Menakar keberlanjutan perkebunan karet

id karet,sawit,kebun karet,ekspor karet,komoditas,ekspor,gapkindo,pengusaha karet,komoditas karet,pabrik,pabrik ban Oleh Dolly Rosana

Menakar keberlanjutan  perkebunan karet

Pekerja membawa hasil menyadap getah karet di kawasan perkebunan karet di Kabupaten Banyuasin, Sumsel, Rabu (5/4/17). (ANTARA FOTO/Feny Selly/kye)

Ada yang bilang bakal naik, tapi tak juga naik-naik. Jadi saya pikir-pikir waktu itu, ya sudah ditebang saja jadi sawit

Palembang (ANTARA) - Harga karet di tingkat petani bertahan di kisaran rendah dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini membuat sebagian dari mereka tak mampu lagi bertahan sehingga beralih ke komoditas lain seperti tanaman hortikultura, kelapa sawit dan padi.

Surono, petani karet dan sayur mayur di Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Muaraenim, Sumatera Selatan, yang diwawancarai dari Palembang, Rabu (16/3), mengatakan dirinya mengalihkan sebagian kebun karetnya menjadi kebun sayuran sejak 2018.

Bermodalkan uang Rp5 juta, ia menanam oyong dan cabai untuk mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp3,5 juta setiap panen dalam masa tiga pekan.

Upaya ini tak lain untuk menyambung hidup di tengah jatuhnya harga karet, yang dirasakannya sejak 2013 pasca berakhirnya bombing komoditas tahun 2011. “Masih ada satu hektare lagi kebun karetnya, belum tahu mau diapakan. Dibiarkan dulu,” kata dia.

Ia memutuskan menebang tanaman karetnya di atas lahan seluas satu hektare setelah hampir tiga tahun sama sekali tak memanennya.

Ini lantaran, biaya yang dikeluarkan tak sebanding dengan pendapatan yang diterima. Dengan harga Rp7.000 per kilogram untuk kadar kering 50 persen (masa pengeringan satu pekan), artinya ia hanya mengantongi pendapatan sekitar Rp600.000 per hektare karena produktifitas lahan masih di kisaran 1 ton/hektare/tahun. Bahkan, pada 2015, ia sempat mengalami harga Rp5.000 per kilogram.

Jangankan dipupuk, untuk disadap (dipanen) pun tak pernah lagi dilakukan pria paruh baya ini. Apalagi, pada 2019, tanaman karetnya sempat terserang penyakit gugur daun yang secara langsung membuat produksi getah berkurang drastis.

Puji Santoso, petani asal Desa Sinar Napalan, Kabupaten OKU Selatan, juga memilih langkah serupa. Ia telah mengalihfungsikan lahan karet seluas satu hektare menjadi lahan sawit sejak dua tahun terakhir.

Ia mengaku tak tahan atas harga karet yang bertahan di kisaran rendah Rp6.000-Rp7.000 per kilogram untuk kadar kering 50 persen hampir tiga tahun terakhir.

“Ada yang bilang bakal naik, tapi tak juga naik-naik. Jadi saya pikir-pikir waktu itu, ya sudah ditebang saja jadi sawit,” kata dia.

Saat ini harga karet di tingkat petani diakui Puji sejak setahun terakhir mulai membaik di kisaran Rp9.000-Rp10.000 per kilogram, namun menurutnya masih belum bisa dikatakan untung.

Jika dibandingkan saat booming komoditas tahun 2011 yang mencapai Rp19.000-Rp21.000 per kilogram, tentunya harga ini sungguh jauh dari harapannya.

Meski saat ini Pemprov Sumsel tidak memiliki data resmi mengenai pengalihfungsian lahan karet ke sektor perkebunan dan pertanian lain tapi secara nyata hal itu dapat dibuktikan terjadi di masyarakat.

Akibatnya kini sejumlah pabrik karet di Sumatera Selatan mengalami kekurangan bahan baku berupa bahan olahan karet (bokar) sehingga terpaksa mengimpor dari negara tetangga seperti Vietnam dan Myamar hingga negara dari Afrika.

Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex K Eddy mengatakan kondisi ini sudah terjadi sejak pertengahan 2021 karena pabrik kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku dari petani. Sejauh ini, rata-rata pabrik karet di Sumsel hanya mampu memanfaatkan 50-60 kapasitas terpasang.

