Mewujudkan pelabuhan samudera impian di Tanjung Carat
keberadaan pelabuhan itu sebenarnya menyesuaikan dan mengikuti kebutuhan ekonomi suatu daerah. Artinya, Sumsel sudah saatnya memiliki pelabuhan laut dalam
Palembang (ANTARA) - Keinginan Sumatera Selatan memiliki pelabuhan laut sudah didengungkan sejak 1990-an. Bahkan megaproyek ini selalu menjadi program prioritas setiap kepala daerah yang terpilih, meskipun harus diakui bahwa untuk mewujudkan keinginan itu bukan perkara mudah karena berkaitan dengan pendanaan dan persaingan bisnis pelabuhan antarnegara.
Namun babak baru sudah dimulai tahun ini, Sumsel sudah mendapatkan lampu hijau dari pemerintah pusat terkait pendanaan pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin.
Presiden Joko Widodo bahkan menargetkan pada akhir 2021 ini sudah ‘ground breaking’ dengan mengucurkan dana sekitar Rp300 miliar.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan rencana pemerintah pusat untuk membangun dua pelabuhan besar pada 2021 menjadi berkah tersendiri bagi Sumatera Selatan dan Maluku.
Kementerian Keuangan telah mengalokasikan dana masing-masing provinsi senilai Rp300 miliar agar pelabuhan yang direncanakan bisa ground breaking pada akhir 2021, dengan target rampung 2023.
Untuk tahap awal, Sumsel sudah memastikan lahan seluas 461 hektare yang diproyeksikan sebagai lokasi pelabuhan di Kabupaten Banyuasin itu berstatus clear and clean.
Sejak 2016, Kementerian Kehutanan sudah menetapkan Rencana Induk Pembangunan (RIP) terkait pembangunan pelabuhan laut tersebut.
Bahkan dalam studi kelayakan yang dilakukan PT Pelabuhan Indonesia disebutkan lahan itu termasuk area pengguna lain yang telah diberikan Kemenhut sesuai surat Nomor 806 Tahun 2014.
Dalam surat tersebut disebutkan terdapat area seluas 600 hektare yang diperuntukkan untuk pembangunan jalan sehingga sisanya terdapat 461 hektare.
Sesuai desain awal dalam RIP, pelabuhan Tanjung Carat akan dibangun dengan draft kedalaman 12-15 meter.
Jalan penunjang ke pelabuhan ini sejauh 7 Kilometer yang sudah disetujui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bahkan saat ini sudah dilakukan pengerjaan jalan tersebut.
Sementara itu jika menggunakan alternatif kedua dengan draft kedalaman 5-6 meter, harus dilakukan pelepasan kawasan hutan kembali, dan mengajukan permohonan kembali ke Kemenhut. (alternatif kedua ini muncul pada pertemuan terakhir pemprov dengan pemerintah pusat).
“Tentunya kami mengharapkan opsi yang pertama karena biaya pemeliharaannya tidak mahal, apalagi jarak untuk opsi kedua ini masih jauh dengan laut lepas,” kata Herman Deru.
Terkait anggarannya yang cukup fantastis untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat sesuai desain titik awal, ia optimistis hal itu bisa disiasati dengan memodifikasi desain konstruksi.
Menhub Budi Karya Sumadi saat meninjau secara langsung lokasi Pelabuhan Tanjung Carat pada 20 Februari 2021 mengatakan, sebelum melakukan pekerjaan fisik, pemerintah pusat ingin memastikan soal kepemilikan lahan serta kedalaman dan sedimentasi di lokasi tersebut.
Penetapan status kepemilikan lahan ini sangat penting agar proyek ini benar-benar terealisasi pada akhir tahun 2021.
“Kami datang dan melihat langsung untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan agar pelabuhan tersebut segera dibangun tahun ini juga dan selesai 2023,” kata Budi.
Sementara itu untuk kedalaman kawasan Tanjung Carat, Budi tidak meragukan lagi karena sudah dilakukan uji dan analisa mendalam.
