Jakarta (ANTARA) - Visi besar pasangan Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk memperkuat pertahanan dan keamanan negara menjadi salah satu fokus utama dalam program kepemimpinannya. Pada poin ke-9 dari visi misi mereka, tercermin komitmen untuk membangun Indonesia yang lebih tangguh dan mandiri di tengah dinamika global yang terus berubah.
Tantangan yang dihadapi tidak hanya berkaitan dengan kesiapan militer, tetapi juga melibatkan isu-isu strategis lainnya seperti keamanan siber, diplomasi internasional, dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi serta geopolitik.
Untuk merealisasikan visi tersebut, diperlukan langkah-langkah prioritas dan pemenuhan sejumlah prasyarat demi memastikan keberhasilannya.
Penguatan pertahanan dan keamanan Indonesia dihadapkan pada beberapa tantangan utama. Pertama, keterbatasan anggaran pertahanan sering kali menjadi batu sandungan, terutama karena kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur turut membutuhkan perhatian besar. Ini menuntut adanya efisiensi dan strategi penggunaan anggaran yang lebih baik serta tepat sasaran.
Namun, Prabowo-Gibran berkomitmen untuk menaikkan anggaran pertahanan secara bertahap sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan militer Indonesia. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat program-program peningkatan kemampuan militer dan pengadaan alutsista yang lebih canggih.
Selain itu, ancaman siber semakin kompleks, tidak hanya mengincar sektor militer tetapi juga sektor sipil, termasuk sistem keuangan dan energi. Tantangan ini mengharuskan pengembangan sistem keamanan siber yang tangguh dan peningkatan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang tersebut. Tanpa kesiapan yang memadai, serangan siber dapat berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi penting negara.
Di ranah hubungan internasional, dinamika geopolitik global memerlukan perhatian khusus. Perubahan cepat di arena politik dunia memaksa Indonesia untuk tetap waspada dalam menjaga keseimbangan hubungan dengan berbagai negara, terutama di kawasan ASEAN. Diplomasi yang kurang cermat dapat memengaruhi stabilitas serta kepentingan nasional, sehingga penting bagi pemerintahan baru untuk menavigasi hubungan internasional dengan bijaksana.
Terakhir, ketergantungan pada peralatan militer impor masih menjadi masalah yang signifikan. Banyaknya alutsista yang diimpor menimbulkan tantangan terkait biaya, ketersediaan suku cadang, serta transfer teknologi. Ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang rentan jika terjadi pembatasan akses atau perubahan kebijakan dari negara-negara produsen alutsista.