Jakarta (ANTARA) - Pemerintahan Prabowo Subianto kembali diuji oleh memori kolektif melalui usulan gelar Pahlawan Nasional bagi dua sosok bertolak belakang: Presiden Kedua RI Soeharto dan martir buruh Marsinah.
Kementerian Sosial mengajukan 40 nama tokoh, termasuk keduanya. Polemik ini bukan soal administratif, tetapi pertarungan narasi antara ambisi rekonsiliasi dan tuntutan keadilan yang akan ditulis sejarah.
Sebagai guru terbaik, sejarah harus dapat dibaca sebagai kenangan masa lalu dan masa depan yang lebih inklusif. Di sini catatan kelam bangsa dapat dijernihkan tanpa mengaburkan kebenaran.
Dengan mengembangkan daya nalar, usulan gelar pahlawan ini diharapkan menjadi momentum memperkuat ikatan persatuan, menciptakan akuntabilitas sejarah, dan menginspirasi generasi baru dalam berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Narasi Rekonsiliasi.
Memberikan gelar kesetaraan kepada tokoh dengan latar belakang berbeda bukanlah tanpa hambatan. Langkah itu tak dapat dilepaskan dari pandangan bahwa ada upaya memutihkan sejarah, merevisi narasi nasional yang keliru, dan tindakan rekonsiliasi demi luka lama yang masih membekas.
Rekonsiliasi sejati membutuhkan legitimasi yang kuat, didukung keterbukaan fakta, sehingga menciptakan sintesis yang mengokohkan fondasi demokrasi.
Di era Presiden Prabowo yang menjanjikan inklusivitas, langkah ini positif karena mendorong konsep dialog nasional lintas generasi. Bayangkan jika proses ini melibatkan forum publik, seminar sejarah, dan kurikulum pendidikan yang integratif, maka akan menjadi alat pendidikan nasionalisme yang hidup, dan mengajarkan bahwa bangsa besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan dirinya sendiri.
Secara positif, rekonsiliasi bisa mempercepat penyembuhan trauma kolektif berkepanjangan yang hanya membuat noktah merah dalam buku sejarah kita. Rekonsiliasi juga dapat direpresentasikan melalui ide kreatif seperti misalnya, dengan membentuk museum digital interaktif tentang Orde Baru, di mana jasa pembangunan Soeharto dipamerkan berdampingan dengan kisah perjuangan Marsinah.
Ini bukan hanya soal simbolis, tapi upaya mempertontonkan kejujuran sejarah secara praktis untuk meningkatkan literasi, mengurangi polarisasi politik, dan membangun empati antar kelompok. Hasilnya, bangsa Indonesia akan lebih tangguh menghadapi tantangan global, termasuk ancaman disintegrasi.
Soeharto dan Marsinah
Presiden Soeharto berbincang-bincang dengan para seniman. (ANTARA)
