Memperkenalkan Kopi Musi Rawas
Kendala paling berat yakni mendapatkan produk berkualitas dari petani karena sebagian besar terbiasa dengan cara-cara lama yang sudah turun temurun sejak puluhan tahun
Palembang (ANTARA) - Beraneka ragam jenis kopi dari berbagai daerah bermunculan di tanah air sejak tren menikmati minuman yang terus naik kasta ini menyelusup ke seluruh pelosok negeri dalam satu dasawarsa terakhir.
Sebenarnya meminum kopi bukan kebudayaan baru masyarakat Indonesia karena tanaman ini sudah diekspor dari Jawa ke Eropa pada awal abad 17 oleh perusahaan dagang Belanda VOC.
Akan tetapi pertumbuhannya kini kian masif seiring dengan munculnya gaya hidup masyarakat urban yang doyan bersosialisasi di kafe/kedai sembari menyeruput kopi.
Berdasarkan data Organisasi Kopi Dunia (International Coffee Organization/ICO), tingkat konsumsi Indonesia tumbuh 44 persen dalam periode sepuluh tahun kopi (Oktober 2008-September 2019), selain itu data Euromonitor Cafe juga mencatat Indonesia mengalami pertumbuhan jumlah kafe hingga 16 persen setiap tahun.
Rupanya fenomena ini yang ditangkap oleh Kelompok Pemuda Selangit asal Desa Selangit, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, yang berisikan empat orang pemuda millenial pada 2018. Dua diantaranya, Risela Rahmadian (27) yang merupakan lulusan strata satu Manajemen SDM Bisnis dan Yanuardi (28) lulusan strata dua.
Kelompok pemuda ini mengamati bisnis kopi demikian menjanjikan apalagi Kabupaten Musi Rawas merupakan salah satu daerah penghasil di Sumsel, setelah Pagaralam dan Lahat.
Hanya saja, nama Kopi Musi Rawas ini tenggelam dibandingkan Kopi Pagaralam dan Kopi Semendo, Lahat. Jangankan kopinya, daerah ini pun relatif kurang dikenal karena berada di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) dengan angka kemiskinan tergolong tinggi.
Tak munculnya Kopi Musi Rawas ini juga tak lepas dari letak dari Musi Rawas yang berbatasan langsung dengan Provinsi Lampung. Tak ayal produk langsung diangkut ke daerah tetangga lalu berganti nama menjadi Kopi Lampung.
“Sebenarnya Kopi Lampung itu, ya kopi kami ini,” kata Risela di Palembang, Selasa (5/7/22), yang dijumpai di pameran UMKM acara Pra Forum Kapasitas Nasional 2022 Wilayah Sumbagsel yang diselenggarakan SKK Migas dan KKKS.
Berbekal tekad yang kuat akhirnya kelompok pemuda ini mulai menjalankan bisnisnya pada 2018, salah satunya karena dilatari juga kepercayaan diri atas citarasa nikmat dari kopi robusta Musi Rawas.
Para penikmat kopi kerap menyebut rasa pahit ala robustanya itu demikian nendang dan original, tak kalah dari kopi-kopi lain dari berbagai daerah Tanah Air.
Akan tetapi ia tak menyangkal, tak mudah untuk memulai bisnis ini. Walau usaha ini dijalankan oleh putra daerah Musi Rawas tetap tak luput dari kendala. Bahkan anggota kelompok yang awalnya berjumlah empat orang menyusut menjadi dua orang.
“Ya terseleksi alam akhirnya tinggal berdua saja, saya dan Yuniardi. Tapi Alhamdulillah tetap eksis hingga kini,” kata dia.
Kendala
Kendala paling berat yakni mendapatkan produk berkualitas dari petani karena sebagian besar terbiasa dengan cara-cara lama yang sudah turun temurun sejak puluhan tahun.
Petani setempat terbiasa memanen serentak tanaman kopinya atau lazim disebut petik pelangi. Padahal, buah kopi yang dapat dipanen itu hanya yang berwarna merah agar produk yang dihasilkan berkelas premium.
Memang sangat dituntut kesabaran pada kegiatan panen hingga pasca panen ini karena proses menjadi lebih lama, seperti pemetikan buah kopi dari dua bulan menjadi empat bulan.