Sebelumnya Sumsel memproyeksikan kawasan Tanjung Api-Api (TAA), namun belakangan dilakukan perubahan karena kawasan TAA memiliki ceruk yang dikhawatirkan seiring dengan berjalannya waktu bakal mendangkal. Kawasan TAA ini sempat didatangi Presiden Jokowi pada akhir tahun 2014 untuk menindaklanjuti rencana pembangunan pelabuhan laut Sumsel.
“Kami akan pastikan semua, sehingga saat pembangunan sudah tidak ada masalah lagi,” kata Budi.
Sumsel sejak lama ingin memiliki pelabuhan laut dalam (samudera) agar menjangkau negara tujuan ekspor tanpa harus melalui pelabuhan di provinsi lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Selatan diketahui ekspor komoditas Sumsel yang menggunakan pelabuhan selain Pelabuhan Boom Baru Palembang menunjukkan tren peningkatan pada 2021 dibandingkan tahun lalu.
Arus logistik di pelabuhan selain Pelabuhan Boom Baru ini mencapai 16,32 persen per Februari 2021, sementara pada periode yang sama tahun lalu hanya 14,93 persen dari total ekspor.
“Tren terus meningkat, diharapkan Sumsel segera merealisasikan rencana pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat,” kata Kepala BPS Sumsel Endang Tri Wahyuningsih.
Ia mengatakan sebagian komoditas asal Sumsel diekspor melalui pintu perdagangan Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Jambi, Pelabuhan Panjang (Lampung), dan Bandara Soekarno Hatta.
Saat ini pemanfaatan Pelabuhan Boom Baru dan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II masih mendominasi yakni 79,56 persen (Februari 2021) dan 76,94 persen (Februari 2020), namun jika Pelabuhan Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin tak kunjung terealisasi bakal menggerus nilai tambah dari PRDB.
Sumsel juga tidak akan maksimal dalam perdagangan luar negeri karena memiliki daya saing yang rendah dibandingkan daerah lain, mengingat tidak memiliki pelabuhan laut.
Namun, jika pelabuhan samudera itu sudah tersedia maka ekspor dapat langsung dilakukan ke negara tujuan tanpa melalui pelabuhan di daerah lain.
Pendangkalan Sungai
Selain itu, hadirnya pelabuhan samudera ini dipandang sebagai solusi atas mendangkalnya alur Sungai Musi yang setiap tahun semakin menyulitkan pelayaran kapal-kapal pengangkut batu bara, karet dan minyak sawit.
Pendangkalan alur Sungai Musi ini juga menjadi persoalan bagi sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang beroperasi di daerah tersebut.
Setidaknya terdapat tiga BUMN yang sudah mengungkapkan persoalan tersebut yakni PT Pertamina, PT Pupuk Sriwidjaja, dan PT Pelindo II.
General Manager PT Pertamina Refinery Unit III Kilang Plaju Moh. Hasan Efendi mengatakan pendangkalan alur Sungai Musi ini sudah menjadi persoalan sejak lama, yang mana saat ini sedang dicarikan solusinya oleh pemerintah pusat.
Kilang RU III ingin terus berkembang, tapi terkendala dengan semakin mendangkalnya alur sungai. Padahal tidak semua bahan baku kami dihasilkan dari sini (Sumsel), ada juga yang disuplai dari daerah lain, dan kami setelah berproduksi juga harus mengirimkannya (BBM) ke daerah lain, kata dia.
Suplai itu tentunya dikirim melalui armada laut yang kemudian harus memanfaatkan alur Sungai Musi untuk tiba di Kilang RU III Plaju di Palembang.
“Kami juga sudah bekerja sama dengan Pusri, untuk mencari solusi mengenai persoalan ini karena mereka juga terkendala pengiriman pupuk. Draf kapal semakin lama, semakin menurun,” kata dia.
Bukan hanya itu, perusahaan juga harus menyesuaikan kondisi pasang-surut di Sungai Musi agar meloloskan kapal dari jalur tersebut.
Ia berharap persoalan tersebut segera dicarikan solusinya karena Kilang RU III dalam pengembangan Green Refinery yang ditargetkan beroperasi pada 2024 dengan kapasitas 20 MBSD (Thousand barel per steam day). Kilang ini diharapkan menghasilkan produk-produk ramah lingkungan, di antaranya Green Diesel, Green Avtur, Green Naphtha, dan Green LPG.
