"Kopi Semende" produk hutan sosial diperkenalkan di Amerika
Palembang (ANTARA) - Produk perhutanan sosial berupa "Kopi Semende" dari petani Desa Cahaya Alam, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, diperkenalkan di Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, setelah berinovasi dalam kemasan sejak tahun lalu.
Fasilitator petani perwakilan dari Lembaga Sosial Masyarakat Hutan Kita Institute (Haki), Aidil Fiqri, di Palembang, Senin, mengatakan kopi jenis arabika dan robusta itu sudah dibawa ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa sejak setahun terakhir.
"Sejauh ini baru melalui rekan-rekan kami yang kebetulan ada keperluan ke luar negeri, respons positif karena selalu habis berapa pun yang dibawa. Kami berharap ke depannya muncul 'reseller-reseller'," kata dia.
Untuk di dalam negeri, kopi dari pertanian rakyat dengan skema perhutanan sosial itu sudah mendapatkan pesanan dari Jakarta, Bandung, Bali, dan beberapa daerah di Kalimantan.
Ia mengatakan Haki sebagai pendamping petani, membeli kopi dari petani di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabuapaten Muaraenim dengan harga Rp18.000-Rp23.000 per kg, kemudian menjual dengan harga Rp40.000/kg untuk jenis robusta, dan Rp70.000-Rp100.000 untuk jenis arabika.
Kopi itu dikemas dalam kantong kertas yang didesain sedemikian rupa agar menarik, baik untuk kemasan kopi bubuk maupun "roast bean" (biji).
Keuntungan dari penjualan itu, kemudian dikembalikan ke petani dalam bentuk pelatihan dan pendampingan.
"Kami juga sudah membuka sekolah tani dan demontrasi plot (demplot) di Desa Cahaya Alam," kata dia.
Petani-petani itu sudah mendapatkan SK dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mengelola hutan yang sebelumnya berstatus hutan lindung seluas 900 hektare. Terdapat 1.300 kepala keluarga yang sebagian besar menggantungkan hidup dari perkebunan kopi, selain itu ada juga yang menanam padi dan sayuran.
Ia menjelaskan pemanfaatan hutan dalam skema perhutanan sosial mulai 2016 di desa tersebut, yang diharapkan menjadi solusi atas konflik lahan, hilangnya aset hutan desa, hilangnya zonasi konservasi hutan dan air.
Selain itu, skema hutan sosial diharapkan menjadikan petani lebih sejahtera karena SK pemanfaatan lahan bisa memenuhi persyaratan untuk peminjaman modal ke perbankan.
"Kini setelah semuanya legal, kami harus mendampingi petani-petani ini dalam membuat rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan agar kredit perbankan bisa mengalir," kata dia.
Selain adanya pendampingan dari LSM, petani penerima SK lahan perhutanan sosial juga didampingi Lembaga Pengelola Hutan Desa.
Dalam pendampingan tersebut, petani diajak memperbaiki metode pengolahan lahan dan produk agar nilai jual lebih tinggi, seperti tidak menggunakan pupuk kimia. Penggunaan pupuk kimia membuat terjadinya penurunan produksi karena adanya kerusakan tanah dari awalnya satu hektare menghasilkan tiga ton kini hanya satu ton.
Selain itu, perbaikan metode petik buah, yang mana petani masih petik serentak tanpa ada pemilahan antara buah yang sudah masak atau mentah.
"Kami juga mendorong mereka ke pertanian organik, ini suatu potensi luar biasa. Tapi tentunya tidak mudah mengubah perilaku petani yang terbiasa menggunakan bahan organik," kata dia.
Seluas 98.947 hektare lahan perhutanan sosial di Sumatera Selatan sudah dilepas ke masyarakat pada 2019, membuka akses ekonomi bagi 14.511 kepala keluarga (KK).
Izin perhutanan sosial itu diterbitkan meliputi Hutan Desa (HD) 23 unit dengan luas 32.961 hektare, Hutan Kemasyarakatan (Hkm) 41 unit dengan luas 21.529,64 hektare, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 23 unit dengan luas 16.258,32 hektare, Hutan Adat (HA) satu unit dengan luas 336.000 hektare, dan Kemitraan Kehutanan (KK) lima unit dengan luas 27.862,22 hektare.