“Pabrik dengan kapasitas sedang yakni 10.000 ton per bulan, bisa dikatakan sudah bagus jika mereka bisa mengolah 6.000 ton per bulan. Yang sulit ini pabrik dengan kapasitas 15.000 ton per bulan, terkadang hanya bisa 9.000 ton per bulan,” kata dia.

Kondisi ini membuat tak banyak pabrik yang mampu bertahan, bahkan Gapkindo Sumsel mencatat terdapat dua pabrik berkapasitas 6.000 ton per bulan sudah gulung tikar. Padahal dua pabrik itu masing-masing memiliki tenaga kerja sekitar 200 orang.

Sebagian perusahaan terpaksa memutar otak, mulai dari mengimpor pasokan bahan baku dari luar negeri, efisiensi pabrik, hingga mengurangi ship kerja karyawan.

Untuk impor bokar ini, negara tidak melarang perusahaan pemilik pabrik karet melakukannya asalkan ketika diekspor sudah dalam bentuk karet spesifikasi teknis (TSR).

“Dengan begini saja masih sulit untuk bertahan. Bisa dikatakan untung sangat tipis sekali,” ujar dia.

Tapi ini menjadi pilihan pengusaha demi menghindari kerugian yang lebih besar yakni finalti atas kontrak kerja dari pihak pembeli lantaran tak mampu memenuhi kewajiban.

Jika ini terjadi maka dipastikan buyers (pembeli) akan berpindah ke perusahaan lain, yang mungkin ada di negara lain karena saat ini bukan Indonesia saja yang mengandalkan komoditas karet.

Terkait ini, Gapkindo telah menyampaikan ke pemerintah untuk meminta solusi atas permasalahan ini demi menjaga keberlangsungan sektor perkebunan karet.

Seorang pekerja menaikkan getah karet ke atas mobil di Mesuji, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel. (ANTARA FOTO/ Budi Candra Setya/ama)

Analis Prasarana dan Sarana Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpiam mengatakan produksi karet Sumsel mengalami penurunan dari 1,1 juta ton pada 2020 menjadi hanya 900.000 ton pada 2021.

Penurunan ini diperkirakan tiga faktor yakni menurunnya produktivitas kebun karena sudah berusia tua (belum diremajakan), menurunnya gairah petani untuk memanen karena harga yang rendah, hingga pengalihfungsian lahan karet menjadi lahan sawit.

Saat ini harga karet di tingkat petani yang dijual melalui Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar Rp12.000 per kilogram untuk masa pengeringan satu minggu atau KKK 60 persen. Sementara jika menjual ke tengkulak, petani hanya Rp8.000 per kilogram hingga Rp10.000 per kilogram.

“Kami melihat persoalan harga ini yang membuat petani malas menyadap (memanen), karena umumnya mereka juga hanya buruh yang menerapkan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan,” kata Rudi.

Beragam upaya dilakukan pemerintah, diantaranya, meningkatkan serapan dalam negeri agar harga karet dapat terkerek naik atau tidak tergantung pasar internasional.

Selain itu, pemerintah juga mendorong dilakukannya peremajaan tanaman karet yang sudah berusia tua yakni di atas 25 tahun agar anjloknya harga ini dapat ditutupi dengan produktivitas lahan.

Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mencatat setidaknya 520.000 hektare dari total 1,3 juta hektare lahan karet di Sumsel yang perlu diremajakan.

Berdasarkan data terbaru Disbun Sumsel, luas karet di Sumsel mencapai 1.311.727 hektare, dengan rincian lahan tanaman yang belum menghasilkan (TBM/Tanam) 299.567 hektare, lahan tanaman yang sudah menghasilkan (TM/Panen) 865.862 hektare, tanaman tua tapi masih menghasilkan dan tanaman rusak (TTM/TR) 146.298 hektare.

Namun situasi saat ini juga membuat petani kesulitan mengingat dibutuhkan dana Rp25 juta per hektare untuk meremajakan lahannya.

Untuk itu Pemprov Sumsel mendorong adanya program peremajaan lahan karet dari pemerintah pusat seperti program yang dijalankan bagi perkebunan sawit sejak 2017.