Senada, Dirut PT Pusri Tri Wahyudi Saleh mengatakan perusahaannya meminta bantuan Pemprov Sumsel untuk menemukan solusi atas pendangkalan alur Sungai Musi itu.
Ia mengatakan pihaknya sudah melakukan pembicaraan dengan Gubernur Sumsel Herman Deru terkait persoalan tersebut.
“Pada prinsipnya, Gubernur akan membantu dengan mendorong ke level pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR,” kata Tri.
Jika persoalan pendangkalan sungai tersebut tidak ditemukan solusinya, Pusri akan bermasalah dengan logistik, mengingat sejak beberapa tahun terakhir terjadi penurunan volume ekspor.
Ini berkaitan dengan ukuran draf kapal angkut di Sungai Musi yang semakin terbatas. Semula bobot kapal 10.000 DWT, kini hanya 5.000-6.000 DWT untuk sekali perjalanan.
Tentunya kondisi ini menjadi salah satu perhatian Pusri di tengah rencana pembangunan Pabrik Pusri IIIB pada 2021.
Hadirnya pabrik baru ini untuk menggantikan dua pabrik Pusri yang sudah tua dan boros penggunaan energi yakni Pusri III dan Pusri IV. Penggunaan gas ini berkontribusi hingga 70 persen dari total biaya produksi.
Saat terjadi peningkatan produksi, Pusri dipastikan akan mencari pasar baru di luar Sumsel bahkan hingga ke luar negeri sehingga kelancaran alur Sungai Musi ini menjadi penting.
Kebutuhan akan pelabuhan laut ini juga disampaikan Sekretaris DPC Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (Indonesian National Shipowner's Association/INSA) Kota Palembang, Suandi.
“Saat ini alur pelayaran di Sungai Musi terus mendangkal, belum lagi jaraknya dari pelabuhan ke muara yang cukup jauh yakni 90 kilometer. Kami menilai daerah ini sudah saatnya memiliki pelabuhan laut,” kata dia.
Lantaran belum adanya alternatif lain, menurut Suandi, pengusaha tidak ada pilihan lain selain memanfaatkan Pelabuhan Boom Baru yang dikelola oleh PT Pelindo II.
Pengusaha tetap menjalankan bisnisnya seperti biasanya yakni terpaksa melakukan double handling atau dua kali bongkar muat untuk memindahkan muatan dari kapal berukuran kecil ke kapal berukuran besar.
Untuk itu, pengusaha harus mengeluarkan biaya tambahan jika dibandingkan dengan daerah lain yang sudah memiliki pelabuhan laut.
Sumsel ini kaya akan hasil alam, ada sawit, karet dan batu bara tapi sayangnya belum memiliki pelabuhan laut. Jika persoalan ini terselesaikan maka dipastikan pertumbuhan ekonomi di daerah ini akan meningkat, kata dia.
Menurut Suandi, ketidakadaan pelabuhan samudra itu juga yang sebenarnya mengganjal keinginan para investor menanamkan modal di daerah itu.
Pengamat Ekonomi Sumsel dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Didik Susetyo membenarkan hal itu bahwa Sumsel bakal menjadi tujuan investasi apalagi nantinya dilengkapi Kawasan Ekonomi Khusus dan akses tol ke Jalan Tol Trans Sumatera.
“Jika ini terwujud maka menjadi peluang Sumsel untuk naik kelas perekonomiannya, tidak terkunci di kisaran 5,0 persen lagi,” kata Didik.
Pada 1821, setelah Belanda berhasil menguasai Palembang, dibangunlah pelabuhan di depan Benteng Kuto Besak atau sekarang dikenal Bek Ang Kodam II Sriwijaya atau Boom Jati.
Kemudian pada 1941, dilakukan pemindahan letak lebih ke hilir sungai, yaitu kawasan Sungai Rendang, atau masyarakat Sumsel mengenalnya sebagai Gudang Garam. Lalu dipindahkan lagi lokasi pelabuhan tersebut antara Sungai Lawang Kidul dan Sungai Belabak, yang kini disebut Pelabuhan Boom Baru.