Begitu juga dengan proses penyortiran, yang mana biji kopi yang berwarna merah itu harusnya direndam di dalam air terlebih dahulu. Biji yang terapung dianggap tidak layak produksi harus disisihkan.
Akan tetapi yang dilakukan sebagian besar petani di Musi Rawas tak demikian.
Begitu pula untuk proses penjemuran yang langsung saja dilakukan petani setempat di atas jalan beraspal dan terkadang hingga tergilas kendaraan yang melintas.
Padahal, proses penjemuran ini harus dilakukan di atas ‘para-para’ yakni tempat yang berjarak 70 cm dari tanah sekitar 30 hari.
Setelah ini, petani pun asal saja dalam proses penggorengan (roasting) dengan digoreng di atas kuali berukuran besar berbahan bakar kayu tanpa ada pengaturan temperatur. Sehingga tak jarang ditemukan rasa kopi yang pahit lantaran kadung gosong saat penggorengan.
Lantaran itu, Risela terpaksa turun gunung dengan melakukan sendiri proses pasca panen. Setelah mendapatkan bahan baku dari petani berupa biji kopi yang sudah disortir, ia pun menggorengnya sendiri.
Sebelum digoreng, biji kopi awalnya memasuki proses penggilingan untuk mengupas kulit kopi. Ini pun dilakukan proses penyortiran hingga tiga kali untuk membedakan ukurannya. Lalu, biji kopi yang sudah unggul itu baru diizinkan menjalani proses penggorengan untuk menghasilkan produk premium.
Untuk menjaga keunggulannya itu, proses penyimpanannya pun tidak bisa dilakukan sembarang atau harus dimasukkan dalam plastik kedap udara yang memiliki teknologi memastikan tidak ada jamur.
Demi menjaga eksistensi produknya, keduanya bekerja sama dengan 10 orang petani setempat yang sudah berkomitmen menyediakan biji kopi berkualitas.
“Awalnya berat mengajarkan mereka. Tapi makin ke sini mereka makin mengerti dan mau, apalagi harga yang ditawarkan juga lebih mahal,” kata dia.
Sejauh ini harga biji kopi yang petik pelangi di pasaran hanya dipatok Rp25.000 per kilogram, sementara untuk petik merah Rp34.000 per kilogram.
Walau terjadi disparitas harga yang relatif jauh tapi tak banyak petani yang tertarik untuk menghasilkan biji kopi petik merah sesuai kebutuhan Risela dan Yuniardi.
Rata-rata petani enggan menunggu lama untuk mendapatkan uang, dan yang paling banyak terjadi yakni sebagian besar sudah mengijonkan hasil panennya ke tengkulak sehingga tak memiliki posisi tawar lagi.
“Ini persoalan di lapangan yang kami hadapi. Itulah strateginya, ketika mereka (petani) antar kopi, langsung kami bayar cash (tunai),” kata dia.
Dengan pola seperti itu, setidaknya dua millenial ini bisa mempertahankan bisnisnya selama tiga tahun sejak berdiri tahun 2018.
Bahkan, kini sudah memiliki sebuah kedai kopi di Lubuklinggau dengan omset per bulan mencapai Rp15 juta.
Pembeli produk kopinya dengan merek dagang Kopi Luwak, Kopi Bujang Juaro (premium petik merah) dan Robusta Selangit ini pun berdatangan dari berbagai penjuru negeri, mulai dari wilayah Sumatera hingga Kalimantan dan Jawa. Bukan hanya dari kalangan penikmat kopi tapi juga dari kalangan pelaku bisnis kafe dan restoran.
Ini juga tak lepas dari bantuan dari PT Pertamina EP yang memberikan bantuan peralatan (alat roasting, alat packing, alat sedu), dan kesempatan diikutkan pada pelatihan roasting dan barista berserifikat di Jakarta.
Selain itu, keduanya juga dibantu dalam memasarkan produk di pameran-pameran UMKM yang difasiltasi perusahaan migas tersebut.
Pemberdayaan
Head of Comrel & CID Zona 4 Pertamina Hulu Rokan Tuti Dwi Patmayanti mengatakan perusahaannya memberikan bantuan CSR untuk pengembangan kopi di Kabupaten Musi Rawas karena mengamati potensi yang dimiliki daerah tersebut.