Melalui program ini, keberlanjutan dari perkebunan karet Sumsel diharapkan dapat terjaga karena saat ini alih fungsi dari lahan karet ke lahan sawit relatif banyak terjadi.

“Kami mengedukasi petani agar tanaman karetnya tidak ditebang (dialihkan ke tanaman sawit). Untuk menambah pendapatan, petani dapat menanam tanaman sela di kebun karetnya,” kata dia.

Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan perkebunan karet harus dijaga keberlanjutannya terkait dengan impor bahan olahan karet (bokar) oleh pabrik pengolahan.

“Itulah ada Perda Alih Fungsi Lahan, jangan sampai komoditas andalan kita itu terganggu,” kata Herman Deru.

Kondisi ini diduga karena menurunnya gairah petani untuk memanen getah karena harga yang diterima terbilang rendah dan menurunkan produktivitas kebun karena sudah berusia tua.

Menurut dia kondisi ini harus disikapi dengan bijak karena jika tidak maka semakin banyak petani karet yang beralih menjadi petani sawit.

“Sebenarnya jika beralih dari kebun ke kebun itu tidak masalah, asal jangan dari kebun ke perumahan. Tapi kita juga tidak ingin komoditas andalan (karet) ini terganggu,” katanya.

Sementara itu, terkait upaya menjaga keberlanjutan perkebunan karet, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin terus memacu pertumbuhan Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) untuk mendorong stabilitas harga karet di daerahnya.

Wakil Bupati Musi Banyuasin Beni Hernedi mengatakan, harga karet di UPPB jauh lebih tinggi, terutama yang memproduksi lateks untuk aspal karet.

Petani mampu menikmati harga lateks Rp21.000 per Kg setelah dilakukan pengolahan oleh Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar, sementara sebelumnya jika hanya menjual bahan olahan karet (bokar) hanya berkisar Rp9.000—Rp10.000 per Kg.

Untuk itu, Pemkab Muba telah mengeluarkan Perbup No. 324/2015 tentang kelembagaan petani karet melalui UPPB.

Saat ini terdapat 92 UPPB dengan anggota 13.580 KK, UPPB sebagai produsen lateks pekat di Kecamatan Keluang, Kecamatan Babat Toman, Kecamatan Plakat Tinggi.

Pemkab juga mendorong transformasi UPPB menjadi entitas bisnis dengan program UPPB badan hukum, kemudian melatih petani untuk produksi lateks pekat dengan metode dadih.

Hilirisasi

Anjloknya harga karet ditingkat petani sejak 2013 hingga kini membuat ribuan petani di Sumatera Selatan menjerit karena harga hanya Rp6.000-Rp7.000 per kilogram dari idealnya di atas Rp12.000 per kilogram.

Harga karet sangat tergantung dengan pasar internasional karena sebagian besar bahan baku ini diekspor ke luar negeri.

Sejak lama solusi berupa hilirisasi karet disuarakan banyak pihak di Sumsel, namun hingga kini tak satu pun pabrik ban berdiri di daerah tersebut.

Banyak faktor penyebabnya, salah satunya karena belum adanya pelabuhan laut di Sumsel. Adapun Pelabuhan Tanjung Carat di Banyuasin hingga kini masih dalam proses rencana pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah.

Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia A Aziz Pane mengatakan keinginan pemerintah untuk membangun pabrik ban di sejumlah lokasi daerah penghasil getah karet itu terlalu dini karena Indonesia dinilai belum kuat di sektor hulu.

“Membuat ban itu sekitar 25 persen menggunakan getah karet alam, sisanya ya komponen impor semua, hampir 72 persennya. Saya pikir nanti dulu negara bicara pabrik ban, perkuat dulu hulunya,” kata Aziz.

Sektor hulu ini sangat penting karena bukan hanya terkait kepastian adanya bahan baku yang baik dan berkualitas tapi juga kepastian ketersediaan bahan-bahan penolong.

Menurutnya, hal ini berarti jika ada perusahaan swasta berminat membuat pabrik ban di Indonesia maka harus menyediakan industri kimianya, karena Indonesia belum mampu seperti China dan India yang memiliki dari hulu-hilir.

Kondisi inilah yang membuat investasi pembuatan pabrik ban di Tanah Air tidak pernah menarik bagi kalangan investor asing.