Dari sejarah tersebut dapat diambil intisari bahwa keberadaan pelabuhan itu sebenarnya menyesuaikan dan mengikuti kebutuhan ekonomi suatu daerah. Artinya, Sumsel sudah saatnya memiliki pelabuhan laut dalam.
Namun babak baru sudah dimulai tahun ini, Sumsel sudah mendapatkan lampu hijau dari pemerintah pusat terkait pendanaan pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin.
Presiden Joko Widodo bahkan menargetkan pada akhir 2021 ini sudah ‘ground breaking’ dengan mengucurkan dana sekitar Rp300 miliar.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan rencana pemerintah pusat untuk membangun dua pelabuhan besar pada 2021 menjadi berkah tersendiri bagi Sumatera Selatan dan Maluku.
Kementerian Keuangan telah mengalokasikan dana masing-masing provinsi senilai Rp300 miliar agar pelabuhan yang direncanakan bisa ground breaking pada akhir 2021, dengan target rampung 2023.
Untuk tahap awal, Sumsel sudah memastikan lahan seluas 461 hektare yang diproyeksikan sebagai lokasi pelabuhan di Kabupaten Banyuasin itu berstatus clear and clean.
Sejak 2016, Kementerian Kehutanan sudah menetapkan Rencana Induk Pembangunan (RIP) terkait pembangunan pelabuhan laut tersebut.
Bahkan dalam studi kelayakan yang dilakukan PT Pelabuhan Indonesia disebutkan lahan itu termasuk area pengguna lain yang telah diberikan Kemenhut sesuai surat Nomor 806 Tahun 2014.
Dalam surat tersebut disebutkan terdapat area seluas 600 hektare yang diperuntukkan untuk pembangunan jalan sehingga sisanya terdapat 461 hektare.
Sesuai desain awal dalam RIP, pelabuhan Tanjung Carat akan dibangun dengan draft kedalaman 12-15 meter.
Jalan penunjang ke pelabuhan ini sejauh 7 Kilometer yang sudah disetujui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bahkan saat ini sudah dilakukan pengerjaan jalan tersebut.
Sementara itu jika menggunakan alternatif kedua dengan draft kedalaman 5-6 meter, harus dilakukan pelepasan kawasan hutan kembali, dan mengajukan permohonan kembali ke Kemenhut. (alternatif kedua ini muncul pada pertemuan terakhir pemprov dengan pemerintah pusat).
“Tentunya kami mengharapkan opsi yang pertama karena biaya pemeliharaannya tidak mahal, apalagi jarak untuk opsi kedua ini masih jauh dengan laut lepas,” kata Herman Deru.
Terkait anggarannya yang cukup fantastis untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat sesuai desain titik awal, ia optimistis hal itu bisa disiasati dengan memodifikasi desain konstruksi.
Menhub Budi Karya Sumadi saat meninjau secara langsung lokasi Pelabuhan Tanjung Carat pada 20 Februari 2021 mengatakan, sebelum melakukan pekerjaan fisik, pemerintah pusat ingin memastikan soal kepemilikan lahan serta kedalaman dan sedimentasi di lokasi tersebut.
Penetapan status kepemilikan lahan ini sangat penting agar proyek ini benar-benar terealisasi pada akhir tahun 2021.
“Kami datang dan melihat langsung untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan agar pelabuhan tersebut segera dibangun tahun ini juga dan selesai 2023,” kata Budi.
Sementara itu untuk kedalaman kawasan Tanjung Carat, Budi tidak meragukan lagi karena sudah dilakukan uji dan analisa mendalam.
Sebelumnya Sumsel memproyeksikan kawasan Tanjung Api-Api (TAA), namun belakangan dilakukan perubahan karena kawasan TAA memiliki ceruk yang dikhawatirkan seiring dengan berjalannya waktu bakal mendangkal. Kawasan TAA ini sempat didatangi Presiden Jokowi pada akhir tahun 2014 untuk menindaklanjuti rencana pembangunan pelabuhan laut Sumsel.
