Memamerkan "Wolo Utiye" di "Kota Seni Rupa" Indonesia
Seni memang tak hanya untuk dipajang dan dinikmati.
Gorontalo (ANTARA) - Bagi orang Gorontalo kalimat "Wolo Utiye" yang berarti "apa itu" mengingatkan kepada aktivitas jual beli para pedagang ikan secara keliling.
Pada masa lalu, pedagang ikan mengitari rumah warga dengan bersepeda pada pagi dan sore hari untuk menawarkan dagangannya.
Tak terlalu banyak ikan yang dibawa, menyesuaikan dengan ukuran dua keranjang berbahan rotan atau bambu, yang biasanya berada di kanan dan kiri bagian belakang sepeda.
Pedagang sesekali meniup bambu'a, alat tiup yang terbuat dari cangkang kerang.
Bambu'a menjadi semacam penyampai pesan pedagang ikan kepada pelanggan maupun calon pembelinya.
Saat itu, suara bambu'a sangat dinanti, terutama bagi perempuan-perempuan yang ingin segera memasak namun tidak berniat ke pasar.
Usai suara bambu'a terdengar, orang yang ingin membeli ikan akan berteriak "Wolo Utiye".
"Wolo Utiye" terlontar dengan nada setengah berteriak dari dalam rumah. Menanyakan ikan jenis apa saja yang berada dalam keranjang.
Pertanyaan itu akan dijawab dengan cekatan oleh sang penjaja ikan dengan ciri khas mereka masing-masing.
Bagi penjaja ikan laut, biasanya mereka akan menyebut sederet jenis ikan laut, seperti oci, marlugis, dehu, ekor kuning, dan lajang, sedangkan pedagang ikan air tawar, akan menawarkan payangga, hulu,u, manggabai, atau hele (udang). Ikan air tawar itu adalah hasil tangkapan nelayan di Danau Limboto.
Kini memori kolektif itu mulai pudar seiring zaman. Sepeda penjaja ikan berganti dengan sepeda motor. Teriakan "Wolo Utiye" kian jarang terdengar.
Para penjaja ikan telah menjamur di seluruh pelosok Gorontalo. Membentuk pasar-pasar kaget di sudut-sudut jalan.
Wolo utiye adalah pertanyaan sederhana yang sanggup menjawab banyak hal.
Kalimat itu pun tak hanya terpaut makna pada laut dan danau beserta isinya, namun juga hidup nelayan dan segala makhluk serta tanda alam.
Karya Seni
Berbekal rindu pada kenangan masa lalu, para perupa Gorontalo yang tergabung dalam Komunitas Tupalo mengadopsi "Wolo Utiye" ke dalam karya-karya seni.
Komunitas ini membawa karya-karyanya dalam pameran tandang ke "Kota Seni Rupa" Indonesia, Yogyakarta, dengan "Wolo Utiye" sebagai tema besarnya.
Pameran kelompok itu menjadi proyek percontohan program "Luar Peta" dari RuangDalam Art House, sebuah galeri seni rupa kontemporer di Bantul, Yogyakarta.
Perupa Gorontalo ingin memberi kabar, jika gerak seni rupa juga lahir di luar peta yang sejauh ini terbaca.
Luar peta menerjemahkan diri sebagai suara nyaring tentang karya, daya cipta, apresiasi, pengetahuan, interaksi, dan membangun jejaring.
Komunitas Tupalo menghadirkan 19 karya dari 17 seniman, yakni Akbar Abdullah, Arnol Ahmad, Halid Mustapa, Iwan Yusuf, Jaki Sore, Jamal M.A., Jemmy Malewa, Komang Wastra, Mohammad Rivai Katili, Pipin Idris, Riden Baruadi, Rio Kony, Rizal Misilu, Shandi Igirisa, Suleman Dangkua, Syam Terrajana, dan Yayat Dangkua.
Karya dalam berbagai bentuk itu, dapat dinikmati para pengunjung sejak 21 hingga 30 Juni 2021 di RuangDalam Art House.
Karya-karya tersebut, menggambarkan Gorontalo dalam berbagai dimensi.