Perkebunan kopi telah menjadi tumpuan hidup sebagian besar warga Musi Rawas yang mana kabupaten ini masuk dalam Ring 3 PT Pertamina EP Prabumulih, Sumatera Selatan.
“Kami lihat potensi untuk kopi bagus di Musi Rawas tapi nama tenggelam. Jadi kami coba membina supaya ada kemandirian,” kata dia.
Salah satu yang menjadi konsentrasi dari Pertamina yakni meningkatkan kesejahteraan petani kopi dengan mendapatkan harga jual yang layak. Selama ini, petani setempat terbelenggu tengkulak sehingga tak kunjung sejahtera.
Ke depan, Pertamina bermaksud melakukan berbagai kegiatan penguatan petani kopi demi pembenahan di sektor hulu sembari mendekatkan mereka dengan buyers (pembeli).
Selain itu, pada tahun ini akan diikutkan kontes minuman tingkat nasional sebagai upaya untuk memperkenalkan produk ke pasaran.
Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan Supriono mengatakan pemerintah sangat mengharapkan kepedulian perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Sumsel terhadap pemberdayaan masyarakat.
“Sejauh ini yang kami amati untuk bantuan ke sektor UMKM sudah sangat baik, tapi ke depan perlu ada inovasi-inovasi baru sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat sasaran atau tak sekadar seremoni,” kata dia.
Kepala Perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi area Sumbagsel Anggono Mahendrawan mengatakan pihaknya mendorong Kontaktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat terutama dalam upaya-upaya peningkatan nilai tambah.
“Bagaimana kegiatan operasional lancar maka sudah seharusnya KKKS memberikan manfaat ke masyarakat sekitar. Untuk itu, kami memastikan komitmen dari perusahaan-perusahaan ini dalam menjalankan program CSR sesuai aturan,” kata dia.
Sumatera Selatan yang kaya akan SDA mulai dari minyak, gas, batu bara, sawit, dan karet diharapkan menjadi salah satu daerah sejahtera di Indonesia.
Akan tetapi faktanya hingga kini angka kemiskinan di daerah terkaya nomor lima di Indonesia itu masih dua digit, atau di kisaran 12 persen dari total 8,4 juta jiwa penduduknya.
Masuknya kalangan millenial merambah bisnis kopi di daerah-daerah tertinggal menjadi angin segar baru untuk provinsi yang dikenal dengan sebutan lumbung energi ini.
Sebenarnya meminum kopi bukan kebudayaan baru masyarakat Indonesia karena tanaman ini sudah diekspor dari Jawa ke Eropa pada awal abad 17 oleh perusahaan dagang Belanda VOC.
Akan tetapi pertumbuhannya kini kian masif seiring dengan munculnya gaya hidup masyarakat urban yang doyan bersosialisasi di kafe/kedai sembari menyeruput kopi.
Berdasarkan data Organisasi Kopi Dunia (International Coffee Organization/ICO), tingkat konsumsi Indonesia tumbuh 44 persen dalam periode sepuluh tahun kopi (Oktober 2008-September 2019), selain itu data Euromonitor Cafe juga mencatat Indonesia mengalami pertumbuhan jumlah kafe hingga 16 persen setiap tahun.
Rupanya fenomena ini yang ditangkap oleh Kelompok Pemuda Selangit asal Desa Selangit, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, yang berisikan empat orang pemuda millenial pada 2018. Dua diantaranya, Risela Rahmadian (27) yang merupakan lulusan strata satu Manajemen SDM Bisnis dan Yanuardi (28) lulusan strata dua.
Kelompok pemuda ini mengamati bisnis kopi demikian menjanjikan apalagi Kabupaten Musi Rawas merupakan salah satu daerah penghasil di Sumsel, setelah Pagaralam dan Lahat.
Hanya saja, nama Kopi Musi Rawas ini tenggelam dibandingkan Kopi Pagaralam dan Kopi Semendo, Lahat. Jangankan kopinya, daerah ini pun relatif kurang dikenal karena berada di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) dengan angka kemiskinan tergolong tinggi.
Tak munculnya Kopi Musi Rawas ini juga tak lepas dari letak dari Musi Rawas yang berbatasan langsung dengan Provinsi Lampung. Tak ayal produk langsung diangkut ke daerah tetangga lalu berganti nama menjadi Kopi Lampung.