“Kami akan pastikan semua, sehingga saat pembangunan sudah tidak ada masalah lagi,” kata Budi.
Sumsel sejak lama ingin memiliki pelabuhan laut dalam (samudera) agar menjangkau negara tujuan ekspor tanpa harus melalui pelabuhan di provinsi lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Selatan diketahui ekspor komoditas Sumsel yang menggunakan pelabuhan selain Pelabuhan Boom Baru Palembang menunjukkan tren peningkatan pada 2021 dibandingkan tahun lalu.
Arus logistik di pelabuhan selain Pelabuhan Boom Baru ini mencapai 16,32 persen per Februari 2021, sementara pada periode yang sama tahun lalu hanya 14,93 persen dari total ekspor.
“Tren terus meningkat, diharapkan Sumsel segera merealisasikan rencana pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat,” kata Kepala BPS Sumsel Endang Tri Wahyuningsih.
Ia mengatakan sebagian komoditas asal Sumsel diekspor melalui pintu perdagangan Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Jambi, Pelabuhan Panjang (Lampung), dan Bandara Soekarno Hatta.
Saat ini pemanfaatan Pelabuhan Boom Baru dan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II masih mendominasi yakni 79,56 persen (Februari 2021) dan 76,94 persen (Februari 2020), namun jika Pelabuhan Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin tak kunjung terealisasi bakal menggerus nilai tambah dari PRDB.
Sumsel juga tidak akan maksimal dalam perdagangan luar negeri karena memiliki daya saing yang rendah dibandingkan daerah lain, mengingat tidak memiliki pelabuhan laut.
Namun, jika pelabuhan samudera itu sudah tersedia maka ekspor dapat langsung dilakukan ke negara tujuan tanpa melalui pelabuhan di daerah lain.
Pendangkalan Sungai
Selain itu, hadirnya pelabuhan samudera ini dipandang sebagai solusi atas mendangkalnya alur Sungai Musi yang setiap tahun semakin menyulitkan pelayaran kapal-kapal pengangkut batu bara, karet dan minyak sawit.
Pendangkalan alur Sungai Musi ini juga menjadi persoalan bagi sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang beroperasi di daerah tersebut.
Setidaknya terdapat tiga BUMN yang sudah mengungkapkan persoalan tersebut yakni PT Pertamina, PT Pupuk Sriwidjaja, dan PT Pelindo II.
General Manager PT Pertamina Refinery Unit III Kilang Plaju Moh. Hasan Efendi mengatakan pendangkalan alur Sungai Musi ini sudah menjadi persoalan sejak lama, yang mana saat ini sedang dicarikan solusinya oleh pemerintah pusat.
Kilang RU III ingin terus berkembang, tapi terkendala dengan semakin mendangkalnya alur sungai. Padahal tidak semua bahan baku kami dihasilkan dari sini (Sumsel), ada juga yang disuplai dari daerah lain, dan kami setelah berproduksi juga harus mengirimkannya (BBM) ke daerah lain, kata dia.
Suplai itu tentunya dikirim melalui armada laut yang kemudian harus memanfaatkan alur Sungai Musi untuk tiba di Kilang RU III Plaju di Palembang.
“Kami juga sudah bekerja sama dengan Pusri, untuk mencari solusi mengenai persoalan ini karena mereka juga terkendala pengiriman pupuk. Draf kapal semakin lama, semakin menurun,” kata dia.
Bukan hanya itu, perusahaan juga harus menyesuaikan kondisi pasang-surut di Sungai Musi agar meloloskan kapal dari jalur tersebut.
Ia berharap persoalan tersebut segera dicarikan solusinya karena Kilang RU III dalam pengembangan Green Refinery yang ditargetkan beroperasi pada 2024 dengan kapasitas 20 MBSD (Thousand barel per steam day). Kilang ini diharapkan menghasilkan produk-produk ramah lingkungan, di antaranya Green Diesel, Green Avtur, Green Naphtha, dan Green LPG.
Senada, Dirut PT Pusri Tri Wahyudi Saleh mengatakan perusahaannya meminta bantuan Pemprov Sumsel untuk menemukan solusi atas pendangkalan alur Sungai Musi itu.