Riden Baruadi misalnya, menyajikan paduan foto dan lukisan miliknya yang masih berada dalam satu isu yaitu kebakaran hutan.
Karya foto yang dipamerkannya di sebelah kiri berjudul kebakaran hutan, sedangkan di sebelah kanan terpampang lukisan miliknya berjudul "Sisa Kebakaran".
Sebagai seorang yang menekuni fotografi, ia kerap mengabadikan Gorontalo dalam berbagai situasi.
"Dalam perjalanan, hampir selalu saya menemukan pembakaran hutan. Karya ini adalah bentuk kegelisahan dan kekhawatiran yang mendalam tentang berkurangnya oksigen di lingkungan kita," ujarnya.
Tidak hanya lukisan, seniman Gorontalo juga memamerkan karya instalasi. Salah satu yang mencuri perhatian adalah karya Halid Mustafa.
Ia memajang potongan dan serpihan bangkai perahu dari Gorontalo di dinding sepanjang enam meter, kemudian memberinya judul "Roh Laut"
Serpihan itu dikumpulkannya di sepanjang pesisir pantai di Gorontalo serta Danau Limboto.
Karya berbeda lainnya dipamerkan oleh Arnold Ahmad, seorang "performer" yang menampilkan "video art" berdurasi delapan menit.
Video itu menceritakan keintiman manusia Gorontalo dengan laut. Dalam salah satu adegannya, Arnold mandi dengan menyiramkan aneka ikan di sekujur tubuhnya.
Seleksi
Karya-karya para seniman Tupalo tersebut telah melalui proses seleksi yang berlangsung ketat.
Tim kurator terdiri atas I Wayan Seriyoga Parta yang merupakan kurator, pendiri Gurat Institut, serta pengajar seni rupa Universitas Negeri Gorontalo, Gusmen Heriadi, pemilik RuangDalam Art House dan seniman, Awaluddin Ahmad, aktivis kebudayaan Gorontalo dan salah satu motor penggerak Komunitas Tupalo, juga ikut terlibat sebagai "co curator".
Ketiganya memilih 17 seniman dengan ragam langgam, gagasan, dan medium dalam pameran tersebut.
Direktur RuangDalam Art House, Titik Suprihatin, mengatakan program "Luar Peta" sengaja digagas untuk mengakomodasi komunitas dan kelompok seni rupa yang mempunyai geliat dan gerakan di luar kota-kota yang lazim dikenal sebagai peta seni rupa nasional, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Bali.
"Kami memilih Komunitas Tupalo untuk program perdana ini, karena sejauh ini mereka punya geliat bagus dengan menghelat berbagai kegiatan seni rupa dan budaya di kampung halamannya," kata Titik saat pembukaan pameran.
Menurut dia, kegiatan Tupalo tidak hanya melibatkan seniman, tetapi juga membuat masyarakat luas dan elemen lain di luar seni rupa berpartisipasi.
Pameran pada program Luar Peta mulanya hendak digelar pada 2020, namun tertunda karena pandemi COVID-19.
Selanjutnya, ia mengungkapkan RuangDalam Art House akan "berburu" komunitas lainnya yang akan ditawarkan program Luar Peta.
Seniman dan pemilik Sangkring Art Space Yogyakarta, Putu Sutawijaya yang membuka pameran itu, memberi apresiasi besar bagi Komunitas Tupalo.
"Semangat teman-teman dari sudut Pulau Sulawesi ini, kita patut mengapresiasinya. Saya berterima kasih kepada RuangDalam Art House, yang telah membawa ke Yogyakarta, mendekatkan kepada kantong-kantong kebudayaan. Harus membangun jaringan, punya partner di luar Gorontalo kalau ingin melakukan sesuatu. Saya ingin sekali memberikan kesempatan pada Tupalo ke Sangkring, Ini salah satu cara biar teman-teman bisa konsisten," ujarnya.
Menurut dia, seni rupa di Indonesia masih sangat diskriminatif, karena hanya selalu bicara antara Jawa dan Bali.
"Teman-teman Gorontalo menunjukkan dirinya, dengan proses inilah kita bisa mengenal potensi seni rupa ada di luar Jawa dan Bali," tambahnya.
