Korupsi dan bocah angon
Jakarta (ANTARA) - Maraknya pencanangan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang dilakukan oleh Badan/ Instansi/Lembaga Pemerintah Pusat maupun daerah, seperti yang dilakukan juga oleh KJRI Davao City pada tanggal 6 Januari 2021 lalu, merupakan komitmen pemerintah untuk penguatan anti korupsi, dimana sasarannya mengurangi praktek koruptif.
Pencanangan WBK dan WBBM merupakan impelemntasi dari Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2020 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61/2019, dalam Lampiran I Bab 4 ditegaskan salah satu dari 19 indikator penguatan anti korupsi dan berkurangnya praktek koruptif adalah Instansi Pemerintah menjadi WBK dan WBBM.
Berdasarkan RKP tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengedarkan Surat Edaran No 04 tahun 2020 tentang Arah Kebijakan Umum KPK 2020, dimana point A Bidang Pencagahan nomor 2 disebutkan salah satunya adalah melakukan pemantauan atas predikat WBK dan WBBM yang diberikan kepada K/L dan Pemda. Selain itu KPK juga menyempurnakan dan menguatkan koordinasi dalam Whistle Blower System dengan K/L dan APH.
Sekalipun pemerintah sudah memasukkan pemberantasan korupsi dalam RKP 2020, dalam prakteknya tentu tidaklah mudah. Selama tidak ada keseriusan dari semua pihak, juga koruptor di Indonesia semakin pintar untuk menghindar dari jeratan hukum. Hal ini dinyatakan Menkopolhukam, Mahfud MD, “Koruptor Juga Punya Program yang Tidak Kalah Canggihnya” yang disiarkan kanal YouTube Transparency International Indonesia, Jumat, 29 Januari 2021 lalu.
Dalam laporan akhir tahun 2019 Indonesian Corruption Watch, dan pemantauan kinerja satu tahun KPK periode 2019-2023 oleh ICW dan Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan 2019 adalah tahun yang sangat berat dalam upaya pemberantasan korupsi. Indikatornya adalah adanya penurunan atas penangangan perkara korupsi oleh penegak hukum, dan hukuman bagi terdakwa korupsi hanya berkisar dua tahun tujuh bulan (ICW, Tren Vonis Kasus Korupsi 2019).
Tidak adanya progress dalam penindakan perkara korupsi, mengakibatkan menurunnya kepercayaan publik kepada KPK. Hal ini juga disebabkan antara lain oleh berlakunya Undang-Undang No 19 tahun 2019, pelantikan Komisioner KPK 2019-2023 yang banyak kontroversi, dan akan bertransformasinya pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara.
Sementara kabar baiknya adalah tuntutan agar mantan terpidana korupsi tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon legislatif dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memaknai korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain.
Menurut Fockema Andreae, korupsi berasal dari kata corruptio atau corruptus yang berarti penyuapan. Kata corruptio dan corruptus ini kata turunan dari corrumpore yang berarti busuk, buruk, bejat, tidak jujur. Kata korupsi dalam bahasa Indonesia diserap dari kata bahasa Belanda korruptie (dibaca: korupsi) yang artinya busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dan menyimpang dari kesucian. (Linggar Yudhapratama, 2015).
Definisi korupsi yang banyak dari para ahli seperti Barley, M.Mc.Mullan, J.S.Nye, Jacob Van Klaveren, dan lain-lain yang pada akhirnya akan mempengaruhi Undang-Undang Pidana Korupsi pada suatu negara tertentu.
Syed Husein Alatas, akademisi dan politisi Malaysia yang lahir di Bogor dalam bukunya The Sociology of Corruption mengatakan ada tiga fenomena dalam istilah korupsi yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Tiga fenomena ini dijabarkan lagi ke dalam tujuh tipologi korupsi yaitu korupsi; transaktif, memeras, investif, perkerabatan, defensif, otogenik, dan dukungan.