Indonesia sebenarnya bukan tidak pernah memiliki pabrik ban sendiri, bahkan di tahun 90-an ada beberapa perusahaan yang beroperasi di Sumatera dan Jawa. Namun, perusahaan-perusahaan ini beralih ke luar negeri setelah krisis moneter 1998.

Oleh karena itu, ia menilai, pemerintah yang harus turun tangan secara langsung jika ingin mewujudkan pabrik ban ini, yakni dengan membangun sektor hulu industri kimia.

Mengapa harus pemerintah, ia menjelaskan, karena untuk membangun industri hulu ini membutuhkan modal yang besar dan teknologi yang tinggi. Belum lagi tingkat pengembalian keuntungan yang baru didapatkan dalam hitungan puluhan tahun ke depan.

Pengamat ekonomi asal Universitas Sriwijaya Didik Susetyo mengatakan hilirisasi itu dapat dilakukan secara bertahap seperti menghasilkan suatu produk kelas dua terlebih dahulu.

Sembari berproses hilirisasi di dalam negeri, yang tak kalah penting bagi Sumsel yakni mewujudkan berdirinya pelabuhan laut demi meningkatkan daya saing.

“Artinya tidak mesti membuat ban mobil mewah, karena hilirisasi dapat dimulai dengan membuat ban untuk kendaraan seperti truk dan lainnya," ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi karet nasional pada 2020 sebesar 2,8 juta ton. Turun 12,6 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 3,3 juta ton.

Sedangkan provinsi penghasil karet terbesar tahun 2020 adalah Sumatera Selatan dengan produksi 804,8 ribu ton atau 28,7 persen dari total produksi karet nasional. Di urutan kedua, Sumatera Utara dengan produksi 327,7 ribu ton (11,7 persen), dan urutan ketiga ditempati Riau dengan produksi 291,9 ribu ton (10,4 persen).

Langkah pemerintah

Persoalan perkebunan karet di Indonesia sangat kompleks sehingga tidak bisa dipandang sepotong-sepotong.

Walau demikian, Indonesia hingga kini masih menjadi salah satu produsen dan eksportir karet alam terbesar di dunia selain Malaysia dan Thailand karena unggul dari sisi luas lahan. Sementara, dari sisi produktivitas sudah jauh tertinggal dari dua negara pesaing ini.

Atas dasar itu, pemerintah terus memperkuat sektor perkebunan karet yang berkontribusi cukup besar terhadap perolehan devisa, hingga menembus sebesar 3,422 miliar dolar AS pada tahun 2019.

Pada 2019, produksi karet alam Indonesia mencapai 3,3 juta ton, yang meliputi SIR (crumb rubber), lateks pekat, dan RSS (ribbed smoked sheet). Dari jumlah tersebut, 20 persen diolah di dalam negeri oleh industri hilir menjadi ban, vulkanisir, alas kaki, rubber articles, maupun MRG (manufacture rubber goods) lainnya, sementara 80 persen karet alam diekspor.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan persnya mengatakan salah satu penyebab rendahnya harga karet alam adalah over supply komoditas tersebut serta menurunnya permintaan di pasar global.

Upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan harga karet alam salah satunya melalui peningkatan penyerapan oleh industri dalam negeri. Hal tersebut sesuai dengan amanat Presiden yang ditindaklanjuti dengan penggunaan aspal karet untuk infrastruktur jalan.

Upaya lain yang ditempuh untuk meningkatkan harga karet nasional adalah melalui diplomasi internasional dengan negara-negara produsen dan konsumen karet alam seperti International Tripartite Rubber Council (ITRC) dan The Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC) untuk mengurangi ekspor karet alam dalam rangka meningkatkan harga komoditas ini di pasar dunia.

“Indonesia menempati peringkat kedua sebagai produsen karet alam terbesar di dunia. Ini merupakan sebuah potensi bagi kita untuk meningkatkan produktivitas sektor industri pengolahan karet nasional,” kata Menperin.

Beragam usaha telah dilakukan pemerintah untuk mendongkrak harga karet di tingkat petani, tapi jika kondisi ini tak kunjung membaik maka ini menjadi ancaman bagi keberlanjutannya. Apalagi saat ini harga sawit terus melambung yang tentunya cukup menggiurkan bagi petani.