Seni memang tak hanya untuk dipajang dan dinikmati.
Namun, ia memiliki banyak fungsi, bahkan dapat untuk menghapus diskriminasi dalam berbagai ruang dan waktu.
Pada masa lalu, pedagang ikan mengitari rumah warga dengan bersepeda pada pagi dan sore hari untuk menawarkan dagangannya.
Tak terlalu banyak ikan yang dibawa, menyesuaikan dengan ukuran dua keranjang berbahan rotan atau bambu, yang biasanya berada di kanan dan kiri bagian belakang sepeda.
Pedagang sesekali meniup bambu'a, alat tiup yang terbuat dari cangkang kerang.
Bambu'a menjadi semacam penyampai pesan pedagang ikan kepada pelanggan maupun calon pembelinya.
Saat itu, suara bambu'a sangat dinanti, terutama bagi perempuan-perempuan yang ingin segera memasak namun tidak berniat ke pasar.
Usai suara bambu'a terdengar, orang yang ingin membeli ikan akan berteriak "Wolo Utiye".
"Wolo Utiye" terlontar dengan nada setengah berteriak dari dalam rumah. Menanyakan ikan jenis apa saja yang berada dalam keranjang.
Pertanyaan itu akan dijawab dengan cekatan oleh sang penjaja ikan dengan ciri khas mereka masing-masing.
Bagi penjaja ikan laut, biasanya mereka akan menyebut sederet jenis ikan laut, seperti oci, marlugis, dehu, ekor kuning, dan lajang, sedangkan pedagang ikan air tawar, akan menawarkan payangga, hulu,u, manggabai, atau hele (udang). Ikan air tawar itu adalah hasil tangkapan nelayan di Danau Limboto.
Kini memori kolektif itu mulai pudar seiring zaman. Sepeda penjaja ikan berganti dengan sepeda motor. Teriakan "Wolo Utiye" kian jarang terdengar.
Para penjaja ikan telah menjamur di seluruh pelosok Gorontalo. Membentuk pasar-pasar kaget di sudut-sudut jalan.
Wolo utiye adalah pertanyaan sederhana yang sanggup menjawab banyak hal.
Kalimat itu pun tak hanya terpaut makna pada laut dan danau beserta isinya, namun juga hidup nelayan dan segala makhluk serta tanda alam.
Karya Seni
Berbekal rindu pada kenangan masa lalu, para perupa Gorontalo yang tergabung dalam Komunitas Tupalo mengadopsi "Wolo Utiye" ke dalam karya-karya seni.
Komunitas ini membawa karya-karyanya dalam pameran tandang ke "Kota Seni Rupa" Indonesia, Yogyakarta, dengan "Wolo Utiye" sebagai tema besarnya.
Pameran kelompok itu menjadi proyek percontohan program "Luar Peta" dari RuangDalam Art House, sebuah galeri seni rupa kontemporer di Bantul, Yogyakarta.
Perupa Gorontalo ingin memberi kabar, jika gerak seni rupa juga lahir di luar peta yang sejauh ini terbaca.
Luar peta menerjemahkan diri sebagai suara nyaring tentang karya, daya cipta, apresiasi, pengetahuan, interaksi, dan membangun jejaring.
Komunitas Tupalo menghadirkan 19 karya dari 17 seniman, yakni Akbar Abdullah, Arnol Ahmad, Halid Mustapa, Iwan Yusuf, Jaki Sore, Jamal M.A., Jemmy Malewa, Komang Wastra, Mohammad Rivai Katili, Pipin Idris, Riden Baruadi, Rio Kony, Rizal Misilu, Shandi Igirisa, Suleman Dangkua, Syam Terrajana, dan Yayat Dangkua.
Karya dalam berbagai bentuk itu, dapat dinikmati para pengunjung sejak 21 hingga 30 Juni 2021 di RuangDalam Art House.
Karya-karya tersebut, menggambarkan Gorontalo dalam berbagai dimensi.
Riden Baruadi misalnya, menyajikan paduan foto dan lukisan miliknya yang masih berada dalam satu isu yaitu kebakaran hutan.