Di UU Nomor 31/1999 juncto UU Nomor 20/2001 terdapat tiga puluh jenis tindak pidana korupsi yang digolongkan ke dalam tujuh kelompok tindak pidana korupsi yaitu: kerugian keuangan negara, suap menyuap, pemerasan, perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Dari tiga fenomena dan tujuh tipologi korupsi yang berbeda-beda modusnya ini, bisa diambil suatu kesimpulan yang sama, yaitu adanya penempatan kepentingan pribadi dan golongannya di atas kepentingan umum dan negara. Dilakukan dengan cara-cara yang tidak bermoral, tidak beradab, melanggar sistim nilai dan norma masyarakat, penuh dengan kecurangan dan penipuan, pengkhianatan, dan dilakukan secara rahasia.
Korupsi bukan hanya menghancurkan sendi-sendi negara, juga menghancurkan nilai-nilai manusia dan kemanusiaan, korupsi termasuk extraordinary crime, yang penanganannya juga harus dengan tindak pidana khusus, dan pelakunya adalah the real terorrits.
Korupsi di Indonesia sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan dahulu, dimana raja dan para pemimpin sangat ingin dihormati, dan bangga sebagai tempat bergantung bawahannya, para abdi dalem senang menjilat, suka cari muka dan sangat bergantung kepada raja atau pimpinannya. Sikap ini melahirkan sikap feudal, dimana rakyat akhirnya dijadikan sapi perahan para abdi dalem untuk menjilat rajanya. Hal ini bisa dilihat dari buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles (1781–1826).
Masa penjajahan pun demikian, para pegawai Belanda serta para penguasa daerah melakukan korupsi secara masif dan terstruktur.
VOC, perusahaan Belanda yang usianya ratusan tahun pun hancur karena korupsi.
Sejarawan Universitas Indonesia Marihandono yang dikutip Historia (22 Mei 2015) menerangkan ketika Herman William Deandels membangun jalan poros Anyer-Panarukan, sebagai infrastruktur ekonomi dan pertahanan. Deandels juga membuka jalan Bogor-Cirebon (untuk menghindari blokade Inggris di Batavia) guna mengekspor kopi Priangan ke Eropa.
Jalan yang dibangun adalah Cisarua-Cianjur-Rajamandala-Bandung-Parakanmuncang-Sumedang-Karangsembung. Jalan sejauh 150 km ini dikerjakan pada awal Mei 1808 dengan mengerahkan 1.100 buruh.
Dari catatan yang ada, Direktur Jenderal Keuangan Van Ijsseldij mengeluarkan dana untuk buruh, mandor, peralatan, dan konsumsi atau ransum sebesar 30.000 ringgit plus uang kertas, buruh juga mendapat beras dan garam. Uang itu diserahkan kepada prefek (setingkat residen) lalu diberikan kepada bupati, tetapi dari bupati tidak ditemukan satupun catatan yang membayarkan kepada mandor dan buruh.
Pada masa kemerdekaan usaha untuk pembarantasan sudah berulang kali dibuatkan lembaganya, tetapi hasilnya tetap sama, lembaganya harus “dikalahkan” oleh para koruptor.
Jaman Orde Lama, ada Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang diketuai AH Nasution, dan pembantunya Mohammad Yamin dan Roeslan Abdulgani. PARAN gagal, lalu muncul Operasi Budhi, bertujuan memidanakan para pelaku korupsi, juga gagal. Operasi Budhi berganti menjadi Komando Tertinggi Retoolong Aparatur Revolusi (KOTRAR) dipimpin langsung oleh Soekarno, lembaga inipun stagnan.
Awal Orde Baru, 1970, dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai jaksa agung. Keberadaan Tim ini diprotes para pelajar dan mahasiswa karena tidak serius dalam pemberantasan korupsi.
Selanjutnya dibentuklah Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh yang dinilai bersih, yairu Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo dan A. Tjokroaminoto, dimana tugasnya adalah membersihkan korupsi pada Departeman Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, namun hasil penemuannya tidak direspon pemerintah.
