Memuliakan lahan gambut

id karhutla,karhutla sumsel,gambut,lahan gambut,ekosistem gambut,klh,hotspot,hutan tanam industri

Memuliakan lahan  gambut

BRG fasilitasi pengolahan lahan gambut di Sumsel. (ANTARA/Yudi Abdullah/20)

Ini jadi kenangan buruk, dan berharap tidak terjadi lagi
Palembang (ANTARA) - Pengalaman buruk pada 2015, saat terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hebat di kampungnya Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, telah memantik semangat Sugeng Riyanto untuk bangkit dari keterpurukan.

Saat itu setidaknya 200.000 hektare (Ha) lahan terbakar yang mengakibatkan bencana ekologis kabut asap, sehingga memaksa dirinya dan keluarga mengungsi.

“Saat 2015 itu, Air Sugihan ini gelap oleh asap. Jarak pandang hanya 30 meter. Ini jadi kenangan buruk, dan berharap tidak terjadi lagi,” kata Sugeng di Palembang, Minggu.

Bagi Sugeng tak ada cara lain selain bangkit dengan membulatkan tekad untuk arif dalam mengelola lingkungan.

Ketua Kelompok Tani Wono Tirto di Desa Simpang Heran, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir ini kini mantap menjajal pertanian organik dengan merangkul warga desanya sejak tahun lalu.

Selama ini, warga setempat menerapkan pertanian sonor yakni sistem tanam padi secara tradisional yang dilakukan dengan menyebarkan benih padi langsung di areal persawahan/areal rawa. Sistem sonor ini hanya dilakukan pada saat musim kemarau panjang (paling sedikit ada 5-6 bulan kering).

Saat menerapkan pertanian sonor ini, umumnya petani akan masuk ke kawasan hutan lalu. Dalam aktivitasnya, mereka kerap sembrono sehingga ini menjadi pemicu terjadinya karhutla.

Misal memasak, lalu apinya ditinggalkan begitu saja. Lalu terjadilah karhutla, atau merokok kemudian membuat puntung rokoknya begitu saja, kata Sugeng.

Oleh karena itu, ketika dirinya mendapatkan tawaran dari salah satu perusahaan hutan tanam industri PT Bumi Andalas Permai untuk mulai menjajal pertanian organik, dirinya pun langsung tergugah.

Ini karena mendapati kenyataan bahwa kondisi lahan di wilayahnya sebagian besar sudah terdegradasi akibat karhutla.

Lahan sudah tidak subur (karena sering terbakar, red), jadi saya pikir harus dikembalikan dulu dengan cara pertanian organik, kata Sugeng.

Menurut Sugeng, pertanian yang diterapkannya hingga kini belum 100 persen organik karena masih menggunakan pupuk kimia, namun setidaknya ini menjadi langkah positif dalam memuliakan lahan gambut.

Melalui pertanian organik ini yang sudah dilakukan sejak setahun terakhir, Sugeng justru dapat menekan penggunaan pupuk kimia, yang sekaligus dapat menekan biaya produksi.

Ia menggarap lahan seluas 1 hektare untuk ditanami padi pada musim tanam pertama dan dilanjutkan palawija pada musim tanam kedua.

Lantaran itu, sejumlah petani di daerahnya pun mulai tertarik mengikuti jejaknya walau awalnya enggan karena ingin yang instan.

Saat ini setidaknya ada 10 petani yang mulai tanam secara organik, kata dia.

Demi semakin menekan biaya, Sugeng menginisiasi membuat pupuk kompos bersama sehingga dapat memastikan ketersediaan pupuk organik.

Upaya pertanian organik ini juga mendapatkan dukungan dari PT BAP yang memberikan bantuan alat pertanian handtraktor sehingga petani setempat tidak membuka lahan dengan cara membakar. Sebelumnya, petani setempat diberikan bantuan untuk menyewa alat pertanian.

Saat ini bisa dikatakan tidak ada lagi petani yang buka lahan dengan cara membakar di tempat kami. Setelah pakai semprotan herbisida, kami menggunakan handtraktor untuk buka lahan, kata dia.


