Jakarta (ANTARA) - Jika ada pertandingan sepak bola di daratan Prancis yang dianggap sebagai rivalitas paling panas tentunya mata akan tertuju pada persaingan antara Paris Saint-Germain dengan Marseille yang akrab disebut sebagai Le Classique alias partai klasik.
Sejak pertama kali bertemu di Divisi I Liga Prancis (menjadi Ligue 1 sejak 2002) pada 2 Desember 1971, Marseille memiliki keunggulan dalam persaingan panas dengan PSG selama tiga dasawarsa lamanya.
Namun, meminjam narasi kisah fiksi Avatar: The Legend of Aang, "semuanya berubah, sejak Negara Api menyerang". Dalam kisah Le Classique, Negara Api hadir dalam bentuk dana segar dari Timur Tengah yang membuat konsorsium Qatar Sports Investment (QSI) mengambil alih kepemilikan PSG.
Sejak QSI resmi membeli PSG pada Juni 2011, 20 edisi Le Classique di semua kompetisi hanya sekali dimenangi Marseille dan tiga kali berakhir imbang, sedang sisanya jadi milik Le Parisien termasuk partai final Piala Prancis 2015/16.
Kedatangan QSI praktis membuat PSG kini punya keunggulan telak atas Marseille dalam rekam jejak Le Classique yang sudah berlangsung 96 kali di semua kompetisi sejak 1971. PSG menang 42 kali, Marseille menang 32 kali dan 19 pertemuan sisanya berakhir imbang.
Padahal, sebelum QSI datang, Marseille punya keunggulan berupa 31 kemenangan dan hanya 26 kali kalah dari 76 kali pertemuan.
Terakhir kali Marseille menang atas PSG terjadi pada 27 November 2011 sekira enam bulan setelah serah terima kepemilikan Le Parisien ke tangan QSI.
Edisi ke-97 Le Classique akan digelar pada Senin (28/10) dini hari WIB yang menjadi bagian dari rangkaian jadwal Liga Prancis 2019/20 pekan ke-11.
Laga itu boleh jadi akan menggugurkan keunggulan Marseille dalam rekam jejak Le Classique di kancah Liga Prancis berupa 31 kemenangan, sebab jika pertandingan menjadi milik PSG maka rekor keduanya imbang 31 sama.
Harga mahal prestasi PSG
Dalam kisah-kisah kebijaksanaan peribahasa uang tak bisa membeli segalanya kerap bermunculan, namun hal itu tidak berlaku di sepak bola. Real Madrid dan Barcelona di Spanyol, Chelsea dan Manchester City di Inggris, serta tentunya PSG di Prancis adalah buktinya.
Sejak QSI membeli PSG, mereka berhasil menjuarai enam dari delapan musim Liga Prancis yang sudah rampung dijalani dan cuma gagal jadi juara pada 2011/12 dan 2016/17.
Kesuksesan itu juga menular berupa empat trofi Piala Prancis dan lima trofi Piala Liga Prancis di bawah kepemilikan QSI. Tambahan 15 gelar tersebut praktis membuat PSG menggeser posisi Marseille sebagai klub tersukses di Prancis.
PSG memiliki koleksi 30 trofi domestik dan Eropa liga gelar lebih banyak dibandingkan 25 trofi milik Marseille sepanjang masa.
Tentu saja 15 trofi itu tak diperoleh cuma-cuma oleh PSG, QSI harus membayar mahal. Sedikitnya 1,28 miliar euro telah digelontorkan oleh QSI untuk membeli prestasi PSG sejak 2011.
Jika dibandingkan, 303,75 juta euro telah dibelanjakan oleh Marseille dalam periode yang sama. Sungguh sulit membayangkan Marseille bisa menyamai raihan PSG dalam sembilan tahun terakhir dengan seperempat dari modal rivalnya itu.
Disparitas terdekat uang belanja kedua tim terjadi pada musim 2014/15 saat PSG menghabiskan 49,5 juta euro sedangkan Marseille 20,5 juta euro. Musim itu PSG keluar sebagai juara dan Marseille hanya menempati peringkat keempat.
Di era kepemilikan QSI terhadap PSG, Marseille cuma memperoleh satu trofi saja yakni Piala Liga Prancis 2011/12 di bawah kepelatihan Didier Deschamps.
