Pacu jawi, tradisi Tanah Datar yang makin ramai dikunjungi turis asing
....Pacu jawi ini telah berlangsung di Tanah Datar sejak dulu, yang awalnya sebagai ungkapan rasa syukur setelah habis panen....
Dua pasang jawi (sapi) dewasa yang dipandu dua joki lelaki berusia sekitar 35 tahun nampak bersiap-siap akan memulai lomba.
Tiap pasangan sapi itu disatukan dua alat seperti bajak yang terikat satu sama lain. Di antara keduanya nampak gagah sang joki memegang tali yang terhubung dengan leher sapi dan ekor-ekor hewan itu juga dia genggam.
Arena pacuan adalah persawahan yang habis dipanen. Arena itu penuh lumpur dan air setinggi mata kaki orang dewasa. Lokasinya di hamparan sawah Subarang Koto Hiliang, Nagari Sungai Tarab, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Lintasan lomba yang becek itu sepanjang sekitar 100 meter dan lebarnya sekitar 25 meter. Di sisi-sisi lintasan dan dibatasi tali plastik nampak berbaris ratusan penonton. Mereka ada yang duduk, jongkok dan berdiri untuk menyaksikan jagoannya berpacu.
Para penonton laki-laki dan wanita serta bermacam-macam pula tingkatan usianya. Anak orang tua, dewasa, remaja, anak-anak, balita hingga bayi yang masih dalam gendongan ibunya.
Asal penonton pun beragam. Ada orang lokal Tanah Datar, Sumatera Barat dan wilayah lainnya di Sumatera bahkan Indonesia yang jadi wisatawan. Diantara mereka juga nampak orang berkulit putih dan berhidung mancung yang sengaja datang sebagai wisatawan mancanegara.
Para wisatawan dalam dan luar negeri itu berkunjung sebagai bagian trip paket wisata mereka di bumi Ranahminang yang telah disusun pihak tour dan travelnya.
Di tengah gemuruh penonton juga nampak sejumlah fotografer lokal dan mancanegara, juga beberapa cameramen. Lensa-lensa di camera mereka panjang-panjang dan apa pula pakai tripot. Mereka siap-siap mengabadikan momen pacuan jawi itu untuk berbagai kepentingannya.
Suasana di lokasi pacuan seperti pesta malam. Ribuan penonton tumpah ruah, dan para pedagang makanan, minuman, mainan anak-anak dan aksesoris juga berdatangan menjajakan dagangannya.
Payung-payung besarpun terkembang oleh para pedagang untuk peneduh tempatnya berjualan. Ratusan ribu, jutaan hingga puluhan juta rupiah beredar hingga ekonomi pun berputar.
Acara yang berlangsung pada sore hari hingga matahari kembali keperaduannya. Tradisi yang telah turun temurun ini makin hangat dengan alunan musik-musik tradisional Minang yang diputar panitia dengan alat pengeras suara.
Sementara itu dua pasangan jawi nampak bersiap digaris star. Setelah semua benar-benar "ready", baru seorang panitia mengibarkan bendera start, bertanda dimulainya pacuan.
Dua pasang jawi lalu berpacu untuk jadi tercepat dan terkuat. Dipandu para joki yang memengang tali dan ekor binatang tersebut. Jawi-jawi itu menghentakkan kaki-kakinya di lintasan yang basah dan berlumpur.
Nampak sekali-kali air dan lumpur terciprat ke udara diterjang kaki-kaki sapi. Sang joki kadang sampai mengigit ekor jawi dan melecutinya untuk memberi semangat agar makin cepat berlari.
Sorak-sorai penonton bergema di tengah alunan musik talempong, puput dan gendang hingga acara pun makin meriah.
Lama pacuan tidak lebih dari satu menit dan beberapa kali dilaksanakan menampilkan puluhan pasangan jawi nan jokinya. Hingga akhirnya terpilih yang tercepat dan terkuat serta terbaik.
Yang tercepat, terkuat dan terbaik dianugerahi hadiah oleh panitia. Nilai jual sapi-sapi pemenang pun menjadi tinggi dan jauh lebih mahal dibanding sapi biasa.
Pacu jawi ini telah berlangsung di Tanah Datar sejak dulu, yang awalnya sebagai ungkapan rasa syukur setelah habis panen.
Kini tradisi itu telah menasional bahkan mendunia dan telah masuk agenda tetap pariwisata daerah itu dan sangat diminati wisatawan.
Ketua Pelaksana Pacu Jawi, Erizal Efendi mengemukakan acara ini sudah lima kali hari Minggu dilaksanakan.
Atraksi ini, menurut dia, merupakan permainan tradisional masyarakat lokal di empat kecamatan di Tanah Datar yang diaplikasikan sebagai hiburan masyarakat.
