Jakarta (ANTARA) - Banjir bandang di tiga provinsi di Pulau Sumatera berangsur surut. Namun air mata masih membanjiri pipi mereka yang terdampak. Di balik puing-puing berbalut lumpur, terekam ribuan kenangan yang tak lagi terasa sama.
Banjir bandang dan tanah longsor melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pada penghujung November. Bencana itu menelan lebih dari seribu korban jiwa, ratusan lainnya masih hilang, serta ribuan menderita luka-luka dan tersingkirkan dari tempat yang dahulu mereka sebut rumah.
Angka tersebut belum final, masih bergerak dengan kemungkinan bertambah.
Penampakan gelondongan kayu yang tersapu banjir memantik amarah, seolah alam menyibak penyebab dari pilu yang diderita bangsa ini sebelum menutup 2025.
Tak hanya itu, pemandangan berupa kebun sawit yang terendam banjir juga menjadi sorotan panggung media sosial.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyegel dan memasang plang pengawasan di area operasional perkebunan dan pabrik sawit PT Tri Bahtera Srikandi (PT TBS) di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sebagai respons banjir Sumatera.
Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq menyebut penyegelan area operasional kebun dan pabrik sawit PT TBS, yang merupakan anak perusahaan PT Sago Nauli Plantation (PT SNP), untuk menghentikan sementara operasi yang berpotensi memperburuk kondisi hidrologi.
Penghentian sementara itu juga untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan lingkungan demi keselamatan masyarakat dan pemulihan ekosistem.
Langkah tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah menyadari betapa pembukaan lahan sawit, terlebih yang tidak patuh terhadap ketentuan lingkungan, mempengaruhi bentang alam dan mengancam keselamatan makhluk hidup di sekitarnya.
Namun, di sisi lain, pemerintah juga memiliki ambisi untuk mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan atau yang dikenal dengan biofuel. Bahan bakunya? Tak lain dan tak bukan adalah minyak sawit mentah atau yang dikenal dengan crude palm oil (CPO).
B50 dan kebutuhan CPO
Ambisi pengembangan biofuel di Indonesia tercermin dari penerapan mandatori bahan bakar solar dengan campuran bahan nabati (fatty acid methyl ester/FAME) atau yang dikenal dengan biodiesel. Adapun campuran FAME yang digunakan dalam program biodiesel di Indonesia adalah yang berbasis CPO.
Kementerian ESDM mencatat pemanfaatan biodiesel selama periode 2020–2025 telah menghemat devisa hingga 40,71 miliar dolar AS karena memangkas impor solar.
Sejak awal 2025, Kementerian ESDM menerapkan kebijakan bahan bakar solar dengan campuran 40 persen bahan nabati (FAME) atau biodiesel 40 (B40). Hingga September 2025, realisasi program B40 tercatat 10,57 juta kiloliter, menghasilkan peningkatan nilai tambah minyak sawit mentah (CPO) hingga Rp14,7 triliun.
Program tersebut juga berkontribusi pada penghematan devisa sebesar Rp93,43 triliun, penyerapan lebih dari 1,3 juta tenaga kerja, serta penurunan emisi karbon hingga 28 juta ton.
Kebutuhan FAME untuk program B40 sebesar 15,6 juta kiloliter (KL). Kebutuhan FAME akan meningkat menjadi 20,1 juta KL pada 2026, sebab pemerintah berencana menerapkan mandatori B50 untuk menghentikan impor solar mulai semester kedua tahun 2026.
Peningkatan akan kebutuhan FAME berbasis CPO menandakan Indonesia membutuhkan lebih banyak sawit untuk menghasilkan B50.
Dalam rangka menjamin ketersediaan CPO untuk program B50, pemerintah pun memikirkan tiga alternatif, yakni intensifikasi lahan sawit untuk meningkatkan produksi di lahan yang sudah ada, pembukaan lahan baru, atau memangkas ekspor sawit dengan memberlakukan kebijakan DMO atau domestic market obligation.
Alternatif-alternatif tersebut muncul sebab CPO menjadi elemen yang tidak terpisahkan dari berbagai kebutuhan masyarakat, meliputi minyak goreng, margarin, kosmetik, hingga produk kebersihan.
Tanpa adanya berbagai alternatif penyediaan CPO, program B50 berpotensi mengusik ketersediaan CPO untuk produk-produk esensial bagi kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Di sisi lain, bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera menjadi pengingat bahwa pembukaan lahan baru tidak semestinya menjadi opsi untuk memenuhi kebutuhan CPO.
Opsi penyediaan CPO
Alternatif yang bisa dipilih tanpa melukai bentang alam lebih jauh adalah intensifikasi lahan sawit, pemangkasan ekspor CPO, atau kombinasi dari keduanya.
Pada awal tahun 2025, lembaga riset Celios menyampaikan bahwa upaya untuk meningkatkan produksi sawit di Indonesia dapat ditempuh dengan intensifikasi lahan dan peningkatan teknologi pertanian.
Celios mencatat lahan sawit di Indonesia secara rata-rata hanya menghasilkan 12,8 ton per hektare untuk tandan buah segar. Sementara di Malaysia bisa mencapai 19 ton per hektare tandan buah segar.
Berdasarkan pernyataan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), intensifikasi lahan sawit bisa dilakukan dengan meremajakan kebun sawit karena kelapa sawit punya usia maksimum produktif hanya 25 tahun.
BRIN juga menekankan pentingnya peremajaan menggunakan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman. Pemuliaan itu telah melalui uji keturunan dengan metode yang telah diuji dalam SNI 8211:2023, yaitu seleksi melalui pengujian progeny dengan metoda yang telah teruji secara ilmiah.
Kementerian Pertanian pun dalam proses untuk menyederhanakan regulasi guna mempercepat program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), sebagai salah satu upaya meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan.
Reformasi regulasi tersebut meliputi penyederhanaan persyaratan dari 14 syarat menjadi 2 syarat, verifikasi dipangkas dari tiga tahap menjadi satu tahap, integrasi proses melalui sistem digital nasional.
Dengan demikian, intensifikasi lahan sawit dapat menjadi solusi untuk mendongkrak produksi CPO guna memenuhi kebutuhan B50 tanpa harus membuka lahan baru.
Opsi lainnya adalah memangkas ekspor CPO menggunakan skema Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban bagi perusahaan (dalam hal ini perusahaan sawit) untuk menyerahkan sebagian produksinya guna memenuhi kebutuhan domestik.
Rencana pemangkasan ekspor CPO juga digaungkan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman.
Ia mengungkapkan rencana pemerintah memangkas ekspor minyak sawit mentah (CPO) hingga 5,3 juta ton untuk mendukung penerapan wajib bahan bakar nabati jenis biodiesel B50 yang dicanangkan berjalan pada tahun 2026.
Amran, saat jumpa pers selepas rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan RI Jakarta, Kamis (9/10), menjelaskan program mandatori B50 membutuhkan CPO hingga 5,3 juta ton.
Dia menyebutkan produksi CPO Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, rata-rata 20 juta ton diolah di dalam negeri, dan sebanyak 26 juta ton CPO diekspor.
Amran juga membidik pemangkasan ekspor CPO dapat menyebabkan harga CPO di pasar internasional meningkat, sebab Indonesia memproduksi hampir 60 persen CPO dunia.
Berbagai opsi tersebut menunjukkan pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit tak perlu menjadi opsi yang dipertimbangkan.
Banjir bandang dan tanah longsor menjadi peringatan bahwa pembabatan hutan sudah cukup sampai di sini dan harus dihentikan. Tak perlu lagi mengusik bentang alam yang dapat mendatangkan duka mendalam.
