Babak baru perlawanan industri film Indonesia terhadap pembajakan

id angga dwimas sasongko,visinema,pembajakan film,story of kale,mira lesmana, BPI,badan perfilman indonesia

Babak baru perlawanan  industri film Indonesia terhadap pembajakan

Ilustrasi membuat unggahan cuplikan film bioskop. (ANTARA News/Suwanti)

Jakarta (ANTARA) - Pembajakan masih menjadi musuh besar bagi industri ekonomi kreatif, termasuk sektor perfilman nasional.

Melansir data dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) berdasarkan survei di Jakarta, Medan, Bogor, dan Deli Serdang pada 2017, potensi kerugian yang diakibatkan oleh pembajakan film diprediksi mencapai lebih dari Rp1,4 triliun.

Pengunduhan konten secara ilegal ditengarai menjadi salah satu penyebab kerugian tersebut.

Industri film Indonesia telah menabuh genderang perang terhadap pembajakan film. Bukan cuma sekadar slogan-slogan dalam kampanye, namun kini para pelaku industri film mulai bangkit dan melawan dengan tindakan nyata lewat jalur hukum.

Angga Dwimas Sasongko, CEO dan founder Visinema sekaligus anggota APFI (Asosiasi Perusahaan Film Indonesia) beberapa hari lalu mengumumkan telah berhasil memenjarakan pelaku pembajakan terhadap produk Intellectual Property (IP) yang dimilikinya.

Lewat Twitter pada Oktober tanggal 26, Angga mengungkapkan bahwa film terbarunya yakni "Story of Kale: When Someone's in Love" dibajak. Dia dengan tegas menyatakan perang terhadap pembajakan film dan akan menyeret pelaku ke jalur hukum.

"Saya menyatakan perang sama kalian yang membajak, sebar bajakan, bangga nonton bajakan. Sumpah demi anak saya, saya akan pakai segala resources saya buat masukin kalian ke penjara atau setidaknya bikin hidup kalian ga nyaman. Retaliation begin," cuit Angga pada Senin (26/10).

Angga saat itu mengatakan sudah mengantongi nama pembajak dan sedang mengumpulkan bukti lebih lengkap untuk dilaporkan ke Mabes Polri. Upaya-upaya pengumpulan bukti dan penjaringan nama pelaku yang dilakukan antara lain adalah dengan terus menggencarkan pemantauan dan pelacakan terhadap pelaku pembajakan di dunia digital.

Angga benar-benar merealisasikan janjinya dan melaporkan kasus pembajakan ke kepolisian pada 20 Juli 2020 untuk film "Story of Kale" dan "Keluarga Cemara".

Tepat pada tanggal 29 September 2020, salah satu pelaku pembajakan IP Visinema dengan inisial AFP telah ditangkap oleh Tim Siber Mabes Polri.

Apabila terbukti bersalah, maka tersangka dengan inisial AFP akan dikenakan sejumlah pasal dengan maksimal denda sebanyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Angga mengapresiasi unit Siber Mabes Polri atas upayanya melakukan penegakan hukum.

"Membantu para seniman menuntut dan menegakkan keadilan dengan ditangkapnya tersangka pelaku pembajakan. Saya berharap hal ini menjadi babak baru perlawanan oleh para seniman dan kreator terhadap pembajakan. Saya paham bahwa menghapus pembajakan itu hal yang sulit, tetapi ini sudah saatnya kita bergerak melakukan perlawanan dan menempuh jalur hukum," kata Angga.

Dalam mengantisipasi pembajakan terhadap Kekayaan Intelektual yang dimilikinya, Visinema Pictures selalu mendaftarkan semua karya cipta yang dimiliki pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Cq Direktorat Hak Cipta agar karya-karya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara sah dan legal.

Visinema Pictures turut mengimbau semua kalangan agar terus mendukung dan menghargai semua karya cipta anak bangsa dengan cara mengakses segala Kekayaan Intelektual secara sah dan legal pada platform daring yang telah memiliki izin terhadap penayangan Kekayaan Intelektual seperti musik, video, film, dan lainnya.

