Pakar: Pendekatan lain diperlukan pada kebijakan pengendalian tembakau
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pakar mengkritik kebijakan pengendalian tembakau yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di mana seharusnya pendekatan lain seperti pemanfaatan potensi dari produk tembakau alternatif dilakukan untuk membantu perokok dewasa beralih dari kebiasaannya.
"WHO mempertahankan kebijakan berhenti merokok dengan menolak mendengarkan masukan apa pun dari pihak luar. Kondisi ini menjadi tantangan yang kita hadapi bersama karena mereka menolak menerima pendekatan (yang memanfaatkan) produk yang lebih rendah risiko," kata Profesor dan Ketua Dewan Penasihat Pusat Hukum, Kebijakan, dan Etika Kesehatan Universitas Ottawa di Kanada David Sweanor dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
David mengatakan pengambilan kebijakan pengendalian tembakau yang dilakukan selama ini didasari oleh sentimen negatif terhadap produk tembakau alternatif. Hal ini menjadi masalah karena WHO dinilai tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat yang mengedepankan pendekatan pengurangan bahaya tembakau.
Ia menilai kesuksesan Swedia, Norwegia, Inggris, Islandia, dan Jepang dalam menurunkan prevalensi merokok melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif sudah seharusnya menjadi kebijakan baru yang diadopsi WHO.
"Kita bisa menghilangkan sebagian besar masalah merokok secara global dengan produk-produk (yang lebih) rendah risiko. Peluangnya ada dan Konvensi Kerangka Kerja WHO seharusnya memfasilitasi produk tembakau alternatif, bukan menghalanginya," ujarnya.
Senada dengan David, Profesor Ilmu Penyakit Dalam di Universitas Catania, Italia dan Pendiri CoEHAR (Pusat Penelitian Pengurangan Dampak Buruk Merokok), Riccardo Polosa, mengatakan kebijakan pengendalian tembakau memerlukan sebuah inovasi. Artinya, kebijakan tersebut harus mengadopsi prinsip-prinsip kesehatan dan menghormati hak asasi manusia.
Alih-alih menerapkan satu solusi dengan kebijakan berhenti merokok, Ia menilai aturan pengendalian tembakau saat ini perlu mempertimbangkan pendekatan yang terbukti efektif dalam mengurangi prevalensi merokok, salah satunya melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko daripada rokok.
“Pengendalian tembakau harus mempertimbangkan integrasi prinsip pengurangan bahaya melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko (daripada rokok)," ucapnya.
Di Indonesia sendiri, Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo) Paido Siahaan menjelaskan masih ada misinformasi bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko seperti rokok.
Menurutnya, produk yang merupakan hasil pengembangan inovasi dan teknologi dari industri tembakau ini menerapkan konsep pengurangan bahaya tembakau. Oleh karena itu, Paido mendorong pemanfaatan produk tembakau alternatif sebagai pilihan bagi perokok dewasa untuk beralih dari kebiasaan merokok.
"Keberhasilan ini akan bergantung pada regulasi yang tepat, informasi yang jelas, dan peran aktif pemerintah dalam mendorong peralihan," tutur Paido.
"WHO mempertahankan kebijakan berhenti merokok dengan menolak mendengarkan masukan apa pun dari pihak luar. Kondisi ini menjadi tantangan yang kita hadapi bersama karena mereka menolak menerima pendekatan (yang memanfaatkan) produk yang lebih rendah risiko," kata Profesor dan Ketua Dewan Penasihat Pusat Hukum, Kebijakan, dan Etika Kesehatan Universitas Ottawa di Kanada David Sweanor dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
David mengatakan pengambilan kebijakan pengendalian tembakau yang dilakukan selama ini didasari oleh sentimen negatif terhadap produk tembakau alternatif. Hal ini menjadi masalah karena WHO dinilai tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat yang mengedepankan pendekatan pengurangan bahaya tembakau.
Ia menilai kesuksesan Swedia, Norwegia, Inggris, Islandia, dan Jepang dalam menurunkan prevalensi merokok melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif sudah seharusnya menjadi kebijakan baru yang diadopsi WHO.
"Kita bisa menghilangkan sebagian besar masalah merokok secara global dengan produk-produk (yang lebih) rendah risiko. Peluangnya ada dan Konvensi Kerangka Kerja WHO seharusnya memfasilitasi produk tembakau alternatif, bukan menghalanginya," ujarnya.
Senada dengan David, Profesor Ilmu Penyakit Dalam di Universitas Catania, Italia dan Pendiri CoEHAR (Pusat Penelitian Pengurangan Dampak Buruk Merokok), Riccardo Polosa, mengatakan kebijakan pengendalian tembakau memerlukan sebuah inovasi. Artinya, kebijakan tersebut harus mengadopsi prinsip-prinsip kesehatan dan menghormati hak asasi manusia.
Alih-alih menerapkan satu solusi dengan kebijakan berhenti merokok, Ia menilai aturan pengendalian tembakau saat ini perlu mempertimbangkan pendekatan yang terbukti efektif dalam mengurangi prevalensi merokok, salah satunya melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko daripada rokok.
“Pengendalian tembakau harus mempertimbangkan integrasi prinsip pengurangan bahaya melalui pemanfaatan produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko (daripada rokok)," ucapnya.
Di Indonesia sendiri, Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo) Paido Siahaan menjelaskan masih ada misinformasi bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko seperti rokok.
Menurutnya, produk yang merupakan hasil pengembangan inovasi dan teknologi dari industri tembakau ini menerapkan konsep pengurangan bahaya tembakau. Oleh karena itu, Paido mendorong pemanfaatan produk tembakau alternatif sebagai pilihan bagi perokok dewasa untuk beralih dari kebiasaan merokok.
"Keberhasilan ini akan bergantung pada regulasi yang tepat, informasi yang jelas, dan peran aktif pemerintah dalam mendorong peralihan," tutur Paido.