Palembang (ANTARA) - Setiap tanggal 17 Agustus menjadi hari penting nan bersejarah bagi warga Republik Indonesia (RI), setelah Presiden Ir. Soekarno yang dimotori kalangan pemuda mengumumkan kepada dunia bahwa bangsa ini telah merdeka atas penjajahan masa kolonialisme 77 tahun silam.
Sejak saat itu setiap lapisan masyarakat, khususnya pemuda di seluruh pelosok republik ini merefleksikan perjuangan para pahlawan bangsa merebut kemerdekaan dari penjajah ke dalam ragam kegiatan seperti perlombaan.
Sebagian besar perlombaan tersebut tentunya bersifat menyenangkan dan menghibur untuk memperkokoh rasa kesatuan sebagai bangsa Indonesia yang merdeka.
Perlombaan itu di antaranya meliputi olahraga tradisional masyarakat seperti balap karung, makan kerupuk, panjat pinang, bakiak tarik tambang atau hobi seperti menyanyi, memasak hingga peragaan busana.
Namun, seiring perjalanan waktu masyarakat mulai berinovasi dengan menyelenggarakan perlombaan dengan konsep dan ide dari yang kental dengan nuansa tradisional menjadi lebih modern memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi masa kini.
Seperti halnya yang dilakukan oleh kalangan pemuda dari sebuah Komunitas Gimmick Creative di Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Mereka berinovasi menyelenggarakan lomba meracik minuman kopi yang memadukan konsep ide bernuansa tradisional dengan kekinian itu untuk merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-77 tahun di Bumi Sriwijaya.
Ketua Komunitas Gimmick Creative Palembang Tasim di Palembang, Rabu (17/8), mengatakan mereka merupakan perkumpulan mahasiswa dan berprofesi sebagai Konten Kreator yang tengah berkecimpung di bidang literasi sejarah kebudayaan dan tradisi nusantara.
Menurut mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sriwijaya berusia 22 tahun itu, berdasarkan literasi yang mereka dapatkan dari kalangan sejarawan di kota ini kopi salah satu minuman tradisi pemersatu bangsa.
“Kopi masuk Indonesia sekitar tahun 1646 dibawa kolonial Belanda, menjadi minuman yang disajikan setiap pembahasan kenegaraan oleh pendiri bangsa ini, menurut sejarah yang kami dapatkan salah satunya kopi disajikan dalam perundingan perjanjian Linggarjati dulu,” kata dia.
Ia menyebutkan, terlepas dari sejarah itu, sekarang minum kopi bukan sekadar memenuhi kebutuhan pangan semata yang didapat saat berkunjung dari rumah ke rumah, melainkan telah menjadi tren tersendiri seiring menjamurnya kedai kopi di Kota Palembang.
Namun, kata dia, dibalik tren tersebut ternyata masih sedikit ruang yang disediakan untuk meliterasi para Barista kopi di Palembang sehingga mereka memiliki kemahiran dalam menciptakan ragam olahan kopi dengan cita rasa khasnya.
Maka dengan latar belakang tersebut Komunitas Gimmick Creative Palembang berinisiatif menyelenggarakan lomba meracik minuman kopi bertepatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-77 tahun.
Tasim menjelaskan, lomba meracik kopi HUT Kemerdekaan RI tersebut merupakan inovasi pertama yang mereka selenggarakan bekerjasama dengan produsen kopi lokal Sumatera Selatan dan industri peralatan kopi lokal Indonesia.
Barista kopi Palembang
Pada kesempatan itu ada sebanyak 16 orang Barista kopi dari sejumlah kedai di Palembang menjadi peserta lomba dengan judul “SATANG” atau akronim dari atau Saling Tantang yang berlangsung di Kedai Kopi Lawas, Jalan Dwikora Palembang itu.
Diberi judul SATANG karena, lanjutnya, dalam perlombaan tersebut setiap Barista saling bertanding dengan menerapkan sistem gugur, mereka yang menurut dewan juri berhasil mengeluarkan cita rasa khas dari racikan kopi racikan mereka dengan cara diseduh V60 berhak mendapatkan piala bergilir.
“Lomba ini ajang untuk meningkatkan literasi Barista kopi Palembang, memperkenalkannya dengan sejarah, sekaligus memperkenalkan biji kopi Robusta dan Arabika hasil bumi Kabupaten OKU Selatan, Lahat dan Muara Enim yang menjadi bahan baku utamanya,” kata dia, yang juga Barista Kopi ini.
Ia menyebutkan dalam perlombaan tersebut setiap peserta wajib mengenakan pakaian adat nusantara, di antaranya seperti tanjak, songket dan batik, untuk mengajak para kalangan pemuda mencintai kriya Indonesia.
Kemudian, lanjutnya, perlombaan tersebut diproduksi secara profesional memadukan nilai estetika, literasi, dan kebudayaan kemudian disiarkan secara virtual di media sosial.