Ancaman

Direktur Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan R Basar Manullang dalam acara Obrolan Pelepas Lelah Season 2 yang digelar Balitbang LHK Palembang dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisaris Daerah Sumatera Selatan beberapa waktu lalu secara virtual, mengatakan karhutla hingga kini masih menjadi ancaman bagi pelestarian alam lingkungan hidup di Indonesia.
Asap membumbung tinggi dari lahan yang terbakar di Pedamaran Induk, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Selasa (17/7/18). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama)



Kejadian karhutla hebat pada 2015 menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mengubah paradigma untuk penanganan karhutla, terutama dalam menghasilkan solusi permanen.

Salah satunya yakni menata ekosistem gambut, yang mana berdasarkan data diketahui dari total lahan terbakar itu sebanyak 54 persen terjadi di kawasan gambut.

Pemerintah pun memiliki atensi pada kawasan gambut ini, salah satunya dengan melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) di Sumsel dan Jambi selama 15 hari sejak 20 Juni untuk meningkatkan curah hujan demi meninggikan tinggi muka air gambut.

Pelaksanaan TMC ini dilakukan KLHK dengan menggandeng BPPT, BMKG, BPBD, TNI AU dan perusahaan mitra pemasok APP Sinar Mas.

Upaya pengendalian karhutla harus dilakukan bersama dan butuh kerja keras. Perubahan mendasar yakni mengutamakan pencegahan daripada penanganan, dan pentingnya pelibatan masyarakat, kata dia.

Data karhutla KLHK menyebutkan sebanyak 35.231 hektare (Ha) terbakar pada Januari-Mei 2020, sementara pada periode yang sama tahun 2021 telah terjadi penurunan 9,13 persen, yang mana terindenfikasi sebanyak 54 persennya terjadi di gambut.

Saat ini penanganan karhutla yang umumnya di lahan gambut lebih mengedepankan pada upaya pencegahan dan respon dini.

Langkah Sugeng Riyanto mulai menerapkan pertanian organik merupakan salah satu upaya pencegahan karhutla yang nyata.

Saat ini terdapat enam pokok penting yang ditetapkan pemerintah dalam penanganan karhutla, yakni pendeteksian dini melalui monitoring hotspot, pemenuhan infrastruktur dan monitoring pengawasan sampai tingkat bawah dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat, pembuatan solusi permanen agar masyarakat tidak membuka lahan dengan cara membakar.

Kemudian, penataan ekonsistem gambut, penerapan respon dini sebelum api membesar dan penegakan hukum untuk menimbulkan efek jera.

Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Edwin Martin mengatakan hingga kini kejadian karhutla masih berulang terjadi walau trennya semakin menurun sejak 2015 lantaran Indonesia sedan memasuki fase transisi sosial-ekologis.

Berdasarkan data teknografi diketahui titik awal api itu terjadi di semak rendah, tapi juga terkadan di semak tinggi, dipicu oleh aktivitas manusia seperti mencari kayu dan mencari ikan.

Kemudian karhutla itu dominan terjadi di daerah yang muka airnya rendah dibandingkan yang muka airnya tinggi.

“Perlu ada sentuhan ke penduduk di kawasan gambut, itulah solusi permanen yang paling tepat. Karena berdasarkan penelitian kami, karhutla juga selain dipengaruhi kelengahan dan keteledoran, juga ada faktor konflik antara perusahaan dan masyarakat,” kata dia.

Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 22,5 juta Ha yang sebagian besar tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua atau menjadi yang terluas di dunia.

Keberadaan puluhan juta Ha lahan gambut itu dinyakini sama pentingnya dengan Hutan Amazon yang membentang di delapan negara Amerika Selatan.

Hutan Amazon sebagai hutan hujan terluas di dunia atau sering kali disebut paru-paru dunia karena mampu menghasilan 20 persen oksigen, lantas bagaimana pula dengan lahan gambut yang bisa terus menyerap karbon dalam jangka waktu lama.

Dalam Laporan Khusus tentang Perubahan Iklim dan Lahan dari panel ahli perubahan iklim antarpemerintah (IPCC) disebutkan jika hutan semakin mature maka rasio kenaikan penyerapan emisi karbonnya menurun. Kondisi itu berbeda dengan lahan gambut.

Karenanya, dengan luas hutan dan lahan gambut mencapai 22,5 juta hektare, yang mampu menyimpan 30 persen karbon dunia, tentu gambut Indonesia sama pentingnya dengan hutan Amazon.

Namun, kemampuan hebat gambut Indonesia itu hanya akan bertahan jika pihak-pihak tak bertanggung jawab berhenti membakarnya.