“Sebenarnya Kopi Lampung itu, ya kopi kami ini,” kata Risela di Palembang, Selasa (5/7/22), yang dijumpai di pameran UMKM acara Pra Forum Kapasitas Nasional 2022 Wilayah Sumbagsel yang diselenggarakan SKK Migas dan KKKS.
Berbekal tekad yang kuat akhirnya kelompok pemuda ini mulai menjalankan bisnisnya pada 2018, salah satunya karena dilatari juga kepercayaan diri atas citarasa nikmat dari kopi robusta Musi Rawas.
Para penikmat kopi kerap menyebut rasa pahit ala robustanya itu demikian nendang dan original, tak kalah dari kopi-kopi lain dari berbagai daerah Tanah Air.
Akan tetapi ia tak menyangkal, tak mudah untuk memulai bisnis ini. Walau usaha ini dijalankan oleh putra daerah Musi Rawas tetap tak luput dari kendala. Bahkan anggota kelompok yang awalnya berjumlah empat orang menyusut menjadi dua orang.
“Ya terseleksi alam akhirnya tinggal berdua saja, saya dan Yuniardi. Tapi Alhamdulillah tetap eksis hingga kini,” kata dia.
Kendala
Kendala paling berat yakni mendapatkan produk berkualitas dari petani karena sebagian besar terbiasa dengan cara-cara lama yang sudah turun temurun sejak puluhan tahun.
Petani setempat terbiasa memanen serentak tanaman kopinya atau lazim disebut petik pelangi. Padahal, buah kopi yang dapat dipanen itu hanya yang berwarna merah agar produk yang dihasilkan berkelas premium.
Memang sangat dituntut kesabaran pada kegiatan panen hingga pasca panen ini karena proses menjadi lebih lama, seperti pemetikan buah kopi dari dua bulan menjadi empat bulan.
Begitu juga dengan proses penyortiran, yang mana biji kopi yang berwarna merah itu harusnya direndam di dalam air terlebih dahulu. Biji yang terapung dianggap tidak layak produksi harus disisihkan.
Akan tetapi yang dilakukan sebagian besar petani di Musi Rawas tak demikian.
Begitu pula untuk proses penjemuran yang langsung saja dilakukan petani setempat di atas jalan beraspal dan terkadang hingga tergilas kendaraan yang melintas.
Padahal, proses penjemuran ini harus dilakukan di atas ‘para-para’ yakni tempat yang berjarak 70 cm dari tanah sekitar 30 hari.
Setelah ini, petani pun asal saja dalam proses penggorengan (roasting) dengan digoreng di atas kuali berukuran besar berbahan bakar kayu tanpa ada pengaturan temperatur. Sehingga tak jarang ditemukan rasa kopi yang pahit lantaran kadung gosong saat penggorengan.
Lantaran itu, Risela terpaksa turun gunung dengan melakukan sendiri proses pasca panen. Setelah mendapatkan bahan baku dari petani berupa biji kopi yang sudah disortir, ia pun menggorengnya sendiri.
Sebelum digoreng, biji kopi awalnya memasuki proses penggilingan untuk mengupas kulit kopi. Ini pun dilakukan proses penyortiran hingga tiga kali untuk membedakan ukurannya. Lalu, biji kopi yang sudah unggul itu baru diizinkan menjalani proses penggorengan untuk menghasilkan produk premium.
Untuk menjaga keunggulannya itu, proses penyimpanannya pun tidak bisa dilakukan sembarang atau harus dimasukkan dalam plastik kedap udara yang memiliki teknologi memastikan tidak ada jamur.
Demi menjaga eksistensi produknya, keduanya bekerja sama dengan 10 orang petani setempat yang sudah berkomitmen menyediakan biji kopi berkualitas.
“Awalnya berat mengajarkan mereka. Tapi makin ke sini mereka makin mengerti dan mau, apalagi harga yang ditawarkan juga lebih mahal,” kata dia.
Sejauh ini harga biji kopi yang petik pelangi di pasaran hanya dipatok Rp25.000 per kilogram, sementara untuk petik merah Rp34.000 per kilogram.
Walau terjadi disparitas harga yang relatif jauh tapi tak banyak petani yang tertarik untuk menghasilkan biji kopi petik merah sesuai kebutuhan Risela dan Yuniardi.
