Jakarta (ANTARA) - Ahli Cetacea dari James Cook University, Australia, Putu Liza Kusuma Mustika menjelaskan fenomena terdamparnya puluhan paus pemandu sirip pendek (short-finned pilot whale) di pesisir Pureman, Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa waktu yang lalu.
Icha, sapaan akrabnya, dalam kegiatan diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu, mengatakan paus merupakan mamalia laut yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, seperti penggunaan sonar di bawah laut, pencemaran air, kontaminasi sampah laut, hingga badai matahari yang bisa menyebabkan gangguan elektromagnetik pada kutub-kutub bumi, di mana paus juga menggunakan sonar untuk sistem navigasinya.
"Menurunnya kualitas air juga dapat menurunkan imunitas paus, sedangkan semakin banyaknya sampah laut (terutama plastik) telah menyebabkan lebih banyak paus yang mati karena menelan sampah-sampah tersebut," katanya.
Icha memaparkan berbagai kasus terdamparnya paus di dunia, yang beberapa di antaranya disebabkan oleh sampah lautan, yang umumnya berbentuk plastik keras.
Plastik yang tertelan, kata dia, bisa merusak organ dalam paus, yang menyebabkan paus tidak bisa makan, dan bisa membuat paus kelaparan, kemudian mati dan terdampar.
"Bayangkan, ada paus berukuran 10 meter yang mati, dan ditemukan di dalamnya sebanyak 8 kilogram plastik," ungkapnya.