Waktu Soedomo bertindak sebagai Pangkopkamtib dibentuklah Opstib (Operasi Tertib), kebijakan in hanya melahirkan sinisme masyarakat, karena hanya menyisir koruptor kelas teri.
Era Reformasi, BJ Habibie mengeluarkan UU Nomoe 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN serta pembentukan lembaga baru seperti KPKPN, KPPU, atau Ombudsman.
Gus Dur membentuk Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), namun tim ini harus bubar melalui peninjauan hukum Mahkamah Agung. TGPTPK ini awalnya memeriksa kasus korupsi konglomerat Sofyan Wanandi yang dihentikan kasusnya (SP3) oleh Jaksa Agung, Marzuki Darusman.
Di tengah maraknya kemerosotan penegakan hukum, ditenggarai dengan banyaknya para koruptor yang lari ke luar negeri termasuk kasus BLBI, pada jaman Megawati lahirlah KPK pada Desember 2003, berdasarkan UU Nomor 30/2002 (disarikan dari Lestari Moerdijat, 17 Desember 2019).
Sejarah panjang penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia memang sangat sulit, karena melibatkan semua lapisan. Hamdani Muluk (2 Mei 2008) menulis ada tiga factor penyebab terjadinya korupsi; negara yang sudah rusak, dimana sistim hukum, politik, pengawasan, control sudah rusak. Kedua pengaruh sistim koruptif ditingkat meso (departemen/ lembaga-lembaga yang ada, dan yang ketiga adalah kepribadian, baik dari pejabat dan masyarakat umum.
Entah akan bertransformasi apa lagi Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Sunan Kalijaga telah mengingatkan bahwa untuk membersihkan negara, masyarakat itu yang paling penting adalah bocah angon, siapa saja boleh menjadi bocah angon, yang penting adalah tekadnya yang sangat kuat meraih belimbing yang berupa bintang, yang melambangkan spiritual.
Siapa saja harus mempunyai spiritual yang tinggi, yang bekerja dengan spiritual yang tinggi, baru bisa membersihkan kotoran-kotoran di baju kita, di masyarakat dan Negara yang kita cintai.
*) Nanang Sumanang, Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina
Pencanangan WBK dan WBBM merupakan impelemntasi dari Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2020 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61/2019, dalam Lampiran I Bab 4 ditegaskan salah satu dari 19 indikator penguatan anti korupsi dan berkurangnya praktek koruptif adalah Instansi Pemerintah menjadi WBK dan WBBM.
Berdasarkan RKP tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengedarkan Surat Edaran No 04 tahun 2020 tentang Arah Kebijakan Umum KPK 2020, dimana point A Bidang Pencagahan nomor 2 disebutkan salah satunya adalah melakukan pemantauan atas predikat WBK dan WBBM yang diberikan kepada K/L dan Pemda. Selain itu KPK juga menyempurnakan dan menguatkan koordinasi dalam Whistle Blower System dengan K/L dan APH.
Sekalipun pemerintah sudah memasukkan pemberantasan korupsi dalam RKP 2020, dalam prakteknya tentu tidaklah mudah. Selama tidak ada keseriusan dari semua pihak, juga koruptor di Indonesia semakin pintar untuk menghindar dari jeratan hukum. Hal ini dinyatakan Menkopolhukam, Mahfud MD, “Koruptor Juga Punya Program yang Tidak Kalah Canggihnya” yang disiarkan kanal YouTube Transparency International Indonesia, Jumat, 29 Januari 2021 lalu.
Dalam laporan akhir tahun 2019 Indonesian Corruption Watch, dan pemantauan kinerja satu tahun KPK periode 2019-2023 oleh ICW dan Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan 2019 adalah tahun yang sangat berat dalam upaya pemberantasan korupsi. Indikatornya adalah adanya penurunan atas penangangan perkara korupsi oleh penegak hukum, dan hukuman bagi terdakwa korupsi hanya berkisar dua tahun tujuh bulan (ICW, Tren Vonis Kasus Korupsi 2019).