Setelah Deschamps memutuskan menerima pekerjaan menangani tim nasional Prancis pada 2012, Marseille bergonta ganti pelatih tak kurang dari tujuh kali hingga kini ditangani Andre Villas-Boas. Capaian terbaik cuma menjadi runner-up Liga Europa 2017/18 saat di bawah kepelatihan Rudi Garcia.
Sebaliknya, pendahulu Deschamps di timnas Prancis, Laurent Blanc justru digaet PSG dan menjadi pelatih tersukses di era kepemilikan QSI dengan raihan delapan trofi bergengsi selama tiga musim durasi kepelatihannya.
PSG cuma punya dua gelar juara Liga Prancis sebelum QSI datang, namun kini mereka sudah mengumpulkan delapan trofi di lemari prestasinya. Jika musim ini mereka bisa mempertahankan dominasinya di Prancis, maka mereka akan menyamai raihan sembilan gelar juara liga Marseille.
Menilik prestasi yang diraih cukup mentereng, tentu tak sia-sia miliaran euro uang yang digelontorkan QSI di PSG.
Relevansi Le Classique kontemporer
Kancah sepak bola Prancis sudah berusia 89 tahun dan berbagai rivalitas bermunculan, namun harus diakui Le Classique jadi yang paling bergengsi.
Dekade 1950-an dan 1960-an Liga Prancis lebih banyak didominasi persaingan Saint-Etienne, Nantes dan Monaco dalam jalur perebutan gelar juara.
Lantas ketika Marseille mulai naik ke permukaan pada dekade 1970-an hingga 1980-an awal mereka terlibat persaingan dengan Saint-Etienne dan Bordeaux.
Benih-benih persaingan antara Marseille dan PSG baru muncul pada paruh akhir dekade 1980-an, tepatnya ketika Le Parisien meraih gelar juara perdananya di bawah kepelatihan Gerard Houllier pada 1985/86.
Kemunculan PSG dianggap sebagai peluang untuk menciptakan rivalitas antara dua tim mewakili wilayah selatan dan utara Prancis.
Mendahului kisah QSI, grup pemilik stasiun televisi Canal+ membeli PSG pada 1991 untuk menghadirkan rivalitas dengan Marseille yang belakangan dilabeli sebagai Le Classique.
Laiknya sebuah rivalitas, persaingan terjadi di semua lini termasuk bursa transfer pemain. Marseille mendatangkan nama-nama mentereng seperti Chris Waddle, Jean-Pierre Papin, Rudi Voeller, Basile Boli dan Enzo Francescoli, sedangkan PSG punya David Ginola, Youri Djorkaeff, George Weah dan Rai.
Era Le Classique yang ketat berlangsung cukup lama meskipun terkadang PSG tak masuk hitungan sebagai kandidat juara dan Marseille sempat punya rivalitas baru dengan kemunculan historis Olympique Lyon yang menyapu gelar juara tujuh musim beruntun pada era 2000-an.
Ketika era Lyon habis, terbitlah masanya bagi PSG menjadi patron utama sepak bola Prancis berkat kekuatan sokongan dana QSI. Hal itu telah berlangsung setidaknya selama sembilan musim terakhir dan sempat menyingkirkan Le Classique di balik kedatangan taipan Rusia yang menyuntik dana untuk Monaco.
Kini, Le Classique mungkin tak ubahnya hanya seperti North-West Derby di Inggris yang mempertemukan dua klub tersukses di sana, namun kerap kali tak begitu mempengaruhi jalur persaingan gelar juara.
Bagi para penikmat layar kaca, sepak bola mungkin urusan siapa yang lebih hebat dan berprestasi saat ini, namun untuk mereka yang memadati tribun penonton langsung hal itu tidak berlaku.
Bagi pendukung Les Olympiens maupun Les Parisiens Le Classique tetaplah ajang pertaruhan gengsi antara dua nama klub yang setidaknya sampai saat ini masih jadi pengumpul trofi terbanyak di daratan Prancis sepanjang masa.
Lebih dari itu, sepak bola tak semata-mata tentang confetti yang menjatuhi wajah para pemain di sela-sela penyerahan trofi di podium, tetapi juga sorak sorai dan saling ejek antara suporter satu tim terhadap penggemar musuh bebuyutannya ketika peluit tanda laga usai berbunyi tanpa peduli soal posisi masing-masing di klasemen.