AI dan ilusi kepintaran dalam pendidikan Indonesia

id AI,kecerdasan buatan,pendidikan,ilusi kepintaran,chatgpt,proses berpikir

AI dan ilusi kepintaran dalam pendidikan Indonesia

Ilustrasi. Konferensi Internet Dunia 2025 di Wuzhen, Provinsi Zhejiang, China. ANTARA/Xinhua/Huang Zongzhi/aa.

Ketiga, evaluasi pendidikan masih menilai output, bukan proses. Selama yang dinilai adalah tugas tertulis, ringkasan, esai, dan laporan, maka AI akan selalu menjadi jalan pintas sempurna untuk menghasilkan output cepat tanpa pembelajaran.

Di banyak sekolah dan kampus Indonesia, gejala berikut mulai sering ditemukan bahwa esai siswa lebih rapi, tetapi ketika ditanya, mereka tidak bisa menjelaskan logikanya. Jawaban yang dihasilkan AI terlihat benar, tetapi siswa tidak tahu mana yang salah atau mengapa. Siswa semakin cepat mengumpulkan tugas, tetapi nilai ujian tatap muka justru turun.

Proses berpikir kritis, evaluasi diri, dan analisis melemah. Dalam istilah Daniel Willingham, memori adalah “residu dari pemikiran”. Jika siswa tidak berpikir, mereka tidak mengingat. Jika AI berpikir untuk mereka, mereka tidak belajar.

Apa yang harus dilakukan agar AI membuat kita lebih pintar? Agar AI menjadi alat untuk meningkatkan kecerdasan, bukan sekadar kosmetika kepintaran, Indonesia perlu melakukan empat langkah penting.

Pertama, mendesain pembelajaran yang mempertahankan usaha kognitif AI tidak boleh mengerjakan tugas siswa, tetapi digunakan untuk: memberi contoh, bukan membuat seluruh jawabannya, memberikan petunjuk langkah demi langkah, menantang siswa untuk menjelaskan kembali konsep dan meminta siswa membandingkan dua jawaban dan menentukan mana yang benar. Model ini disebut productive struggle with guidance yaitu AI memandu, siswa tetap berpikir keras.

Contoh ideal alih-alih meminta AI membuat esai, guru meminta siswa membuat draf sendiri, lalu menggunakan AI untuk memberikan kritik, menemukan celah logika, dan memperbaiki argumen.

Kedua, melatih guru dalam “pedagogi era AI” selama 40 jam per tahun. Pelatihan harus mencakup cara membuat prompt yang mendorong pemikiran, cara menggunakan AI sebagai tutor, bukan mesin penjawab, cara mendesain tugas yang tidak dapat diselesaikan AI tanpa pemahaman siswa (misal: pertanyaan reflektif, analisis kasus lokal, tugas berbasis data kelas) dan cara mendeteksi AI dependency. Tanpa guru terlatih, sekolah hanya berdiri di atas ilusi pendidikan.

Ketiga, mengubah cara evaluasi dengan menilai pembelajaran tanpa AI. Agar siswa tidak hanya pintar “di atas kertas”, evaluasi harus mencakup ujian lisan, penilaian berbasis proyek nyata, diskusi kelas, penjelasan konseptual, tes yang mengharuskan siswa menjelaskan proses. Kita harus menilai apa yang ada di kepala siswa bukan apa yang keluar dari mesin.

Keempat, mengedukasi siswa tentang bagaimana AI dapat meningkatkan otak mereka. Siswa perlu memahami bahwa AI harus digunakan untuk belajar, bukan untuk menghindari belajar, menyalin jawaban AI adalah cara tercepat untuk tampak pintar dan menjadi bodoh karena otak hanya belajar ketika melakukan pekerjaan sulit.

Pendidikan teknologi tanpa pendidikan kognitif akan menghasilkan generasi dengan smart output tetapi shallow thinking.

Indonesia memiliki peluang besar. Dengan 58 juta siswa dan 3,3 juta guru, penggunaan AI secara tepat dapat menjadi akselerator terbesar dalam sejarah pendidikan nasional. AI dapat menyediakan tutor personal untuk setiap siswa, membantu guru membuat materi berbeda untuk tiap tingkat kemampuan, mempercepat remedial, memberikan penjelasan alternatif bagi siswa yang tertinggal dan memperkaya pembelajaran tanpa menambah beban guru.

Tapi semua itu hanya terjadi jika AI digunakan untuk memperkuat pemikiran, bukan menggantikan pemikiran.

Kita berada pada titik kritis. Jika kita tidak berhati-hati, AI dapat menciptakan generasi yang tampak pintar tetapi tidak mampu berpikir mandiri, memecahkan masalah, atau menilai kebenaran. Di era misinformasi dan manipulasi digital, itu adalah risiko yang sangat berbahaya.

Tetapi jika kita berinvestasi pada pelatihan guru, mendesain tugas dengan benar, mengubah sistem evaluasi, dan membangun budaya berpikir, Indonesia dapat menjadi negara yang memanfaatkan AI untuk membangun generasi yang benar-benar cerdas yaitu generasi yang tidak hanya menghasilkan jawaban bagus, tetapi mampu menjelaskan, memikirkan ulang, dan menciptakan ide baru.

Pilihan itu ada di tangan kita. AI dapat membuat kita terlihat pintar dalam hitungan detik, tetapi membuat kita benar-benar pintar membutuhkan keputusan yang tepat, desain pembelajaran yang kuat, dan investasi serius pada manusia di balik teknologi.



*) Dr Aswin Rivai, Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: AI dan ilusi kepintaran dalam pendidikan Indonesia

Pewarta :
Uploader: Aang Sabarudin
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.