Fasilitator petani perwakilan dari Lembaga Sosial Masyarakat Hutan Kita Institute (Haki), Aidil Fiqri, di Palembang, Senin, mengatakan kopi jenis arabika dan robusta itu sudah dibawa ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa sejak setahun terakhir.
"Sejauh ini baru melalui rekan-rekan kami yang kebetulan ada keperluan ke luar negeri, respons positif karena selalu habis berapa pun yang dibawa. Kami berharap ke depannya muncul 'reseller-reseller'," kata dia.
Untuk di dalam negeri, kopi dari pertanian rakyat dengan skema perhutanan sosial itu sudah mendapatkan pesanan dari Jakarta, Bandung, Bali, dan beberapa daerah di Kalimantan.
Ia mengatakan Haki sebagai pendamping petani, membeli kopi dari petani di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabuapaten Muaraenim dengan harga Rp18.000-Rp23.000 per kg, kemudian menjual dengan harga Rp40.000/kg untuk jenis robusta, dan Rp70.000-Rp100.000 untuk jenis arabika.
Kopi itu dikemas dalam kantong kertas yang didesain sedemikian rupa agar menarik, baik untuk kemasan kopi bubuk maupun "roast bean" (biji).
Keuntungan dari penjualan itu, kemudian dikembalikan ke petani dalam bentuk pelatihan dan pendampingan.
"Kami juga sudah membuka sekolah tani dan demontrasi plot (demplot) di Desa Cahaya Alam," kata dia.
Petani-petani itu sudah mendapatkan SK dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mengelola hutan yang sebelumnya berstatus hutan lindung seluas 900 hektare. Terdapat 1.300 kepala keluarga yang sebagian besar menggantungkan hidup dari perkebunan kopi, selain itu ada juga yang menanam padi dan sayuran.
Ia menjelaskan pemanfaatan hutan dalam skema perhutanan sosial mulai 2016 di desa tersebut, yang diharapkan menjadi solusi atas konflik lahan, hilangnya aset hutan desa, hilangnya zonasi konservasi hutan dan air.
Selain itu, skema hutan sosial diharapkan menjadikan petani lebih sejahtera karena SK pemanfaatan lahan bisa memenuhi persyaratan untuk peminjaman modal ke perbankan.
"Kini setelah semuanya legal, kami harus mendampingi petani-petani ini dalam membuat rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan agar kredit perbankan bisa mengalir," kata dia.
Selain adanya pendampingan dari LSM, petani penerima SK lahan perhutanan sosial juga didampingi Lembaga Pengelola Hutan Desa.
Dalam pendampingan tersebut, petani diajak memperbaiki metode pengolahan lahan dan produk agar nilai jual lebih tinggi, seperti tidak menggunakan pupuk kimia. Penggunaan pupuk kimia membuat terjadinya penurunan produksi karena adanya kerusakan tanah dari awalnya satu hektare menghasilkan tiga ton kini hanya satu ton.
Selain itu, perbaikan metode petik buah, yang mana petani masih petik serentak tanpa ada pemilahan antara buah yang sudah masak atau mentah.
"Kami juga mendorong mereka ke pertanian organik, ini suatu potensi luar biasa. Tapi tentunya tidak mudah mengubah perilaku petani yang terbiasa menggunakan bahan organik," kata dia.
Seluas 98.947 hektare lahan perhutanan sosial di Sumatera Selatan sudah dilepas ke masyarakat pada 2019, membuka akses ekonomi bagi 14.511 kepala keluarga (KK).
Izin perhutanan sosial itu diterbitkan meliputi Hutan Desa (HD) 23 unit dengan luas 32.961 hektare, Hutan Kemasyarakatan (Hkm) 41 unit dengan luas 21.529,64 hektare, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 23 unit dengan luas 16.258,32 hektare, Hutan Adat (HA) satu unit dengan luas 336.000 hektare, dan Kemitraan Kehutanan (KK) lima unit dengan luas 27.862,22 hektare.