Limbah organik sebagai aset bagi ekonomi sirkular

id Maggot,jangkrik,Limbah organik,sampah,berita sumsel, berita palembang

Limbah organik sebagai aset bagi ekonomi sirkular

Pekerja melakukan proses budidaya maggot (larva lalat Black Soldier Fly) di Taman Safari Indonesia (TSI), Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kamis (3/8/2023). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/hp. (ARIF FIRMANSYAH/ARIF FIRMANSYAH)

Jakarta (ANTARA) - Upaya mewujudkan sistem ekonomi sirkular seringkali menemui kendala karena tidak semua sampah dapat didaur ulang dengan nilai ekonomi yang tinggi. Sampah plastik dapat didaur ulang menjadi bijih plastik kembali, demikian pula sampah kertas dapat diolah menjadi bubur kertas.

Sampah logam, bahkan dapat menjadi bijih besi kembali dengan nilai ekonomi tinggi. Ketiganya, kini tak lagi dipandang sebagai sampah, tetapi sebagai sumber bahan baku industri plastik, kertas, dan besi.

Namun, sampah organik seringkali tidak dilirik karena bernilai ekonomi rendah. Pengolahan sampah organik biasanya hanya berujung menjadi pupuk kompos yang harga jualnya rendah.

Sampah organik pun masih dianggap sebagai problem hingga saat ini. Pada lingkungan perkotaan yang padat, sampah organik memicu bau menyengat karena proses pembusukan yang membentuk air lindi.

Kondisi ini belum diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran yang memadai untuk mengolah potensi sampah organik rumah tangga. Di kawasan perkotaan, limbah organik berasal dari rumah tangga, mall atau pusat perbelanjaan, pasar tradisional, rumah makan, dan perkantoran.

Setiap hari sebuah mall di Bandung, misalnya, menghasilkan sampah sebanyak 5 ton, dengan komposisi 90 persen di antaranya berupa sampah organik yang tidak dilirik perusahaan pengolah sampah. Itulah sebabnya sampah organik mendominasi timbulan sampah yang menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

Di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) terdapat TPA Rawa Kucing di Kota Tangerang yang rata-rata menampung sampah 1.600-2.000 ton per hari.

Demikian pula TPA Cipayung, Depok, menerima 1.100 ton per hari. Sementara TPA Galuga 2.800 ton per hari. Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, menerima sekitar 6.500 hingga 7.000 ton sampah per hari, sehingga menjadi TPA yang terbesar kapasitasnya.

Sampah yang dikirim ke TPA ini belum semuanya dipilah antara sampah organik dan nonorganik. Lazimnya proporsi sampah organik di semua TPA itu mencapai 80-90 persen.

Bayangkan, jika komponen organiknya bisa dikonversi menjadi produk yang memiliki nilai tambah bagi petani dan peternak. Tentunya ini merupakan potensi yang luar biasa.

Biokonversi limbah rumah tangga menjadi media untuk produksi pakan alternatif, seperti maggot dan jangkrik, dapat menjadi solusi untuk mengurangi sampah organik. Keduanya menjadi pakan alternatif untuk pets, ternak, maupun ikan hias.