Struktur rumah tua di Maluku tahan goncangan gempa

id bangunan tahan gempa di maluku

Struktur rumah tua di Maluku tahan goncangan gempa

Rumah Lating Batu di Desa Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Rumah tradisional ini disebut-sebut sebagai salah satu bangunan tua yang bertahan ketika terjadi gempa besar yang menyebabkan tsunami di Pulau Ambon pada 1674. (Dokumen pribadi Muhijaty Tuanaya)

Ambon (ANTARA) - Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Maluku menilai struktur bangunan rumah-rumah tua rakyat di Maluku pada masa lalu tahan terhadap goncangan gempa dan tidak rusak selama bertahun-tahun, kendati teknik pembangunannya sederhana dan menggunakan bahan baku seadanya.

"Saat gempa bumi pada 2019, kami memperhatikan di daerah terdampak yang roboh dan rusak adalah bangunan rumah yang berbahan batako dan semen, sementara rumah-rumah tua tradisional tetap bertahan dan tidak rusak akibat goncangan gempa," kata Ketua IAI Maluku,  Muhijaty Tuanaya di Ambon, Jumat.

Muhijaty yang juga Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR Provinsi Maluku mengatakan rumah tradisional di Maluku yang lebih sering disebut dengan "rumah tua" memiliki teknik arsitektur khusus dalam pembangunannya. Struktur bangunan, bahan baku yang digunakan hingga sistem pembangunan rumah tua berbeda dengan rumah masa kini.

Rata-rata bangunan-bangunan tersebut berusia lebih dari 100 tahun, bahkan ada yang didirikan sejak era kolonial tapi masih bertahan hingga sekarang karena hanya direnovasi tanpa mengubah struktur aslinya. Kendati sederhana dan tradisional tapi telah teruji terhadap goncangan gempa.

Ia mencontohkan "Rumah Lating Batu" di Desa Hila dan rumah raja Hitu di Desa Hitu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Kedua bangunan itu telah ada sejak era penjajahan Hindia-Belanda. Rumah Lating Batu bahkan disebut-sebut sebagai salah satu bangunan tua yang mampu bertahan ketika terjadi gempa besar yang menyebabkan tsunami pada 1674.

Peristiwa yang juga dikisahkan oleh naturalis asal Jerman Georg Everhard Rumphius tersebut, hanya merusakkan salah satu tiang bangunan Rumah Lating Batu, sementara Benteng Amsterdam yang berada sekitar 300 meter dari sana roboh akibat dahsyatnya goncangan tersebut.

"Kalau sekarang kita menyebutnya rumah semi permananen, karena bukan bangunan rumah beton seperti saat saat. bangunan-bangunan itu masih bisa kita temui di kampung-kampung, karena walaupun sudah tua hanya direnovasi tapi masih mempertahankan struktur aslinya," ujar Muhijaty.

Orang-orang Maluku di masa lalu, menurut dia, membangun dinding rumah mereka dengan menggunakan bahan baku dari campuran pasir dan batu yang diikat dengan anyaman bambu, kemudian direkatkan dengan dilumuri kapur api yang berasal dari batu kapur yang dihancurkan menjadi bubuk dan dicampur air. Teknik pembangunan rumah seperti itu masih bisa ditemui hingga tahun 1960-an.

Selain dinding, susunan kolom atau tiang-tiang utama bangunan yang menggunakan balok kayu juga sangat diperhatikan. Ada yang menggunakan teknik saling mengait satu sama lain, dan ada pula yang menggunakan pasak kayu untuk menyambungkan tiap tiang.

Model bangunan tradisional yang dibangun tanpa pasak masih bisa dilihat pada bangunan Masjid Tua Wapauwe di Desa kaitetu, Kecamatan Leihitu. Rumah ibadah yang didirikan pada 1414 itu sepenuhnya masih menggunakan atap dari anyaman pelepah sagu.

"Tiang-tiang kayu membuat rumah cenderung mengikuti arah gerakan gempa sehingga tidak roboh. Bambu juga telah teruji mampu bertahan lama, apalagi jika ditempeli dengan kapur, mungkin karena itu juga dinding-dinding rumah tua kokoh," kata Muhijaty Tuanaya.