Ketika becak motor semakin menggiurkan

id becak, becak motor, bentor, becak motor makin menggiurkan

Ketika becak motor semakin menggiurkan

Becak motor atau Bentor kian banyak beroperasi di Kota Palembang (Foto Antarasumsel.com/Dolly Rosana)

....Bentor untuk yang muda-muda saja, saya yang sudah tua begini takut nanti terbalik. Tersenggol sedikit saja sudah oleng, nanti penumpang celaka....

Lima belas tahun mengayuh becak tak lantas membuat Muhammad Sani (63) kepincut pada becak motor 'bentor'.

Alat transportasi ini dalam dua tahun terakhir begitu marak di Kota Palembang. Masyarakat pun mulai terbiasa memanfaatkannya karena lebih cepat, hemat, serta mampu menuju tempat yang jalannya terbilang sempit.

Meski mulai tersisih, Sani tetap tidak bergeming dan memilih mempertahankan keaslian becak kepunyaannya itu (bukan sewa), yang telah dipelihara secara telaten sejak pertengahan tahun 90-an.

Kondisi fisik yang mulai rentah, menjadi alasannya tidak memodifikasi becak kayuh menjadi bentor. Pria bertumbuh ramping ini semata-mata tidak mau mengambil risiko mengingat mengendarai bentor harus gesit karena
didukung tenaga mesin berbahan bakar bensin. Menurutnya, kelincahan itu tak berbeda jauh dengan bentor jenis lain, yang menggunakan mesin "parutan kelapa".

"Bentor untuk yang muda-muda saja, saya yang sudah tua begini takut nanti terbalik. Tersenggol sedikit saja sudah oleng, nanti penumpang celaka," kata Sani yang dijumpai saat menunggu langganan di kawasan Pasar
Perumnas Palembang, Minggu.

Ayah tiga putra ini pun memutuskan enggan mengikuti jejak teman-temannya, mesti anak sulung yang berprofesi sebagai kernet bus kota bersedia membelikan satu unit motor bekas produk China. Meski memahami

Keinginan sang anak dilatari rasa iba, namun niat baik itu terpaksa ditolak karena enggan mengambil risiko.
Menurutnya, becak didesain untuk dikayuh saat dijalankan, sementara motor digunakan untuk mengangkat penumpang pada bagian belakang atau bukan digandengkan setelah dimodifikasi menjadi bentor.
"Jika dipaksakan maka akan membahayakan penumpang dan pengendara.Yang sering terjadi, bentor terbalik, atau batang penyangga becak yang menghubungkan ke motor menjadi patah karena tidak mampu manahan berat," katanya.

Mengenai pendapatan, bagi pria paruh baya ini, bukan masalah utama. Asal cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sudah berkah luar biasa.

Setiap hari, ia mengantongi pendapatan bersih berkisar antara Rp40.000 hingga Rp50.000, ia bekerja dari pukul 08.00 hingga 17.00 WIB. Penghasilan itu terbilang cukup memenuhi kebutuhan istri dan tiga putranya yang hidup dalam kesederhanaan.

"Hingga kini tempat tinggal masih mengontrak, dan anak-anak sebatas menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMA. Hidup saya dan keluarga sangat prihatin, becak pun sudah sangat tua. Mungkin, kelihatan masih baik karena
sering dicat ulang dan dibersihkan saja," katanya.

Pendapatan relatif sama
Berbeda dengan Sani, MP Tobing (34), pengendara bentor di Pasar Perumnas mengatakan telah meninggalkan becak kayuh sejak dua tahun lalu.

Alasannya, bentor tidak terlalu menguras tenaga sehingga bisa melakukan aktivitas lain dalam upaya menambah penghasilan keluarga.

Tobing membagi waktu kesehariannya yakni sebagai pengendara bentor dari pagi hingga siang hari, dan pedagang sandal di pasar hingga sore hari.

Karena memiliki waktu luang lebih banyak, ia pun kerap diajak berdemonstrasi oleh organisasi masyarakat atau LSM yang membutuhkan massa untuk turun ke jalan.

"Sebenarnya dari segi pendapatan hampir sama saja dengan becak kayuh berkisar Rp50.000 hingga Rp60.000 perhari, bedanya hanya badan tidak terlalu capek. Saya pun bisa berkeliling mencari penumpang seperti layaknya
ojek tanpa harus kelelahan, jika mengayuh becak tentunya tidak bisa karena tenaga terporsir," ujarnya.

Menurut pria asal Sumatera Utara ini, pendapatan becak kayuh dan bentor itu relatif sama karena para penumpang memiliki keinginan beragam.

