Pengamat politik, Ray Rangkuti, mengatakan, selain dikenal sebagai Proklamator Indonesia, ada dua julukan lain yang pantas dan layak disematkan kepada Bung Hatta, yakni "Bapak Politisi Bersih" dan "Bapak Politisi Sederhana".
"Bung Hatta bukan hanya menjalani hidup sederhana, tapi sangat sederhana. Banyak yang mampu hidup sederhana, tapi Bung Hatta sangat sederhana. Beliau sangat patut menjadi tauladan kita semua," kata Rangkuti, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin.
Saat menjadi pembicara di Talk Show "Pekan Bung Hatta", yang diinisiasi Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan, dia menyebutkan, arti sederhana bagi Hatta tentu merupakan sebuah kesadaran eskatologis yang tidak bisa dipisahkan dari sejauh mana Bung Hatta memahami ajaran-ajaran Islam.
Saat menjadi pembicara di Talk Show "Pekan Bung Hatta", yang diinisiasi Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan, dia menyebutkan, arti sederhana bagi Hatta tentu merupakan sebuah kesadaran eskatologis yang tidak bisa dipisahkan dari sejauh mana Bung Hatta memahami ajaran-ajaran Islam.
Sikap sederhana Hatta juga tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan yang diterimanya.
"Saya kira Islam memberi inspirasi pada Hatta mengenai tema-tema kejujuran, amanah tanggung jawab dan tentu tentang kehidupan yang sederhana. Kedua adalah kesadarannya sebagai seorang ilmuwan yang hidup bukan untuk mencari kemewahan duniawi, namun untuk mengabdikan sebesar-besarnya pengetahuan yang ada pada dirinya untuk kemaslahatan publik," kata Rangkuti.
Dengan semua fasilitas yang dimiliki Hatta, kata dia, sebenarnya ia bisa menjalani hidup yang berleha-leha. Selain ia mendapatkan beasiswa dari Belanda, ia juga berasal dari keluarga Minangkabau yang berada.
"Ketika mahasiswa sekalipun, di Belanda dengan fasilitas itu tetap menjalani hidup yang sangat sederhana dan tidak mau mempergunakan fasilitas yang diberikan kepada dirinya," lanjut pendiri Lingkar Madani ini.
Kesederhanaan Bung Hatta juga tidak lepas dari peran keluarga, khususnya Ibu Rahmi, istri beliau yang tetap menjaga sikap itu terus ada pada diri Bung Hatta sampai akhir hayatnya.
"Bung Hatta sampai menjadi wakil presiden di usia 43 tahun pada 1945, menikah dengan Ibu Rahmi dan memiliki anak, masih begitu dan tetap bisa teguh untuk bersikap seperti awal yaitu memilih hidup sederhana," kata dia.
Dalam hal ini peran istri dan anak-anak beliau menjadi penjaga integritas bagi Bung Hatta agar tidak terjebak pada kehidupan dunia.
Kesederhanaan di kehidupan keluarganya seperti itu setidaknya bisa dilacak dari dua hal. Pertama, bahwa seluruh fasilitas negara yang diberikan kepada Hatta tidak pernah kemudian dilimpahkan kepada keluarganya.
Kedua, Hatta tidak pernah mendesain anak-anaknya untuk mengikuti jejaknya atau berlaku nepotisme dalam memberikan jalan pintas kekuasaan atau jabatan publik.
"Hatta berprinsip, aset negara yang diperuntukkan kepadanya tidak boleh digunakan untuk diwariskan kepada anak cucunya. Sikap ini menjadi semacam acuan juga kepada keluarga Bung Hatta secara umum," ujarnya.
Bung Hatta tidak terpikir sedikitpun untuk meraup keuntungan material dan duniawi dari politik.
Namun sebaliknya, seluruh kehidupan beliau dan keluarga dicurahkan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan politik. Politik yang dimaknai sebagai sebagai kepentingan publik secara menyeluruh.
"Kesadaran dan teladan inilah yang perlu ditumbuhkan di politisi kita sekarang dan masa yang akan datang. Begitu Anda masuk dunia politik, artinya Anda mau menyerahkan seluruh totalitas untuk kepentingan orang banyak. Jangan sedikit-sedikit minta itu, sedikit-sedikit minta ini," kata dia.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya menumbuhkan kesadaran bahwa masuk dunia politik bukan untuk mengubah nasib pribadi, tapi mengubah nasib bangsa.
"Kalau kita percaya bahwa politik itu jalan mengubah nasib bangsa bukan mengubah jalan hidup saya, maka separuh dari persoalan kehidupan bangsa ini bisa kita selesaikan," demikian Rangkuti.