“Mudah-mudahan melalui perlombaan yang kami produksi secara mandiri ini perkopian Sumatera Selatan khususnya Kota Palembang bisa lebih maju,” tandasnya.
Seorang penikmat kopi Febie Goes (29) warga Jalan Talang Buruk, Sukarami, mengatakan pada umumnya kopi V60 dibuat dengan menggunakan bahan dasar biji kopi arabika bukan robusta.
Hal tersebut, kata dia, kenikmatan dalam secangkir kopi V60 tersebut terletak pada keasamannya yang hanya didapatkan dari biji kopi arabika.
“Kopi robusta lebih tepat bila diramu secara tubruk, karena rasanya cenderung kental pahit,” kata dia.
Ia menilai, keberhasilan seorang Barista dalam membuat kopi V60 Arabika itu diketahui, saat diminum kopi buatannya akan menimbulkan rasa 'sepet-sepet' buah dan mengeluarkan aroma harum.
Misal seperti biji kopi arabika dari Pagaralam yang dibuat V60 maka biasanya menimbulkan rasa sepet yang tipis buah strawberry di lidah dan aroma harum caramel.
“Selain bahan baku kopinya, tentuk teknik membuat kopi mulai dari penyeduhan air dan menggiling biji kopinya mempengaruhi cita rasa. Barista yang memiliki kedekatan dengan kopi bisa menghasilkan cita rasa itu kepada penikmatnya,” kata dia.
Dorongan pemerintah
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendorong setiap upaya masyarakat dalam rangka memajukan sektor pertanian, salah satunya komoditas kopi.
Ia berharap, dari upaya tersebut produk kopi lokal Sumatera Selatan mampu bersaing di pasar nasional karena memiliki keunggulan dari sisi rasa yang tak kalah dibandingkan produksi daerah lain Tanah Air.
Deru bahkan menyayangkan dari ratusan merek kopi yang menembus pasar nasional itu belum ada satu pun yang memakai nama kopi Sumsel.
“Kita (Sumsel) tidak pernah berpikir hilirisasi, karena selalu berpikir parsial saja yang penting produksi, ada yang beli,” kata Herman Deru.
Padahal seperti kopi asal Kota Pagaralam, Sumatera Selatan telah meraih pengakuan internasional atas citarasa uniknya dalam ajang kontes kopi dunia AVPA (Agency for the Valorization of the Agricultural Products) Gourmet Product tahun 2020 di Paris, Prancis.
Dinas Perkebunan Sumatera Selatan mencatat bahwa dalam setahun dapat memproduksi biji kopi kering mencapai 191.081 ton dengan lahan perkebunan kopi seluas 250.198 ribu hektare. Produksi tersebut berasal dari perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional.
Bahkan, menurut data Kementerian Pertanian pada 2020, produksi kopi di provinsi tersebut mencapai 199.324 ton. Produksi kopi Sumatera Selatan tersebut lebih dari seperempat produksi kopi nasional yaitu 773.410 ton.
Petani kopi tersebar di 12 kabupaten dan kota di Sumsel. Dari semua daerah itu, ada tujuh daerah yang potensial produksi kopinya yaitu Muaraenim, Empat Lawang, Pagaralam, Lahat, Musi Rawas, OKU, dan OKU Selatan.
Sejauh ini untuk kabupaten dan kota di Sumatera Selatan yang sudah mengantongi Sertifikat Indikasi Geografis (SIG) untuk kopi robustanya yakni baru tiga daerah yaitu Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Empat Lawang dan Kota Pagaralam.
Bukan itu saja, sejumlah kelompok petani kopi juga sudah ada yang mendapat Sertifikat Organik dari BIOcert. Mereka adalah Kelompok Tani (KT) Bhineka Tunggal Ika asal Desa Sumber Karya, Kecamatan Gumay Ulu, Kabupaten Lahat. Kemudian, KT Harapan Jaya asal Desa Pekuwolan, Kecamatan Buay Rawan dan KT Sinar Mulya asal Desa Bedeng Tiga, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan.
Menurut Herman Deru, cara berpikir dalam pengelolaan sektor kopi ini yang harus diubah mulai dari hulu hingga hilir.
Ke depan, bagaimana caranya agar dapat diintegrasikan antara kebun dan pabrik pengolahan sehingga merek dagang yang muncul yakni kopi Sumsel.
Dari sisi jenis kopi sejatinya Sumsel sudah layak memiliki merek sendiri karena memiliki semua jenis arabica, robusta dan liberika.
Untuk itu, petani perlu juga didampingi agar dapat berpikir lebih maju yakni dari sekadar buruh menjadi entrepreneur. Selama ini, pengepul yang memiliki margin lebih tinggi dibandingkan petani padahal yang menanggung biaya produksi yang tinggi itu merupakan petani.
“Ini harus ada solusinya, dan saya nilai perlu ada pendampingan bagi petani kopi bahkan termasuk termasuk pemberdayaan bagi para pegiat kopi,” kata dia.