Selain dapat mengukur tingkat kematangan buah kelapa sawit yang masih berada di pohonnya termasuk membaca kualitas rendemen atau kualitas minyak hingga kandungan asam lemak bebas, alat ini sekaligus dilengkapi geotagging atau titik koordinat penggunaan alat.
Tidak hanya itu, sensor pengukur tingkat kematangan buah sawit ini juga bisa digunakan pabrik kelapa sawit dan petani untuk menghitung rata-rata produksi bulanan dan tahunan termasuk estimasi penggunaan pupuk.
Dari penelitian yang dilakukan Makky, rata-rata satu batang sawit setidaknya membutuhkan empat kilogram pupuk per tahunnya. Sayangnya di lapangan, dalam hal pemberian pupuk, belum semua orang dapat memberikan dalam takaran yang tepat. Alhasil, terdapat pohon sawit yang kekurangan atau kelebihan takaran pupuk dari seharusnya.
"Dengan menggunakan alat ini petani atau perusahaan sawit akan lebih mudah mengetahui takaran dosis yang tepat karena bisa berpatokan pada catatan atau historinya," kata dia.
Dengan tingkat akurasi rata-rata 90 persen, UNAND kini berhasil memproduksi lebih dari 100 unit sensor atau alat pengukur tingkat kematangan buah kelapa sawit. Selain di Ranah Minang, inovasi masa depan ini juga sudah digunakan di beberapa perusahaan besar di provinsi lain.
Bahkan, UNAND saat ini sedang menjajaki kerja sama dengan salah satu investor asal Swiss yang tertarik menggunakan alat tersebut di Eropa. Tidak hanya itu, investor asal Singapura juga menyatakan ketertarikan atas inovasi anak negeri tersebut.
Inovasi anak bangsa ini diharapkan menjadi sebuah harapan baru agar hilirisasi kelapa sawit di Indonesia lebih berkembang pesat di tengah ketidakpastian global.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sensor ukur kematangan buah sawit untuk masa depan petani
