Berpacu pulih dari resesi ekonomi
Jakarta (ANTARA) - Padatnya lalu lintas dan bisingnya mesin knalpot tak lagi menjadi paradoks perkotaan yang membawa rezeki bagi Nahrowi. Dia memandang nanar dagangan kudapan, kue-kue basah, dan kopi sachet yang tidak terjual di bawah terik panas matahari kawasan timur Jakarta,
Sistem kerja dari rumah (work from home) imbas pandemi COVID-19 turut menghentikan mobilitas para pelanggannya, yang kebanyakan pekerja dan pengojek daring. Warung kelontong sederhana di bilangan Jalan Kalimalang, Jakarta Timur, adalah sumber utama mata pencaharian Nahrowi. Warung itu menjadi tempat singgah para pekerja, pengojek daring, dan juga pelajar di kawasan Jakarta Timur dan Bekasi, Jawa Barat.
Sebelum pagebluk menyerang, Nahrowi mengaku bisa memperoleh pemasukan Rp600 ribu setiap harinya dari berdagang kopi dan kudapan. “(Saat pandemi) sama sekali tidak karena tidak ada lagi mereka yang nongkrong,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Nahrowi, Narsih yang setiap harinya menjajakan jamu kepada para pekerja di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, harus bersiasat agar memperoleh pemasukan tambahan untuk menutupi semua kebutuhan hidup. Dagangan Narsih kini kerap tak laku karena para pelanggannya bekera dari rumah sesuai imbauan pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Tak sedikit pula, para pelanggan Narsih yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan mereka mengalami kesulitan keuangan. Banyak tempat usaha yang tutup atau mengurangi jam operasional karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah itu.
Masa pagebluk telah membuat omzet Narsih berkurang lebih dari 50 persen menjadi hanya Rp150 ribu perhari. “Sekarang susah banget cari pelanggan,” ujar wanita yang sudah 20 tahun berjualan jamu ini.
Nahrowi dan Narsih merupakan potret rakyat kecil yang terdampak langsung pagebluk yang disebabkan wabah virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit COVID-19.
Mereka yang berprofesi sebagai pedagang skala ekonomi mikro terdampak karena adanya pembatasan interaksi fisik, pelemahan rantai pasok dan distribusi, serta juga masalah dari sisi kesehatan.
Tak terhitung sosok pengusaha mikro seperti “Nahrowi” dan “Narsih” di seluruh penjuru Tanah Air yang turut terdampak pagebluk. Data terakhir yang dipublikasi Kementerian Kementerian Koperasi dan UMK pada 2018, menunjukkan terdapat 63,3 juta pengusaha mikro, yang mendominasi total Usaha MIkro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.
Situasi sosial dan ekonomi akibat pandemi COVID-19 memberikan tekanan hebat kepada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah di berbagai negara. Ini belum menghitung dampak kerugian yang diderita oleh petani dan nelayan yang merupakan produsen sekaligus konsumen.
Data terakhir angka kemiskinan di Indonesia mencapai 24,79 juta orang berdasarkan pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2019. Adapun menurut perkiraan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah orang miskin bisa bertambah menjadi 28 juta orang atau sebesar 10,62 persen dari total masyarakat Indonesia pada 2020, jika tidak ada intervensi signifikan dari pemerintah.
Sudah Resesi ?
Apa yang dialami Nahrowi dan Narsih merupakan gejala resesi ekonomi ketika pendapatan riil menurun, aktivitas industri lesu, ditambah fakta mulai banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membuat efek pengganda ekonomi hilang.
Prediksi pemerintah sudah memastikan Indonesia akan memasuki resesi secara teknikal selama kuartal III 2020 (Juli-September) atau di momen yang telah kita rasakan. Pekan lalu, pemerintah meramalkan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 di kisaran minus 1 persen sampai minus 2,9 persen, yang berarti Indonesia mengalami resesi.
Sebenarnya, gejala resesi sudah dialami sejak awal tahun ketika Indonesia secara beruntun mengalami perlambatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Perekonomian secara tahunan pada kuartal I lalu hanya tumbuh 2,97 persen, sementara triwulanan minus 2,41 persen. Fenomena yang seharusnya diantisipasi pemerintah karena dalam satu dekade terakhir, pertama kalinya ekonomi Indonesia tumbuh di bawah lima persen.
Memang definisi resesi selalu didalihkan pada laju ekonomi negatif dalam dua periode waktu atau kuartal beruntun. Namun apakah perbedaan angka negatif dan positif dalam ukuran pertumbuhan ekonomi memberikan gap yang signifikan ?