Pacu jawi dilaksanakan untuk mengisi masa setelah panen padi sampai musim bercocok tanam yang prosesinya dilaksanakan secara adat Minangkabau.
Tiap pasangan sapi itu disatukan dua alat seperti bajak yang terikat satu sama lain. Di antara keduanya nampak gagah sang joki memegang tali yang terhubung dengan leher sapi dan ekor-ekor hewan itu juga dia genggam.
Arena pacuan adalah persawahan yang habis dipanen. Arena itu penuh lumpur dan air setinggi mata kaki orang dewasa. Lokasinya di hamparan sawah Subarang Koto Hiliang, Nagari Sungai Tarab, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Lintasan lomba yang becek itu sepanjang sekitar 100 meter dan lebarnya sekitar 25 meter. Di sisi-sisi lintasan dan dibatasi tali plastik nampak berbaris ratusan penonton. Mereka ada yang duduk, jongkok dan berdiri untuk menyaksikan jagoannya berpacu.
Para penonton laki-laki dan wanita serta bermacam-macam pula tingkatan usianya. Anak orang tua, dewasa, remaja, anak-anak, balita hingga bayi yang masih dalam gendongan ibunya.
Asal penonton pun beragam. Ada orang lokal Tanah Datar, Sumatera Barat dan wilayah lainnya di Sumatera bahkan Indonesia yang jadi wisatawan. Diantara mereka juga nampak orang berkulit putih dan berhidung mancung yang sengaja datang sebagai wisatawan mancanegara.
Para wisatawan dalam dan luar negeri itu berkunjung sebagai bagian trip paket wisata mereka di bumi Ranahminang yang telah disusun pihak tour dan travelnya.
Di tengah gemuruh penonton juga nampak sejumlah fotografer lokal dan mancanegara, juga beberapa cameramen. Lensa-lensa di camera mereka panjang-panjang dan apa pula pakai tripot. Mereka siap-siap mengabadikan momen pacuan jawi itu untuk berbagai kepentingannya.
Suasana di lokasi pacuan seperti pesta malam. Ribuan penonton tumpah ruah, dan para pedagang makanan, minuman, mainan anak-anak dan aksesoris juga berdatangan menjajakan dagangannya.
Payung-payung besarpun terkembang oleh para pedagang untuk peneduh tempatnya berjualan. Ratusan ribu, jutaan hingga puluhan juta rupiah beredar hingga ekonomi pun berputar.
Acara yang berlangsung pada sore hari hingga matahari kembali keperaduannya. Tradisi yang telah turun temurun ini makin hangat dengan alunan musik-musik tradisional Minang yang diputar panitia dengan alat pengeras suara.
Sementara itu dua pasangan jawi nampak bersiap digaris star. Setelah semua benar-benar "ready", baru seorang panitia mengibarkan bendera start, bertanda dimulainya pacuan.
Dua pasang jawi lalu berpacu untuk jadi tercepat dan terkuat. Dipandu para joki yang memengang tali dan ekor binatang tersebut. Jawi-jawi itu menghentakkan kaki-kakinya di lintasan yang basah dan berlumpur.
Nampak sekali-kali air dan lumpur terciprat ke udara diterjang kaki-kaki sapi. Sang joki kadang sampai mengigit ekor jawi dan melecutinya untuk memberi semangat agar makin cepat berlari.
Sorak-sorai penonton bergema di tengah alunan musik talempong, puput dan gendang hingga acara pun makin meriah.
Lama pacuan tidak lebih dari satu menit dan beberapa kali dilaksanakan menampilkan puluhan pasangan jawi nan jokinya. Hingga akhirnya terpilih yang tercepat dan terkuat serta terbaik.
Yang tercepat, terkuat dan terbaik dianugerahi hadiah oleh panitia. Nilai jual sapi-sapi pemenang pun menjadi tinggi dan jauh lebih mahal dibanding sapi biasa.
Pacu jawi ini telah berlangsung di Tanah Datar sejak dulu, yang awalnya sebagai ungkapan rasa syukur setelah habis panen.
Kini tradisi itu telah menasional bahkan mendunia dan telah masuk agenda tetap pariwisata daerah itu dan sangat diminati wisatawan.
Ketua Pelaksana Pacu Jawi, Erizal Efendi mengemukakan acara ini sudah lima kali hari Minggu dilaksanakan.
Atraksi ini, menurut dia, merupakan permainan tradisional masyarakat lokal di empat kecamatan di Tanah Datar yang diaplikasikan sebagai hiburan masyarakat.
Pacu jawi dilaksanakan untuk mengisi masa setelah panen padi sampai musim bercocok tanam yang prosesinya dilaksanakan secara adat Minangkabau.