JAKARTA (ANTARA) - Digunakan oleh sebanyak 139 juta orang atau setara 49,9 persen populasi di Tanah Air (We Are Social, 2024) media sosial bak jagat tanpa sekat yang membangun keterhubungan antarmanusia kapan dan di manapun.
Pelantar digital (digital platform) ini efektif dalam memperkaya jejaring tetapi juga riskan menimbulkan gesekan hingga banyak warganet menghadapi masalah hukum. Perlu siasat agar selamat dan justru mengambil banyak manfaat dari luasnya pergaulan di dunia virtual itu.
Atas inisiatif seorang pakar pemasaran, strategi, dan digital terkemuka Indonesia Handi Irawan Djuwadi dicetuskanlah Hari Media Sosial Nasional pada 10 Juni 2015, sehingga hari ini (10 Juni 2024) merupakan peringatan yang ke-9 kalinya. Tujuannya tak lain untuk membangun kesadaran masyarakat agar bijak dalam membuat dan menyebarkan konten di media sosial, juga menjaga netiket selama bergaul di lingkungan daring.
Bagai pedang bermata dua, media sosial yang mampu menebas batas ruang dan waktu, di satu sisi memberikan kemudahan dalam aktivitas komunikasi dengan khalayak luas, selain sarana aktualisasi dan promosi diri. Pada bagian lain, bila tak digunakan dengan bijak media sosial dapat mengantar penggunanya harus berhadapan dengan hukum.
Pepatah yang menyebutkan “Mulutmu adalah harimaumu” seiring pesatnya perkembangan medsos turut bertambah “Jari-jarimu menjadi macanmu”. Bila dahulu penegakan hukum fokus menangani kejahatan di dunia nyata, kini juga merangsek ke ranah siber. Karena tak hanya beraksi di tengah masyarakat, pelaku kriminal juga bergentayangan di media sosial.
Bagaimana ragam perilaku manusia di kehidupan nyata pada gilirannya terduplikasi ke dunia maya. Maka perangkat hukum pun bergegas menyesuaikan dengan terbitnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan sejumlah penyesuaian dalam hal upaya pencegahan dan penanganannya. Semisal gencarnya edukasi literasi digital yang digalakkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) agar masyarakat melek digital sehingga mampu memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia seraya menjaga diri tidak terjerumus menjadi pelaku atau korban kejahatan di dalamnya.
Sebagaimana keharusan masyarakat menjaga etika dalam pergaulan sosial, begitu pula aturan serupa berlaku selama bergaul di media sosial. Ketika warganet tak mengindahkan perilaku dan tata krama, maka banyak di antaranya telah memasuki jeruji besi oleh sebab lisan atau jari yang tak terkendali.
Sejumlah kasus hukum yang lazim terjadi di medsos seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penipuan, perundungan hingga peretasan. Adapula figur publik yang bertikai di medsos lalu berlanjut ketemu fisik untuk adu jotos di ring tinju. Sungguh, realitas dunia --baik nyata maupun maya-- kerap menyuguhkan tontonan yang menggelitik akal sehat.
Media sosial adalah buah dari kemajuan teknologi komunikasi. Kehadirannya akan menjadi berkah atau musibah amatlah bergantung pada penggunanya. Mereka yang terjerembab ke lembah masalah umumnya warganet rendah literasi, dengan sesuka hati membuat dan menyebar konten “sampah” nirfaedah atau malah mengarah pada unsur kejahatan seperti kabar bohong hingga menghasut massa.
Sementara banyak pula yang menangguk untung dengan memanfaatkan jejaring sosial untuk promosi diri, keahlian, atau usaha rintisan hingga meraih kesuksesan gemilang berkat luasnya akses yang dapat dijangkau.