JIka siklus ekonomi diibaratkan sebuah roda, fase resesi adalah perputaran setelah puncak (peak) siklus menuju lekukan dasar (trough) roda tersebut. Hal yang lebih penting menjadi fokus, apakah kita sudah benar-benar mendekati dasar (trough) siklus atau roda itu, dan bagaimana cara untuk melewati dasar agar kemudian bisa menanjak kembali ke fase pemulihan (recovery).
Dan jIka kita belum mencapai dasar siklus atau roda, apakah kita sudah siap saat ketika berada di dasar (trough) ?
Jika menggunakan skenario pemerintah, saat ini yang merupakan awal kuartal IV 2020, semestinya kita sudah melewati dasar, dan bersiap untuk menanjak fase pemulihan. Namun, data-data perekonomian, seperti deflasi beruntun sepanjang Juli-September 2020 dan stagnasi Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), tampaknya belum mendukung skenario pemerintah berjalan mulus.
Peluang ekonomi Indonesia untuk pulih dengan model V (V-shaped economy recovery) enipis. Kans lebih besar bagi Indonesia adalah pemulihan dalam bentuk V namun dengan garis kanan yang lebih landai, tidak curam. Artinya pemulihan ekonomi Indonesia tidak akan berjalan dalam garis kurva yang cepat. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika fase resesi berjalan lama seperti huruf U, atau malah dengan pemulihan yang tidak menentu seperti huruf L.
Bank Dunia dalam kajian terbarunya memperkirakan ekonomi Indonesia akan terkontraksi hingga minus 1,6 persen sampai 2 persen untuk keseluruhan 2020, atau pertama kalinya pertumbuhan ekonomi negatif untuk keseluruhan tahun sejak 1998.
Teori ekonomi Keynesian menyebutkan pentingnya permintaan agregat sebagai penggerak perekonomian. Konsumsi, yang menggerakkan siklus perekonomian, harus didukung dengan pengeluaran pemerintah, terlebih ketika ekonomi sedang lesu.
Dorongan kelompok menengah-atas
Ketika perlambatan ekonomi terjadi, masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah seperti Nahrowi dan Narsih menjadi segmen yang sangat terpukul. Tak heran, pemerintah melipat-gandakan program-program dalam jaring pengaman sosial untuk penanganan dampak COVID-19. Menurut data Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah di akhir September 2020 sudah menghabiskan Rp318,5 triliun atau 45,8 persen dari total anggaran Penanganan COVID-19 dan PEN Rp695,2 triliun.
Namun, ada pemandangan kontras jika melihat pola konsumsi dan tabungan masyarakat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan simpanan masyarakat di perbankan, berupa tabungan dengan nominal jumbo, justeru meningkat
Merujuk data terakhir di Agustus 2020, dana pihak ketiga (DPK) perbankan per Agustus 2020 tumbuh sebesar 11,64 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Pertumbuhan itu melanjutkan tren menumpuknya dana di perbankan pada Juli 2020, ketika pertumbuhan DPK mencapai 8,53 persen (yoy).
Melihat lebih dalam lagi, pertumbuhan tertinggi DPK ternyata terjadi pada kelompok simpanan dengan nominal di atas Rp5 miliar yang bertumbuh 15,2 persen (yoy) menjadi Rp3.186 triliun. Kemudian kelompok Rp500 juta hingga Rp1 miliar, bertumbuh 10,1 persen (yoy), dan selanjutnya kelompok simpanan Rp200 juta hingga Rp500 juta yang sebesar 9,5 persen (yoy).
Tampak pertumbuhan simpanan dari nasabah kakap ini melegakan, namun memberikan implikasi lain karena besarnya dana mengendap di perbankan akan memperlambat perputaran ekonomi. Hal itu juga diperparah dengan fungsi intermediasi perbankan yang belum menggembirakan.
Tentu pemerintah perlu membidik permasalahan perlambatan konsumsi ini, salah satunya dengan mendorong kelompok masyarakat menengah dan menengah atas untuk meningkatkan belanjanya, ketimbang saving melulu.
Jika masyarakat menengah ke bawah sudah disitimulus dengan berbagai jaring pengaman sosial agar bisa menggerakkan daya beli, bahkan sampai membuat Presiden Joko Widodo terus melebarkan defisit APBN, kelompok menengah dan menengah perlu diberikan confidence (keyakinan) agar aman dalam berkegiatan ekonomi di tengah pagebluk.
Di sinilah komitmen “kesehatan yang utama, ekonomi mengikuti” dari pemerintahan Presiden Joko Widodo diuji. Kekhawatiran masyarakat menengah-atas harus dikurangi dengan peningkatan kapasitas uji COVID-19, progress positif pengembangan vaksin COVID-19, perencanaan vaksinasi COVID-19 yang matang dan penegakkan protokol kesehatan di kegiatan ekonomi masyarakat seperti aktivitas perbelanjaan dan pariwisata. Mereka termasuk juga Nahrowi dan Narsih menanti hasil dari upaya progresif untuk lepas dari resesi.
