasi menjaga air tetap mengalir di Jakarta.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyusuri jejak sejarah di Kampung Tugu Jakarta Utara
Kali Gomati kala itu dibangun untuk mengairi sawah dan mencegah banjir. Namun seiring perjalanan waktu, berkembang menjadi sarana lalu lintas perdagangan dan pelayaran antardaerah.
Di lokasi Prasasti Tugu saat itu ditemukan apa yang disebut Batutumbuh di Tugu, Jakarta Utara. Penamaan daerah penemuan sebagai Batutumbuh juga ada kaitannya dengan penemuan Prasasti Tugu.
Karena tanah di Tugu, Jakarta Utara, tergerus, maka semakin kelihatan dasarnya terkubur batu. Karena batu semakin muncul ke permukaan, maka oleh masyarakat sekitar akhirnya disebut sebagai "batu tumbuh".
Benda bersejarah itu kemudian diidentifikasi dan dinyatakan sebagai prasasti bersejarah, lalu dipindahkan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau yang kini dikenal sebagai Museum Nasional pada 1911 setelah sebelumnya diletakkan sementara di Gereja Tugu yang terletak di Kampung Tugu.
Kampung yang menyimpan sejarah masa lalu Jakarta itu masih bisa dinikmati hingga kini. Dari perjalanan sejarah Kampung Tugu itu hendaknya membuat warga belajar, betapa penting menjaga tradisi agar tetap lestari hingga nanti.
Tujuannya, aga masyarakat pada masa mendatang tidak lupa bagaimana leluhurnya memiliki beberapa kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan air.
Kultur menjaga air tetap mengalir merupakan keharusan bagi generasi penerus pada masa mendatang.
Untuk memperingati Hari Pariwisata Sedunia, 50 peserta diundang mengikuti kegiatan Walking Tour di Kampung Portugis Tugu oleh Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Kota Jakarta Utara berkolaborasi dengan Wisata Kreatif Jakarta, pada akhir September ini.
Sebanyak 50 orang yang terlibat sebagai peserta kegiatan itu terdiri atas unsur komunitas, vlogger, pelajar, Abang None Jakarta Utara, dan sejumlah unit kerja perangkat daerah terkait.
Kasudin Parekraf Kota Jakarta Utara Shinta Nindyawati menyatakan bahwa generasi saat ini harus bangga bahwa Jakarta Utara memiliki kekayaan yang luar biasa, mulai dari sejarah, budaya, kearifan lokal mengelola air.
Krontjong Toegoe pun merupakan cikal bakal pertumbuhan musik keroncong di Indonesia. Jadi, kawasan Kampung Tugu, yang merupakan bangunan cagar budaya, harus dilestarikan. Keberadaannya kini menjadi salah satu tujuan wisata pesisir Jakarta Utara.
Napak tilas di Kampung Portugis bukan sekadar berwisata, melainkan menjadi langkah untuk menyusuri masa lalu beserta jejak-jejak budaya beserta kearifan lokal yang ditinggalkan, seperti Gereja Tugu, rumah kuno Portugis, musik keroncong Tugu, hingga kuliner khas setempat.
Kini kian banyak orang yang memahami mengapa Kampung Tugu disebut lokasi bersejarah.
Kampung Tugu memiliki beragam keunikan. Tidak hanya memiliki bangunan bersejarah, namun ada pesan kuat dari leluhur, agar setiap generasi menjaga air tetap mengalir di Jakarta.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyusuri jejak sejarah di Kampung Tugu Jakarta Utara