Gorontalo (ANTARA) - Para peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Sulawesi Utara, menemukan bentuk pertahanan zaman kolonial, bastion Benteng Maas yang tidak lazim.
Reruntuhan bastion di tepi pantai utara Provinsi Gorontalo itu, berbentuk segi delapan atau oktagon.
Bastion ini satu-satunya dari empat bastion yang masih utuh meskipun mengalami kerusakan akibat dimakan usia.
"Bastion adalah bagian yang menjorok keluar, pada umumnya terletak di tiap sudut benteng," kata Irna Saptaningrum, Ketua Tim Peneliti Benteng Maas, di Gorontalo, Sabtu.
Ia menjelaskan, fungsi bastion sebagai tempat pengintaian atau pengawasan. Biasanya ada lubang bidik yang jumlahnya sesuai kebutuhan pada masanya.
Sebagai alat pertahanan militer, bastion digunakan untuk pemantauan pantai atau laut, sungai, jalan atau akses darat.
Di Benteng Maas, bastion yang tersisa adalah yang paling besar untuk mengawasi bagian laut yang juga terdapat muara sungai.
"Bentuk bastion yang oktagonal atau segi delapan ini tidak lazim untuk benteng Belanda karena biasanya berbentuk mata panah," kata M Chawari, anggota tim penelitian dari Balar Yogyakarta.
Temuan para arkeolog ini menarik karena dalam catatan sejarah, Gorontalo merupakan daerah paling lama dijajah oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Pemerintah Hindia Belanda.
Temuan bentuk oktagon bastion ini semakin memperkaya khazanah dan nilai benteng-benteng masa Islam dan kolonial di Gorontalo.
Anggota tim penelitian lain, Agus Hascaryo, pakar geo-arkeologi memastikan bahan baku penyusun bastion adalah batu karang, andesit, granodiorit, tuva dan breksi yang sumbernya banyak terdapat di sekitar benteng.
"Secara umum riset yang kami lakukan adalah untuk mencari bentuk arsitektur, sekarang sedang mencari puzzle, bagian-bagian yang harus dirangkai untuk membentuk kesatuan utuh," ujar Wuri Handoko, Kepala Balar Sulawesi Utara.
Situs Benteng Maas, terletak di Desa Cisadane, Kecamatan Kwandang, Gorontalo Utara.