Sistem kerja dari rumah (work from home) imbas pandemi COVID-19 turut menghentikan mobilitas para pelanggannya, yang kebanyakan pekerja dan pengojek daring. Warung kelontong sederhana di bilangan Jalan Kalimalang, Jakarta Timur, adalah sumber utama mata pencaharian Nahrowi. Warung itu menjadi tempat singgah para pekerja, pengojek daring, dan juga pelajar di kawasan Jakarta Timur dan Bekasi, Jawa Barat.
Sebelum pagebluk menyerang, Nahrowi mengaku bisa memperoleh pemasukan Rp600 ribu setiap harinya dari berdagang kopi dan kudapan. “(Saat pandemi) sama sekali tidak karena tidak ada lagi mereka yang nongkrong,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Nahrowi, Narsih yang setiap harinya menjajakan jamu kepada para pekerja di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, harus bersiasat agar memperoleh pemasukan tambahan untuk menutupi semua kebutuhan hidup. Dagangan Narsih kini kerap tak laku karena para pelanggannya bekera dari rumah sesuai imbauan pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Tak sedikit pula, para pelanggan Narsih yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan mereka mengalami kesulitan keuangan. Banyak tempat usaha yang tutup atau mengurangi jam operasional karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah itu.
Masa pagebluk telah membuat omzet Narsih berkurang lebih dari 50 persen menjadi hanya Rp150 ribu perhari. “Sekarang susah banget cari pelanggan,” ujar wanita yang sudah 20 tahun berjualan jamu ini.
Nahrowi dan Narsih merupakan potret rakyat kecil yang terdampak langsung pagebluk yang disebabkan wabah virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit COVID-19.
Mereka yang berprofesi sebagai pedagang skala ekonomi mikro terdampak karena adanya pembatasan interaksi fisik, pelemahan rantai pasok dan distribusi, serta juga masalah dari sisi kesehatan.
Tak terhitung sosok pengusaha mikro seperti “Nahrowi” dan “Narsih” di seluruh penjuru Tanah Air yang turut terdampak pagebluk. Data terakhir yang dipublikasi Kementerian Kementerian Koperasi dan UMK pada 2018, menunjukkan terdapat 63,3 juta pengusaha mikro, yang mendominasi total Usaha MIkro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.
Situasi sosial dan ekonomi akibat pandemi COVID-19 memberikan tekanan hebat kepada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah di berbagai negara. Ini belum menghitung dampak kerugian yang diderita oleh petani dan nelayan yang merupakan produsen sekaligus konsumen.
Data terakhir angka kemiskinan di Indonesia mencapai 24,79 juta orang berdasarkan pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2019. Adapun menurut perkiraan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah orang miskin bisa bertambah menjadi 28 juta orang atau sebesar 10,62 persen dari total masyarakat Indonesia pada 2020, jika tidak ada intervensi signifikan dari pemerintah.
Sudah Resesi ?
Apa yang dialami Nahrowi dan Narsih merupakan gejala resesi ekonomi ketika pendapatan riil menurun, aktivitas industri lesu, ditambah fakta mulai banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membuat efek pengganda ekonomi hilang.
Prediksi pemerintah sudah memastikan Indonesia akan memasuki resesi secara teknikal selama kuartal III 2020 (Juli-September) atau di momen yang telah kita rasakan. Pekan lalu, pemerintah meramalkan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 di kisaran minus 1 persen sampai minus 2,9 persen, yang berarti Indonesia mengalami resesi.
Sebenarnya, gejala resesi sudah dialami sejak awal tahun ketika Indonesia secara beruntun mengalami perlambatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Perekonomian secara tahunan pada kuartal I lalu hanya tumbuh 2,97 persen, sementara triwulanan minus 2,41 persen. Fenomena yang seharusnya diantisipasi pemerintah karena dalam satu dekade terakhir, pertama kalinya ekonomi Indonesia tumbuh di bawah lima persen.
Memang definisi resesi selalu didalihkan pada laju ekonomi negatif dalam dua periode waktu atau kuartal beruntun. Namun apakah perbedaan angka negatif dan positif dalam ukuran pertumbuhan ekonomi memberikan gap yang signifikan ?
JIka siklus ekonomi diibaratkan sebuah roda, fase resesi adalah perputaran setelah puncak (peak) siklus menuju lekukan dasar (trough) roda tersebut. Hal yang lebih penting menjadi fokus, apakah kita sudah benar-benar mendekati dasar (trough) siklus atau roda itu, dan bagaimana cara untuk melewati dasar agar kemudian bisa menanjak kembali ke fase pemulihan (recovery).
