Pekerjaan rumah Indonesia-Malaysia di pengujung 2024

id bilateral RI-Malaysia,PMI nonprosedural,Malaysia,imigrasi,PMI

Pekerjaan rumah Indonesia-Malaysia di pengujung 2024

Sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang dideportasi dari Malaysia mendengarkan pengarahan dari petugas di Terminal Penumpang Pelabuhan Pelindo Dumai, Riau, Sabtu (15/6/2024). Sebanyak 128 PMI, termasuk seorang di antaranya wanita hamil dan seorang anak, dideportasi dari Malaysia ke Tanah Air lewat Pelabuhan Dumai dan selanjutnya menjalani pendataan di Pos Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P4MI) di daerah itu sebelum dipulangkan ke daerah asalnya. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/nym.

Kuala Lumpur (ANTARA) - Terdapat sejumlah pekerjaan rumah (PR) dalam hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia hingga di pengujung 2024.

Dari isu yang berkaitan dengan pekerja migran hingga garis batas dua negara, masih menjadi PR, yang perlu diselesaikan oleh dua negara bertetangga ini.

Dalam hal pekerja migran, yang kentara adalah masih adanya warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja secara nonprosedural di Malaysia.

Dari perkiraan puluhan ribu WNI yang dideportasi sepanjang 2024, berdasarkan hasil wawancara ANTARA dengan sejumlah pekerja migran Indonesia (PMI), masih ada saja dari mereka yang masuk sebagai turis, namun sebetulnya bekerja di Malaysia.

Ada pula yang masuk melalui jalur ilegal, menyeberangi Selat Malaka dengan perahu kayu ke Malaysia. Atau, jalur-jalur tidak resmi di Kalimantan.

Ada pula yang mengaku secara sadar menempuh jalan itu dan mengambil segala risikonya, termasuk akhirnya tertangkap aparat Malaysia dan kemudian diproses hukum, harus merasakan berbulan-bulan mendekam di “hotel prodeo”, lalu dideportasi.

Namun ada pula yang mengaku tertipu oleh oknum-oknum agen penempatan tenaga kerja, seperti Sanjaya Ariopan (24) asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang sempat bekerja di ladang sawit. Gaji yang diterima tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan pada awal penempatan kerja.

Tanpa berpikir panjang, kemudian ramai-ramai malah kabur dari tempat kerja, tidak membawa paspor dan dokumen kerja lainnya. Seketika itu pula ia dan rekan-rekannya berstatus ilegal dan justru memperumit hidup mereka di negeri orang.

Sanjaya mengaku takut dan was-was untuk pergi keluar lokasi kerjanya yang baru setelah berubah status menjadi pekerja migran nonprosedural. Karena khawatir akan diamankan oleh aparat setempat, akhirnya ketakutan yang terjadi.

Pada akhirnya, masih adanya pekerja migran nonprosedural itu justru membuat Sistem Penempatan Satu Kanal (One Channel System) yang telah disepakati Indonesia dan Malaysia, yang satu-satunya kanal legal untuk mekanisme perekrutan dan penempatan tenaga kerja Indonesia sektor domestik ke Malaysia yang sudah berjalan sejak 1 September 2022, menjadi tidak bisa optimal memberikan pelindungan bagi pekerja migran Indonesia.

Pekerja migran Indonesia nonprosedural tentu menjadi rentan, tidak memiliki posisi tawar ketika menghadapi persoalan di tempat kerja, mulai dari tidak menerima gaji hingga mendapatkan kekerasan fisik. Terlebih lagi jika harus menghadapi proses hukum yang panjang.

Perdana Menteri Anwar Ibrahim usai menerima Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan memberikan jaminan bahwa Malaysia tetap berkomitmen meningkatkan pelindungan hak asasi dan kesejahteraan lebih dari 500.000 pekerja migran Indonesia di negaranya.