Dalam usianya yang menginjak 74 tahun, sejarawan Anhar Gongong tampak
sehat, ceria, dan bersemangat berkisah tentang pengalaman pribadinya di
masa lalu, juga bergairah menuturkan analisisnya tentang situasi masa
kini.
Sejarawan selalu punya bahan untuk mengukur kualitas pemimpin
dalam rentang perjalanan bangsa. Pengetahuannya tentang orang-orang
besar di masa silam menjadi peranti pengetahuan pembanding.
Bagi sejarawan yang memperdalam ilmunya di Universitas Leiden,
Belanda itu, pemimpin bangsa yang pemikir sekaligus penulis saat ini
boleh dibilang sudah sangat langka kalau bukan tidak ada.
Banyaknya para petinggi penyelenggara negara, politisi yang terjerat
korupsi yang menjadi fenomena mutakhir membuat pria kelahiran Pinrang,
Sulawesi Selatan, itu berkesimpulan bahwa saat ini tidak ada lagi
pemimpin.
Pemimpin yang intelektual, yang membaca, apalagi sekelas Mohammad
Hatta yang bukan saja pakar ekonomi tapi juga menyelami pengetahuan
filsafat boleh dikata sulit ditemukan saat ini.
Pemimpin yang lahir di era pascareformasi yang mendekati ideal
Anhar, yakni pemimpin yang visioner, pemikir dan penulis hanyalah Gus
Dur.
Anhar menyadari bahwa semangat zaman yang berbeda melahirkan tipe
pemimpin yang berbeda pula. Namun, ketika menyangkut etika, integritas,
ktiteria untuk menilai seorang pemimpin tak bisa dikompromikan dengan
semangat zaman.
Menyaksikan banyaknya politisi yang terjerat skandal korupsi
saat ini, Anhar yang menjadi pejabat di lingkungan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan sebagai Direktur Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional di era Menteri Wardiman Djojonegoro itu masih punya
optimisme terhadap generasi mendatang, dengan catatan dunia pendidikan
terkelola dengan benar.
Sayangnya, katanya, persoalan pendidikan di Tanah Air belum
tertangani secara membesarkan hati apalagi memuaskan. Cara sederhana
untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang bermutu bisa dilakukan
dengan mengadopsi sistem pendidikan terbaik di dunia, misalnya merujuk
ke Finlandia, lalu dilakukan beberapa penyesuaian untuk konteks
Indonesia.
Meskipun studi banding ke negara-negara Skandinavia pernah
dilakukan, hasilnya tak maksimal karena banyaknya kepentingan yang
terlibat dalam praksis pendidikan.
Pendidikan adalah faktor penyelamat generasi mendatang. Mau
melahirkan pemimpin yang tak korup, warga yang demokratis bisa dibangun
lewat pendidikan.
Prihatin
Anhar prihatin menyaksikan kualitas warga dalam praktik
berdemokrasi yang diejahwantakan dalam unjuk rasa. Contoh mutakhir
adalah demo yang digelar di sekitar tempat berlangsungnya sebuah kasus
hukum disidangkan.
Pengerahan massa di saat perkara hukum
disidangkan jelas tak memberikan ruang kemerdekaan bagi hakim untuk
mengambil keputusan tanpa dihantui perasaan tertekan atau terintimidasi.
Hal-hal seperti ini bisa diselesaikan di bangku pendidikan.
Menguatnya politik identitas yang menggejala dalam wajah
perpolitikan di Tanah Air belakangan ini juga dipandang Anhar sebagai
persoalan yang perlu segera diatasi, terutama oleh kalangan politisi.
Dalam konteks historis, politik identitas kesukuan itu pernah
berjangkit di daerah-daerah akibat perasaan orang daerah yang
dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Pembangunan hanya dilakukan di
pusat sementara daerah ditinggalkan. Dalam situasi demikian, tak
terelakkan lah terjadinya pergolakan untuk memisahkan diri dari pusat.
Sebagai intelektual yang peduli dengan kebenaran historis, Anhar
tak bisa diam ketika ada upaya yang mencoba menetapkan hari lahir
Pancasila pada 1 Juni 1945 dengan merujuk pada tanggal pidato Soekarno
di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.
Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, menurut Anhar,
oke-oke saja. Namun itu harus dimaknai sebagai Pancasila yang masih
merupakan sebuah konsep dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara
yang susunannya tertera sebagaimana di Konstitusi, mau tak mau harus
diakui baru lahir pada 18 Agustus 1945.
Selain memperlihatkan kepeduliannya pada akurasi momen-momen
sejarah yang tak boleh dimain-mainkan, Anhar juga menekankan pentingnya
memiliki pemahaman alias persepsi yang benar tentang makna dalam
diskursus perpolitikan. Sebagai contoh, sampai sekarang banyak orang
yang tak paham tentang makna kiri, yang diberi konotasi atau stigma
negatif.
Mereka yang antikemapanan di zaman revolusi menentang kolonialisme
adalah orang-orang kiri. Hatta, Soekarno, dalam pemaknaan itu, adalah
kaum kiri. Mereka yang berideologi sosialis, yang diperhadapkan dengan
kapitalis, adalah kaum yang mengimpikan kesejahteraan untuk rakyat.
Sisa-sisa cara berpikir dalam paradigma Orde Baru yang memberi cap
negatif pada gerakan yang berideologi sosialis atau kiri agaknya masih
diidap banyak orang saat ini.
Ada satu frasa dalam narasi kenegaraan yang sampai sekarang
dirasakan sebagai misteri bagi Anhar, yang mendapat tempaan intelektual
dari sejarawan terkemuka sekaligus pembimbing mahasiswa yang killer Sartono Kartodirdjo itu.
Frasa itu adalah "masyarakat yang adil dan makmur", yang menjadi
cita-cita bangsa sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945.
Anhar merasa belum ada rumusan yang memuaskan dalam menjelaskan apa arti frasa itu.
Frasa yang dirasakan sebagai enigma oleh Anhar itu telah berulang
kali dijadikan bahan kajian sejumlah mahasiswa dengan berusaha menemukan
rujukan di negara-negara yang pantas disebut mencapai tahap adil dan
makmur.
Salah satu di antaranya mengajukan proposisi bahwa negara yang
mencapai kemakmuran (tentu saja secara material) dan diikuti oleh
tingkat kemakmuran para warganya seperti Kanada adalah refleksi negara
yang adil dan makmur. Jika rumusan itu diajukan kepada Anhar, sangat
mungkin dia akan bertanya: benarkah kemakmuran itu juga diikuti
keadilan?
Tampaknya, justru perkara keadilan itulah yang lebih sulit untuk diuraikan, apalagi diwujudkan.