Ia mengatakan pihaknya sudah melakukan pembicaraan dengan Gubernur Sumsel Herman Deru terkait persoalan tersebut.
“Pada prinsipnya, Gubernur akan membantu dengan mendorong ke level pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR,” kata Tri.
Jika persoalan pendangkalan sungai tersebut tidak ditemukan solusinya, Pusri akan bermasalah dengan logistik, mengingat sejak beberapa tahun terakhir terjadi penurunan volume ekspor.
Ini berkaitan dengan ukuran draf kapal angkut di Sungai Musi yang semakin terbatas. Semula bobot kapal 10.000 DWT, kini hanya 5.000-6.000 DWT untuk sekali perjalanan.
Tentunya kondisi ini menjadi salah satu perhatian Pusri di tengah rencana pembangunan Pabrik Pusri IIIB pada 2021.
Hadirnya pabrik baru ini untuk menggantikan dua pabrik Pusri yang sudah tua dan boros penggunaan energi yakni Pusri III dan Pusri IV. Penggunaan gas ini berkontribusi hingga 70 persen dari total biaya produksi.
Saat terjadi peningkatan produksi, Pusri dipastikan akan mencari pasar baru di luar Sumsel bahkan hingga ke luar negeri sehingga kelancaran alur Sungai Musi ini menjadi penting.
Kebutuhan akan pelabuhan laut ini juga disampaikan Sekretaris DPC Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (Indonesian National Shipowner's Association/INSA) Kota Palembang, Suandi.
“Saat ini alur pelayaran di Sungai Musi terus mendangkal, belum lagi jaraknya dari pelabuhan ke muara yang cukup jauh yakni 90 kilometer. Kami menilai daerah ini sudah saatnya memiliki pelabuhan laut,” kata dia.
Lantaran belum adanya alternatif lain, menurut Suandi, pengusaha tidak ada pilihan lain selain memanfaatkan Pelabuhan Boom Baru yang dikelola oleh PT Pelindo II.
Pengusaha tetap menjalankan bisnisnya seperti biasanya yakni terpaksa melakukan double handling atau dua kali bongkar muat untuk memindahkan muatan dari kapal berukuran kecil ke kapal berukuran besar.
Untuk itu, pengusaha harus mengeluarkan biaya tambahan jika dibandingkan dengan daerah lain yang sudah memiliki pelabuhan laut.
Sumsel ini kaya akan hasil alam, ada sawit, karet dan batu bara tapi sayangnya belum memiliki pelabuhan laut. Jika persoalan ini terselesaikan maka dipastikan pertumbuhan ekonomi di daerah ini akan meningkat, kata dia.
Menurut Suandi, ketidakadaan pelabuhan samudra itu juga yang sebenarnya mengganjal keinginan para investor menanamkan modal di daerah itu.
Pengamat Ekonomi Sumsel dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Didik Susetyo membenarkan hal itu bahwa Sumsel bakal menjadi tujuan investasi apalagi nantinya dilengkapi Kawasan Ekonomi Khusus dan akses tol ke Jalan Tol Trans Sumatera.
“Jika ini terwujud maka menjadi peluang Sumsel untuk naik kelas perekonomiannya, tidak terkunci di kisaran 5,0 persen lagi,” kata Didik.
Pada 1821, setelah Belanda berhasil menguasai Palembang, dibangunlah pelabuhan di depan Benteng Kuto Besak atau sekarang dikenal Bek Ang Kodam II Sriwijaya atau Boom Jati.
Kemudian pada 1941, dilakukan pemindahan letak lebih ke hilir sungai, yaitu kawasan Sungai Rendang, atau masyarakat Sumsel mengenalnya sebagai Gudang Garam. Lalu dipindahkan lagi lokasi pelabuhan tersebut antara Sungai Lawang Kidul dan Sungai Belabak, yang kini disebut Pelabuhan Boom Baru.
Dari sejarah tersebut dapat diambil intisari bahwa keberadaan pelabuhan itu sebenarnya menyesuaikan dan mengikuti kebutuhan ekonomi suatu daerah. Artinya, Sumsel sudah saatnya memiliki pelabuhan laut dalam.