Sebagian masih khawatir menggunakan bentor, dan lainnya justru tidak tertarik dengan becak kayuh karena memburu waktu.

"Jika becak kayuh setelah menarik penumpang dua atau tiga kali harus beristirahat dulu, berbeda dengan mengendarai bentor yang masih bisa berkeliling cari penumpang lagi," ujar ayah dua putra ini.

Ia mengatakan, sejak dua tahun terakhir, jumlah bentor semakin bertambah di kawasan itu dengan perbandingan 70 dan 30 persen karena banyak kemudahan yang ditawarkan.

Sebagian besar pengayuh becak memodifikasi dengan motor bekas atau motor yang pajaknya sudah 'mati' semisal keluaran tahun 90-an.

Harganya pun bervariasi, untuk motor bekas bermerek China seharga Rp1 juta-Rp1,5 juta per unit, sementara motor "mati pajak" berkisar Rp2 juta-Rp3 juta per unit. Sementara untuk becak seharga Rp3 juta per unit untuk kondisi baru, dan Rp800.000 hingga Rp1,2 juta untuk bekas pakai.

Biaya pemeliharaan bentor sendiri hanya untuk ganti oli berkisar Rp30.000 dan membeli bensin dua liter seharga Rp9.000 untuk dua hari pemakaian.

Takut ditilang
Dalam mengais rejeki, sebagian besar pengendara bentor khawatir ditilang aparat kepolisian atau petugas dari Dinas Perhubungan Kota karena motor yang digunakan berstatus "mati pajak".

Selain itu, sebagian telah mengetahui, pada prinsipnya pemerintah setempat melarang beroperasi sesuai aturan dalam PP 55/2012 tentang kendaraan yang menyebutkan sepeda motor hanya digunakan seorang pengemudi dan seorang penumpang.

Menurut Sarkowi (63), pengendara bentor lainnya, jika memiliki SIM atau STNK maka masih relatif aman di mata aparat, asal tidak menyalahi aturan seperti melanggar lampu merah atau memasuki kawasan jalan protokol.

Ia tidak menampik pada keadaan lain, justru petugas "menutup mata" jika bentor melintas.

"Biasanya bentor akan dikandangkan polisi, jika mau diambil kembali setidaknya mengeluarkan uang sekitar Rp500.000. Itulah yang menyebabkan pengendara bentor memilih beroperasi di kawasan perumahan atau pasar, dan tidak sampai masuk ke jalan utama untuk menghindari aparat," katanya.

Ia menyatakan, pemerintah belum membuat aturan yang jelas mengenai bentor.

"Hingga kini, tidak diketahui dengan jelas apakah bentor itu diizinkan atau tidak. Jika dilarang, mengapa di pinggiran kota malah bertambah jumlahnya dan dibiarkan saja," ujarnya.

Keluhan mengenai belum adanya aturan yang jelas itu juga diungkapkan Pali (45) yang mengatakan telah ditilang sebanyak dua kali sejak mengoperasikan bentor.

"Pertama kali ditilang karena masuk kawasan Jalan Sudirman, dan yang kedua karena tidak memiliki STNK. Bentor sempat dikandangkan, dan baru diambil satu bulan kemudian setelah memiliki uang," katanya.

Akan tetapi, menurutnya, dalam berbagai kesempatan, para pejabat pemerintah kota dan daerah menyatakan akan mengupayakan bentor mendapatkan izin beroperasi, namun hingga kini belum terealisasi.

"Menjelang Pilkada ini sudah banyak yang menjanjikan, kami pun senang jika ada yang memikirkan. Pada prinsipnya para pengendara bentor ini siap mengikuti aturan seperti memakai helm dan menggunakan motor yang aktif membayar pajak," ujarnya.

Sementara, Kepala Dinas Perhubungan Kota Palembang Masripin mengatakan motor modifikasi yang dikenal dengan nama bentor itu dilarang beroperasi karena menyalahi aturan dalam PP 55/2012.

"Aspek keselamatan penumpang harus dipikirkan untuk meminimalisir tingkat kecelakaan lalu lintas lintas. Izin bentor sendiri tidak pernah dikeluarkan dan dipastikan yang beroperasi ini ilegal karena tidak memiliki
trayek," katanya.

Bentor saat ini telah menjamur dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Penegakan hukum yang tegas harus dilakukan karena keselamatan penumpang merupakan faktor utama.

Jika dibiarkan, bisa jadi akan semakin banyak pengayuh becak yang beralih ke bentor seiring dengan murahnya harga kendaraan roda dua. (Dolly)

Pewarta :
Editor: Indra Gultom
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.