Tidak adanya progress dalam penindakan perkara korupsi, mengakibatkan menurunnya kepercayaan publik kepada KPK. Hal ini juga disebabkan antara lain oleh berlakunya Undang-Undang No 19 tahun 2019, pelantikan Komisioner KPK 2019-2023 yang banyak kontroversi, dan akan bertransformasinya pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara.
Sementara kabar baiknya adalah tuntutan agar mantan terpidana korupsi tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon legislatif dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memaknai korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain.
Menurut Fockema Andreae, korupsi berasal dari kata corruptio atau corruptus yang berarti penyuapan. Kata corruptio dan corruptus ini kata turunan dari corrumpore yang berarti busuk, buruk, bejat, tidak jujur. Kata korupsi dalam bahasa Indonesia diserap dari kata bahasa Belanda korruptie (dibaca: korupsi) yang artinya busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dan menyimpang dari kesucian. (Linggar Yudhapratama, 2015).
Definisi korupsi yang banyak dari para ahli seperti Barley, M.Mc.Mullan, J.S.Nye, Jacob Van Klaveren, dan lain-lain yang pada akhirnya akan mempengaruhi Undang-Undang Pidana Korupsi pada suatu negara tertentu.
Syed Husein Alatas, akademisi dan politisi Malaysia yang lahir di Bogor dalam bukunya The Sociology of Corruption mengatakan ada tiga fenomena dalam istilah korupsi yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Tiga fenomena ini dijabarkan lagi ke dalam tujuh tipologi korupsi yaitu korupsi; transaktif, memeras, investif, perkerabatan, defensif, otogenik, dan dukungan.
Di UU Nomor 31/1999 juncto UU Nomor 20/2001 terdapat tiga puluh jenis tindak pidana korupsi yang digolongkan ke dalam tujuh kelompok tindak pidana korupsi yaitu: kerugian keuangan negara, suap menyuap, pemerasan, perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Dari tiga fenomena dan tujuh tipologi korupsi yang berbeda-beda modusnya ini, bisa diambil suatu kesimpulan yang sama, yaitu adanya penempatan kepentingan pribadi dan golongannya di atas kepentingan umum dan negara. Dilakukan dengan cara-cara yang tidak bermoral, tidak beradab, melanggar sistim nilai dan norma masyarakat, penuh dengan kecurangan dan penipuan, pengkhianatan, dan dilakukan secara rahasia.
Korupsi bukan hanya menghancurkan sendi-sendi negara, juga menghancurkan nilai-nilai manusia dan kemanusiaan, korupsi termasuk extraordinary crime, yang penanganannya juga harus dengan tindak pidana khusus, dan pelakunya adalah the real terorrits.
Korupsi di Indonesia sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan dahulu, dimana raja dan para pemimpin sangat ingin dihormati, dan bangga sebagai tempat bergantung bawahannya, para abdi dalem senang menjilat, suka cari muka dan sangat bergantung kepada raja atau pimpinannya. Sikap ini melahirkan sikap feudal, dimana rakyat akhirnya dijadikan sapi perahan para abdi dalem untuk menjilat rajanya. Hal ini bisa dilihat dari buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles (1781–1826).
Masa penjajahan pun demikian, para pegawai Belanda serta para penguasa daerah melakukan korupsi secara masif dan terstruktur.
VOC, perusahaan Belanda yang usianya ratusan tahun pun hancur karena korupsi.
Sejarawan Universitas Indonesia Marihandono yang dikutip Historia (22 Mei 2015) menerangkan ketika Herman William Deandels membangun jalan poros Anyer-Panarukan, sebagai infrastruktur ekonomi dan pertahanan. Deandels juga membuka jalan Bogor-Cirebon (untuk menghindari blokade Inggris di Batavia) guna mengekspor kopi Priangan ke Eropa.