Karya foto yang dipamerkannya di sebelah kiri berjudul kebakaran hutan, sedangkan di sebelah kanan terpampang lukisan miliknya berjudul "Sisa Kebakaran".
Sebagai seorang yang menekuni fotografi, ia kerap mengabadikan Gorontalo dalam berbagai situasi.
"Dalam perjalanan, hampir selalu saya menemukan pembakaran hutan. Karya ini adalah bentuk kegelisahan dan kekhawatiran yang mendalam tentang berkurangnya oksigen di lingkungan kita," ujarnya.
Tidak hanya lukisan, seniman Gorontalo juga memamerkan karya instalasi. Salah satu yang mencuri perhatian adalah karya Halid Mustafa.
Ia memajang potongan dan serpihan bangkai perahu dari Gorontalo di dinding sepanjang enam meter, kemudian memberinya judul "Roh Laut"
Serpihan itu dikumpulkannya di sepanjang pesisir pantai di Gorontalo serta Danau Limboto.
Karya berbeda lainnya dipamerkan oleh Arnold Ahmad, seorang "performer" yang menampilkan "video art" berdurasi delapan menit.
Video itu menceritakan keintiman manusia Gorontalo dengan laut. Dalam salah satu adegannya, Arnold mandi dengan menyiramkan aneka ikan di sekujur tubuhnya.
Seleksi
Karya-karya para seniman Tupalo tersebut telah melalui proses seleksi yang berlangsung ketat.
Tim kurator terdiri atas I Wayan Seriyoga Parta yang merupakan kurator, pendiri Gurat Institut, serta pengajar seni rupa Universitas Negeri Gorontalo, Gusmen Heriadi, pemilik RuangDalam Art House dan seniman, Awaluddin Ahmad, aktivis kebudayaan Gorontalo dan salah satu motor penggerak Komunitas Tupalo, juga ikut terlibat sebagai "co curator".
Ketiganya memilih 17 seniman dengan ragam langgam, gagasan, dan medium dalam pameran tersebut.
Direktur RuangDalam Art House, Titik Suprihatin, mengatakan program "Luar Peta" sengaja digagas untuk mengakomodasi komunitas dan kelompok seni rupa yang mempunyai geliat dan gerakan di luar kota-kota yang lazim dikenal sebagai peta seni rupa nasional, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Bali.
"Kami memilih Komunitas Tupalo untuk program perdana ini, karena sejauh ini mereka punya geliat bagus dengan menghelat berbagai kegiatan seni rupa dan budaya di kampung halamannya," kata Titik saat pembukaan pameran.
Menurut dia, kegiatan Tupalo tidak hanya melibatkan seniman, tetapi juga membuat masyarakat luas dan elemen lain di luar seni rupa berpartisipasi.
Pameran pada program Luar Peta mulanya hendak digelar pada 2020, namun tertunda karena pandemi COVID-19.
Selanjutnya, ia mengungkapkan RuangDalam Art House akan "berburu" komunitas lainnya yang akan ditawarkan program Luar Peta.
Seniman dan pemilik Sangkring Art Space Yogyakarta, Putu Sutawijaya yang membuka pameran itu, memberi apresiasi besar bagi Komunitas Tupalo.
"Semangat teman-teman dari sudut Pulau Sulawesi ini, kita patut mengapresiasinya. Saya berterima kasih kepada RuangDalam Art House, yang telah membawa ke Yogyakarta, mendekatkan kepada kantong-kantong kebudayaan. Harus membangun jaringan, punya partner di luar Gorontalo kalau ingin melakukan sesuatu. Saya ingin sekali memberikan kesempatan pada Tupalo ke Sangkring, Ini salah satu cara biar teman-teman bisa konsisten," ujarnya.
Menurut dia, seni rupa di Indonesia masih sangat diskriminatif, karena hanya selalu bicara antara Jawa dan Bali.
"Teman-teman Gorontalo menunjukkan dirinya, dengan proses inilah kita bisa mengenal potensi seni rupa ada di luar Jawa dan Bali," tambahnya.
Seni memang tak hanya untuk dipajang dan dinikmati.
Namun, ia memiliki banyak fungsi, bahkan dapat untuk menghapus diskriminasi dalam berbagai ruang dan waktu.