Keberadaan burung kacer langka di Abdya

id kacer, burung, langka, hampir punah, Aceh Barat Daya

Keberadaan burung kacer langka di Abdya

Ilustrasi- burung kacer (Ist)

Blangpidie, Aceh (ANTARA Sumsel) - Keberadaan burung Kacer (Copsychus saularis) di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) belakangan ini sudah mulai langka, sehingga masyarakat perdesaan sudah jarang mendengarkan suara kicauan merdu yang bersahut-sahutan di pagi hari.

"Tidak terdengar lagi suara kicauan burung Kacer di pagi hari yang sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.  Hal Ini tidak terlepas akibat penangkapan berlebihan," kata Lismadi (35), warga Desa Jumpa, Kecamatan Jeumpa Abdya di Blangpidie, Rabu..

Burung Kacer atau lebih dikenal dengan sebutan Kacaci Kampung (bahasa Aceh, ticem pala) yang disebut Lismadi adalah burung berwarna hitam putih dengan ekor panjang terangkat ke atas jika sedang mencari makan di atas tanah dan burung itu termasuk kelompok keluarga Murai batu.

Lismadi melanjutkan, penangkapan secara berlebihan di alam terbuka dilakukan semenjak harga burung Kacer mahal dibeli oleh agen ataupun penampung untuk peliharaan dan bahkan tidak sedikit diangkut ke Sumater Utara untuk diperjual-belikan.  

"Di kota Blangpidie (ibukota Abdya) saja harga jualnya sudah mencapai Rp230 ribu/ekor untuk Kacer yang belum makan umpan toko. Kalau yang sudah makan pakan pabrik, harganya tinggi lagi mencapai  Rp300 ribu/ekor," ungkapnya.

Ia berkata, selama harga burung Kacer mahal, tidak sedikit masyarakat petani di desa-desa beralih profesi menangkap burung di kawasan hutan dan di kebun-kebun untuk dijual ke pasar ,sehinga keberadaan burung di perdesaan menjadi langka.

"Dulu, burung ini ada dimana-mana. Di lingkungan penduduk banyak kita temui burung jenis ini terutama di pohon-pohon pala. Makanya orang Aceh memberi nama ticem pala, karena dia suka terbang-terbang di atas pohon pala," ujarnya.


Hal serupa juga disampaikan Hasyim Umar warga Desa Tokoh II Kecamatan Lembah Sabil. Kata dia, burung jenis tersebut kini sudah sangat langka, bahkan tidak terlihat lagi di kawasan permukiman dan di hutan-hutan.

"Kalau sekarang ini ingin kita melihat burung jenis Murai itu di pasar-pasar banyak atau di rumah-rumah warga yang memelihara dalam sangkar. Kalau di alam bebas di kawasan desa-desa tidak ada lagi, sudah langka," ujarnya.  

Umar menceritakan, dulu, ketika pagi hari tiba geliat alam desa sangat terasa diawali dengan berkokoknya ayam jago kemudian  disusul kicauan Kacer yang merdu dan riuh bersahut-sahutan seolah-olah membawa kabar gembira pagi hari sudah tiba.

"Sekitar sepuluh tahun lalu, suara riuh burung Kacer ini masih terdengar bersahut-sahutan dipagi hari. Jadi, kalau kini sudah sepi di desa-desa, karena Kacer di alam bebas tidak ada lagi. Kalau ada sudah langka mendengarnya," tuturnya.

Menurut dia, terjadinya kelangkaan burung di desa-desa dalam Kabupaten Abdya, khususnya dan umumnya Indonesia dikarenakan populasinya semakin hari terus berkurang akibat maraknya penangkapan liar.

"Jika pemerintah membiarkan aksi penangkapan burung ini terus berlanjut, dikhawatirkan selama 10 atau 20 tahun ke depan. Burung jenis Kacer ini populasinya terancam punah di kawasan hutan belantara Aceh," tuturnya.  

Ia berharap, Pemerintah agar bersedia membuat sebuah aturan tentang larangan penangkapan burung tersebut, supaya kedepan semua jenis burung bisa berkembang biak kembali tanpa gangguan manusia.

"Saya selaku masyarakat desa juga berharap para aktifis LSM yang peduli terhadap lingkungan agar mau turun tangan. Jangan orangutan saja yang dilindungi, tapi semua jenis burung perlu juga diselamatkan dari ancaman kepunahan," harapnya.

Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Daya Alam (BKSDA) Wilayah II,  Hadi Sofyan saat ditanya mengakui populasi burung jenis Murai batu peredaraannya sudah mulai langka di kawasan Aceh bagian selatan karena banyaknya peminat untuk dipelihara.

"Semua jenis burung Murai itu belum termasuk hewan yang dilindungi sebagaimana dalam peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999, makanya peredaraanya sudah kurang karena banyaknya peminat," ujarnya.

Ia berkata, meskipun burung tersebut belum dilindungi oleh pemerintah, namun upaya perlindungan terus dilakukan oleh BKSDA dengan cara sosialisasi dan meminta Pemerintah daerah masing-masing untuk membuat qanun (Perda) larangan tangkap burung, supaya populasinya burung jenis itu tetap terjaga sepanjang masa.

"Upaya lain, kita juga melakukan pembatasi kuota pengiriman luar daerah dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekaligus menyampaikan nama-nama hewan yang dilarang penangkapan oleh undang-undang," katanya.