Jakarta (ANTARA) - Pengamat budaya dari Sumatera Utara Mahyar Diani mengatakan tradisi "tepung tawar" merupakan bukti jejak akulturasi sejarah islam dan kebudayaan Melayu di Langkat, Sumatera Utara.
"Salah satu tradisi khas Melayu yang sampai kini masih terjaga adalah tradisi 'tepung tawar'," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, setelah islam menyebar di Tanah Melayu, corak kebudayaan orang Melayu yang dahulu bersifat Hindu-Buddha berubah menuju kebudayaan islam (Junaidi 2014:2).
"Islam dan budaya Melayu adalah jejak sejarah akulturasi yang damai dan indah," kata alumnus Magister Ilmu Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Pengaruh islam terhadap kebudayaan Melayu dapat ditemukan dalam tradisi, pemikiran, dan kesusastraan Melayu hingga akhirnya islam dijadikan asas utama kebudayaan Melayu. Salah satu warisan budaya Melayu yang secara jelas memperlihatkan perpaduan islam dan kebudayaan Melayu adalah "tepung tawar".
Bagi masyarakat Melayu Langkat, katanya, tradisi "tepung tawar" adalah bagian penting dalam rangkaian proses upacara adat. Tradisi itu merupakan prosesi dan simbolik (artefak) yang diwariskan pendahulu kemudian diturunkan ke generasi berikutnya hingga sampai saat ini.
Bagi masyarakat Melayu, sambung dia, terlibat aktif dalam setiap upacara yang mengandung nilai tradisi adat seperti syukuran, pernikahan, dan khitanan termasuk tradisi "tepung tawar" adalah kebiasaan yang sudah menjadi adat.
Berdasarkan penuturan salah seorang tokoh masyarakat Kabupaten Langkat, Ibnu Hajar (81) atau yang biasa disapa Atuk/Atok Olong Benu, tradisi "tepung tawar" biasa dilakukan di berbagai upacara adat atau perayaan penting, misalnya pernikahan, khitan, syukuran, akikah, dan sejenisnya.
Untuk melaksanakan tradisi "tepung tawar", paparnya, ada beberapa rangkaian yang harus diperhatikan, yaitu perlengkapan ramuan penabur, ramuan 'rinjisan', dan "pedupaan". Setiap bahan diambil dari jenis-jenis tumbuhan tertentu yang mempunyai arti serta diiringi selawat nabi dan rebana marhaban saat proses "tepung tawar" berlangsung.
"Para tetua (leluhur) terdahulu memaknai tradisi 'tepung tawar' sebagai perpaduan nilai religius dan nilai budaya yang diyakini sebagai 'sesuatu yang suci' (memiliki makna khusus kebahagiaan, keselamatan, kebaikan, kekuatan), dan 'adi-kodrati'," jelas dia.
Ia menambahkan tradisi "tepung tawar" tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan nilai religius atau perantara hubungan manusia dengan sang pencipta, namun dilihat sebagai nilai "warisan harta budaya" yang berharga.
"Kini 'tepung tawar' dimaknai sebagai tradisi budaya Melayu lama yang harus dijaga dan dilestarikan sebagai simbol kejayaan warisan Melayu," ucap dia.
Berita Terkait
Kilang Pertamina Plaju fasilitasi budidaya ikan air tawar di Sungai Gerong
Sabtu, 30 November 2024 8:31 Wib
Inovasi budi daya ikan patin di OKU Timur peroleh apresiasi Kemenpar RB
Sabtu, 10 Agustus 2024 8:30 Wib
Tak punya laut, Purwakarta tetap penghasil ikan terbesar
Minggu, 5 Mei 2024 0:30 Wib
Dinas Perikanan OKU minta warga jaga ekosistem ikan di Sungai Ogan
Jumat, 3 Mei 2024 11:04 Wib
Ratusan anak OKU peroleh makanan tambahan berbahan ikan
Rabu, 1 Mei 2024 17:02 Wib
Pemkab OKU sebar 200 ribu ekor bibit ikan air tawar
Minggu, 28 April 2024 19:03 Wib
OKU terima bantuan sarana perikanan
Selasa, 28 November 2023 22:09 Wib
Dinas Perikanan OKU bangun rumah produksi maggot dan cacing sutra
Selasa, 28 November 2023 14:59 Wib