Dukungan

Mira Lesmana, filmmaker, Dewan Pembina Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), menyatakan pembajakan harus dihadapi dengan serius.
"Ini adalah persoalan dan kerugian bersama. Industri film dirugikan oleh pembajakan karena terancam penghasilannya, artinya semua pekerjaan terkait pembuatan film juga terancam, mulai dari produser, aktor sampai ke katering hingga ke supir transportasi produksi. Ini berlaku untuk berbagai industri yang menghadapi pembajakan," kata Mira.

Selain menindak tegas para pembajak, Mira mengatakan harus ada gerakan bersama untuk mengubah pola pikir masyarakat dengan terus memberi pemahaman tentang pentingnya menghormati hak kekayaan intelektual.

Selaras dengan pernyataan Mira, Edwin Nazir, Ketua Umum APROFI menyatakan, pembajakan sama halnya dengan mencuri, dalam hal ini hak kekayaan intelektual.

"Akibat pembajakan, kerugian industri film nasional mencapai Rp5 triliun setiap tahunnya," kata dia.

Lebih lanjut, HB Naveen dari Falcon Pictures sekaligus anggota APFI mengajak banyak pihak untuk bahu-membahu memberantas pembajakan.

"Tindakan pembajakan seringkali disengaja, namun terkadang tidak disengaja karena ketidaktahuan dan popularitas di media sosial. Oleh karena itu, seluruh stakeholder mulai dari aktor, sutradara, rumah produksi (nasional maupun internasional), bioskop, OTT (over the top), jaringan televisi, pemerintah melalui kementerian yang berwenang serta lembaga lainnya seperti kepolisian dan kantor pajak harus bersatu dalam memerangi kejahatan ini," kata Naveen.

Naveen mengusulkan dibentuknya sebuah Satuan Tugas pemberantasan pembajakan dengan kesamaan misi, dedikasi para pejabat terpilih, protokol dan misi yang baik.

Djonny Syafruddin, selaku Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia mengakui bahwa pembajakan sudah menjadi masalah lama bagi industri perfilman nasional.

"Untuk itu kita harus terus konsisten melakukan upaya untuk memberantas pembajakan dan tidak setengah-setengah," kata dia.

Chand Parwez Servia, Ketua Badan Perfilman Indonesia turut angkat bicara terkait pembajakan

"Sudah saatnya seluruh insan perfilman bersuara agar semua pihak menyadari strategisnya perfilman nasional, dan supremasi hukum harus ditegakkan untuk melindungi hak kekayaan intelektual dari karya kreatif anak bangsa yang selama ini jadi cagar budaya Indonesia."

Sementara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berupaya meredam pembajakan konten, termasuk film, dengan memblokir situs-situs streaming film ilegal. Total 1.745 situs dan konten, termasuk di dalamnya film ilegal, yang diblokir Kominfo pada periode 2017 hingga 2019.  Pada 2019 lalu saja, situs dan konten bajakan yang diblokir mencapai 1.143.

"Pemblokiran situs yang memuat konten bermuatan pelanggaran HKI ini dilakukan untuk menghargai hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki bangsa Indonesia ataupun negara lain," kata Menteri Kominfo Johnny G Plate.

Kominfo juga mendorong penyedia layanan OTT, termasuk streaming film, merumuskan bisnis model yang tepat sehingga harga langganannya lebih terjangkau dan menghindarkan masyarakat dari mengakses layanan streaming film ilegal.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang menaungi bidang industri kreatif, selalu memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar menghargai hak cipta kekayaan intelektual, termasuk film. Kementerian ini juga terus mengajak pelaku industri kreatif untuk mendaftarkan kekayaan intelektualnya, yang pada 2019-2020 sudah 50 persen pelaku industri kreatif mendaftarkannya.

Para pelaku industri film nasional berharap langkah yang dimulai oleh Angga Dwimas dan Visinema dapat menjadi babak baru perlawanan para seniman dan kreator terhadap pembajakan. Langkah penting ini juga diharapkan dapat menempatkan landasan dalam membangun budaya menonton secara legal.

Dengan membangun budaya menonton konten secara legal, masyarakat tak hanya memberikan apresiasi bagi karya pekerja seni namun juga turut mendorong pertumbuhan film garapan anak negeri.