Dan jIka kita belum mencapai dasar siklus atau roda, apakah kita sudah siap saat ketika berada di dasar (trough) ?
Jika menggunakan skenario pemerintah, saat ini yang merupakan awal kuartal IV 2020, semestinya kita sudah melewati dasar, dan bersiap untuk menanjak fase pemulihan. Namun, data-data perekonomian, seperti deflasi beruntun sepanjang Juli-September 2020 dan stagnasi Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), tampaknya belum mendukung skenario pemerintah berjalan mulus.
Peluang ekonomi Indonesia untuk pulih dengan model V (V-shaped economy recovery) enipis. Kans lebih besar bagi Indonesia adalah pemulihan dalam bentuk V namun dengan garis kanan yang lebih landai, tidak curam. Artinya pemulihan ekonomi Indonesia tidak akan berjalan dalam garis kurva yang cepat. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika fase resesi berjalan lama seperti huruf U, atau malah dengan pemulihan yang tidak menentu seperti huruf L.
Bank Dunia dalam kajian terbarunya memperkirakan ekonomi Indonesia akan terkontraksi hingga minus 1,6 persen sampai 2 persen untuk keseluruhan 2020, atau pertama kalinya pertumbuhan ekonomi negatif untuk keseluruhan tahun sejak 1998.
Teori ekonomi Keynesian menyebutkan pentingnya permintaan agregat sebagai penggerak perekonomian. Konsumsi, yang menggerakkan siklus perekonomian, harus didukung dengan pengeluaran pemerintah, terlebih ketika ekonomi sedang lesu.
Dorongan kelompok menengah-atas
Ketika perlambatan ekonomi terjadi, masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah seperti Nahrowi dan Narsih menjadi segmen yang sangat terpukul. Tak heran, pemerintah melipat-gandakan program-program dalam jaring pengaman sosial untuk penanganan dampak COVID-19. Menurut data Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah di akhir September 2020 sudah menghabiskan Rp318,5 triliun atau 45,8 persen dari total anggaran Penanganan COVID-19 dan PEN Rp695,2 triliun.
Namun, ada pemandangan kontras jika melihat pola konsumsi dan tabungan masyarakat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan simpanan masyarakat di perbankan, berupa tabungan dengan nominal jumbo, justeru meningkat
Merujuk data terakhir di Agustus 2020, dana pihak ketiga (DPK) perbankan per Agustus 2020 tumbuh sebesar 11,64 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Pertumbuhan itu melanjutkan tren menumpuknya dana di perbankan pada Juli 2020, ketika pertumbuhan DPK mencapai 8,53 persen (yoy).
Melihat lebih dalam lagi, pertumbuhan tertinggi DPK ternyata terjadi pada kelompok simpanan dengan nominal di atas Rp5 miliar yang bertumbuh 15,2 persen (yoy) menjadi Rp3.186 triliun. Kemudian kelompok Rp500 juta hingga Rp1 miliar, bertumbuh 10,1 persen (yoy), dan selanjutnya kelompok simpanan Rp200 juta hingga Rp500 juta yang sebesar 9,5 persen (yoy).
Tampak pertumbuhan simpanan dari nasabah kakap ini melegakan, namun memberikan implikasi lain karena besarnya dana mengendap di perbankan akan memperlambat perputaran ekonomi. Hal itu juga diperparah dengan fungsi intermediasi perbankan yang belum menggembirakan.
Tentu pemerintah perlu membidik permasalahan perlambatan konsumsi ini, salah satunya dengan mendorong kelompok masyarakat menengah dan menengah atas untuk meningkatkan belanjanya, ketimbang saving melulu.
Jika masyarakat menengah ke bawah sudah disitimulus dengan berbagai jaring pengaman sosial agar bisa menggerakkan daya beli, bahkan sampai membuat Presiden Joko Widodo terus melebarkan defisit APBN, kelompok menengah dan menengah perlu diberikan confidence (keyakinan) agar aman dalam berkegiatan ekonomi di tengah pagebluk.
Di sinilah komitmen “kesehatan yang utama, ekonomi mengikuti” dari pemerintahan Presiden Joko Widodo diuji. Kekhawatiran masyarakat menengah-atas harus dikurangi dengan peningkatan kapasitas uji COVID-19, progress positif pengembangan vaksin COVID-19, perencanaan vaksinasi COVID-19 yang matang dan penegakkan protokol kesehatan di kegiatan ekonomi masyarakat seperti aktivitas perbelanjaan dan pariwisata. Mereka termasuk juga Nahrowi dan Narsih menanti hasil dari upaya progresif untuk lepas dari resesi.