Rata-rata petani enggan menunggu lama untuk mendapatkan uang, dan yang paling banyak terjadi yakni sebagian besar sudah mengijonkan hasil panennya ke tengkulak sehingga tak memiliki posisi tawar lagi.
“Ini persoalan di lapangan yang kami hadapi. Itulah strateginya, ketika mereka (petani) antar kopi, langsung kami bayar cash (tunai),” kata dia.
Dengan pola seperti itu, setidaknya dua millenial ini bisa mempertahankan bisnisnya selama tiga tahun sejak berdiri tahun 2018.
Bahkan, kini sudah memiliki sebuah kedai kopi di Lubuklinggau dengan omset per bulan mencapai Rp15 juta.
Pembeli produk kopinya dengan merek dagang Kopi Luwak, Kopi Bujang Juaro (premium petik merah) dan Robusta Selangit ini pun berdatangan dari berbagai penjuru negeri, mulai dari wilayah Sumatera hingga Kalimantan dan Jawa. Bukan hanya dari kalangan penikmat kopi tapi juga dari kalangan pelaku bisnis kafe dan restoran.
Ini juga tak lepas dari bantuan dari PT Pertamina EP yang memberikan bantuan peralatan (alat roasting, alat packing, alat sedu), dan kesempatan diikutkan pada pelatihan roasting dan barista berserifikat di Jakarta.
Selain itu, keduanya juga dibantu dalam memasarkan produk di pameran-pameran UMKM yang difasiltasi perusahaan migas tersebut.
Pemberdayaan
Head of Comrel & CID Zona 4 Pertamina Hulu Rokan Tuti Dwi Patmayanti mengatakan perusahaannya memberikan bantuan CSR untuk pengembangan kopi di Kabupaten Musi Rawas karena mengamati potensi yang dimiliki daerah tersebut.
Perkebunan kopi telah menjadi tumpuan hidup sebagian besar warga Musi Rawas yang mana kabupaten ini masuk dalam Ring 3 PT Pertamina EP Prabumulih, Sumatera Selatan.
“Kami lihat potensi untuk kopi bagus di Musi Rawas tapi nama tenggelam. Jadi kami coba membina supaya ada kemandirian,” kata dia.
Salah satu yang menjadi konsentrasi dari Pertamina yakni meningkatkan kesejahteraan petani kopi dengan mendapatkan harga jual yang layak. Selama ini, petani setempat terbelenggu tengkulak sehingga tak kunjung sejahtera.
Ke depan, Pertamina bermaksud melakukan berbagai kegiatan penguatan petani kopi demi pembenahan di sektor hulu sembari mendekatkan mereka dengan buyers (pembeli).
Selain itu, pada tahun ini akan diikutkan kontes minuman tingkat nasional sebagai upaya untuk memperkenalkan produk ke pasaran.
Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan Supriono mengatakan pemerintah sangat mengharapkan kepedulian perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Sumsel terhadap pemberdayaan masyarakat.
“Sejauh ini yang kami amati untuk bantuan ke sektor UMKM sudah sangat baik, tapi ke depan perlu ada inovasi-inovasi baru sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat sasaran atau tak sekadar seremoni,” kata dia.
Kepala Perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi area Sumbagsel Anggono Mahendrawan mengatakan pihaknya mendorong Kontaktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat terutama dalam upaya-upaya peningkatan nilai tambah.
“Bagaimana kegiatan operasional lancar maka sudah seharusnya KKKS memberikan manfaat ke masyarakat sekitar. Untuk itu, kami memastikan komitmen dari perusahaan-perusahaan ini dalam menjalankan program CSR sesuai aturan,” kata dia.
Sumatera Selatan yang kaya akan SDA mulai dari minyak, gas, batu bara, sawit, dan karet diharapkan menjadi salah satu daerah sejahtera di Indonesia.
Akan tetapi faktanya hingga kini angka kemiskinan di daerah terkaya nomor lima di Indonesia itu masih dua digit, atau di kisaran 12 persen dari total 8,4 juta jiwa penduduknya.
Masuknya kalangan millenial merambah bisnis kopi di daerah-daerah tertinggal menjadi angin segar baru untuk provinsi yang dikenal dengan sebutan lumbung energi ini.