Selain itu, lanjut Nabilla, batu bara yang diproduksi oleh Indonesia mayoritas berkalori rendah, sedangkan yang saat ini dicari oleh China dan India adalah batu bara dengan kalori tinggi.
“Jadi, ada pergeseran di pasar global batu bara. Bisa dibayangkan saat ini permintaannya lemah, dengan ketersediaan (batu bara) yang naik, maka harga batu bara diprediksi turun,” tutur Nabilla.
Nabilla menilai turunnya harga batu bara menunjukkan sektor tersebut menjadi sektor dengan risiko yang tinggi. Terlebih, saat ini terjadi pergeseran sentimen investor dan negara-negara yang mulai mengadopsi kebijakan net zero, sehingga batu bara menjadi industri sunset.
“Itu adalah contoh-contoh bagaimana risiko transisi energi itu sungguhan dan sudah terjadi di tahun ini,” kata dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu bara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho memaparkan realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) pada kuartal I tahun 2025 tercatat menurun 7,42 persen secara tahunan, menjadi Rp23,7 triliun.
Penurunan ini utamanya dipicu oleh melemahnya harga komoditas batu bara. Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan target PNBP minerba tahun 2025 sebesar Rp124,5 triliun, yang lebih rendah dibandingkan capaian kumulatif tahun sebelumnya yang mencapai sekitar Rp142 triliun.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Harga batu bara diprediksi turun hingga 2026
Harga batu bara diprediksi turun hingga 2026
Peneliti Laporan Bersihkan Bankmu Nabilla Gunawan dalam acara bertajuk, “Mendanai Krisis Iklim: Bagaimana Perbankan di Indonesia Mendukung Pembiayaan Batu Bara” di Jakarta, Kamis (31/7/2025). (ANTARA/Putu Indah Savitri)