Jalan yang dibangun adalah Cisarua-Cianjur-Rajamandala-Bandung-Parakanmuncang-Sumedang-Karangsembung. Jalan sejauh 150 km ini dikerjakan pada awal Mei 1808 dengan mengerahkan 1.100 buruh.
Dari catatan yang ada, Direktur Jenderal Keuangan Van Ijsseldij mengeluarkan dana untuk buruh, mandor, peralatan, dan konsumsi atau ransum sebesar 30.000 ringgit plus uang kertas, buruh juga mendapat beras dan garam. Uang itu diserahkan kepada prefek (setingkat residen) lalu diberikan kepada bupati, tetapi dari bupati tidak ditemukan satupun catatan yang membayarkan kepada mandor dan buruh.
Pada masa kemerdekaan usaha untuk pembarantasan sudah berulang kali dibuatkan lembaganya, tetapi hasilnya tetap sama, lembaganya harus “dikalahkan” oleh para koruptor.
Jaman Orde Lama, ada Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang diketuai AH Nasution, dan pembantunya Mohammad Yamin dan Roeslan Abdulgani. PARAN gagal, lalu muncul Operasi Budhi, bertujuan memidanakan para pelaku korupsi, juga gagal. Operasi Budhi berganti menjadi Komando Tertinggi Retoolong Aparatur Revolusi (KOTRAR) dipimpin langsung oleh Soekarno, lembaga inipun stagnan.
Awal Orde Baru, 1970, dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai jaksa agung. Keberadaan Tim ini diprotes para pelajar dan mahasiswa karena tidak serius dalam pemberantasan korupsi.
Selanjutnya dibentuklah Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh yang dinilai bersih, yairu Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo dan A. Tjokroaminoto, dimana tugasnya adalah membersihkan korupsi pada Departeman Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, namun hasil penemuannya tidak direspon pemerintah.
Waktu Soedomo bertindak sebagai Pangkopkamtib dibentuklah Opstib (Operasi Tertib), kebijakan in hanya melahirkan sinisme masyarakat, karena hanya menyisir koruptor kelas teri.
Era Reformasi, BJ Habibie mengeluarkan UU Nomoe 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari KKN serta pembentukan lembaga baru seperti KPKPN, KPPU, atau Ombudsman.
Gus Dur membentuk Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), namun tim ini harus bubar melalui peninjauan hukum Mahkamah Agung. TGPTPK ini awalnya memeriksa kasus korupsi konglomerat Sofyan Wanandi yang dihentikan kasusnya (SP3) oleh Jaksa Agung, Marzuki Darusman.
Di tengah maraknya kemerosotan penegakan hukum, ditenggarai dengan banyaknya para koruptor yang lari ke luar negeri termasuk kasus BLBI, pada jaman Megawati lahirlah KPK pada Desember 2003, berdasarkan UU Nomor 30/2002 (disarikan dari Lestari Moerdijat, 17 Desember 2019).
Sejarah panjang penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia memang sangat sulit, karena melibatkan semua lapisan. Hamdani Muluk (2 Mei 2008) menulis ada tiga factor penyebab terjadinya korupsi; negara yang sudah rusak, dimana sistim hukum, politik, pengawasan, control sudah rusak. Kedua pengaruh sistim koruptif ditingkat meso (departemen/ lembaga-lembaga yang ada, dan yang ketiga adalah kepribadian, baik dari pejabat dan masyarakat umum.
Entah akan bertransformasi apa lagi Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Sunan Kalijaga telah mengingatkan bahwa untuk membersihkan negara, masyarakat itu yang paling penting adalah bocah angon, siapa saja boleh menjadi bocah angon, yang penting adalah tekadnya yang sangat kuat meraih belimbing yang berupa bintang, yang melambangkan spiritual.
Siapa saja harus mempunyai spiritual yang tinggi, yang bekerja dengan spiritual yang tinggi, baru bisa membersihkan kotoran-kotoran di baju kita, di masyarakat dan Negara yang kita cintai.
*) Nanang Sumanang, Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina