Film dan upaya Arab Saudi meningkatkan citra modern
Jakarta (ANTARA) - Beberapa hari lalu bulan ini deretan pesohor kelas atas mulai Hilary Swank sampai Vincent Cassel turut meramaikan sebuah acara karpet merah yang biasanya berlangsung di Los Angeles, Paris, Venice, Toronto, atau semacamnya.
Superstar Formula 1 Lewis Hamilton dan bintang pop Justin Bieber yang memainkan lagu-lagu hitsnya di hadapan penonton yang membeli ludes tiket pertunjukannya, juga tak mau kalah.
Tapi mereka tidak melakukannya di Los Angeles dan kota-kota yang lama dikenal sebagai kibat dunia hiburan atau tempat-tempat kompetisi top olahraga.
Mereka melakukannya di Jeddah yang menjadi ibu kota budaya Arab Saudi yang terus menampilkan sisi berbeda dari negeri yang dulu dikenal tertutup bagi dunia hiburan itu.
Sejak 3 sampai 5 Desember, Jeddah menjadi tuan rumah Grand Prix Formula 1. Tetapi kalau mau jujur GP Saudi tak ada artinya dibandingkan dengan Festival Film Internasional Laut Merah yang membuat kota itu terlihat semakin terkenal, bertambah glamor dan kian artistik.
Diselenggarakan di Situs Warisan Dunia di bagian Kota Tua di Jeddah dari 6 sampai 15 Desember lalu, perhelatan sinema yang baru pertama diadakan setelah puluhan tahun Saudi mengharamkan film, menghadirkan pesohor-pesohor top dunia dan membuat dunia hiburan sejenak berpaling ke sana.
Saudi melarang film sejak awal 1980-an, tapi kini Saudi agaknya berambisi menjadi Hollywood padang pasir.
Bioskop-bioskop dibuka di mana-mana. Produser-produser asing dibujuk agar membuat film di Saudi. Miliaran dolar AS diinvestasikan untuk membawa industri film nasional pentas di panggung global.
Pada 2017, hanya film dokumenter yang boleh tayang di Saudi, tetapi setahun setelah itu "Black Panther" mengawali tayangnya sekitar 500-an judul film dalam kurun tiga tahun terakhir.
64 miliar dolar AS dibenamkan untuk memajukan industri hiburan Saudi sampai 2030 ketika tahun tersebut Saudi diproyeksikan menaikkan jumlah film sampai empat kali lipat menjadi 2.000 judul.
Saudi juga aktif membawa sineas-sineas terkemuka dunia yang beberapa di antaranya kerap hilir mudik di Timur Tengah.
Februari lalu Apple tv+ merilis "Cherry" yang mengisahkan seorang veteran tentara AS. Seting ceritanya di Irak, tapi pengambilan gambarnya dilakukan di Al Ula di Saudi barat laut.
Lewat konglomerasi media MBC Group, Saudi juga berkolaborasi dengan Thunder Road Films yang memproduksi "Sicario" yang memperoleh tiga nominasi Oscar beberapa tahun lalu, guna memproduksi film berjudul "Kandahar" yang turut diawaki aktor Gerard Butler.
Grup media Saudi itu juga berkolaborasi dengan AGC Studios dari Hollywood untuk membuat "Desert Warrior" yang beranggaran 140 juta dolar AS. Film berlatar Saudi abad ketujuh itu melibatkan aktor beken Anthony Mackie yang membintangi Avengers, Captain America, Hurt Locker dan banyak lagi.
Saudi juga menawarkan rabat 40 persen dari total biaya produksi film baik yang dibuat sineas setempat maupun sineas internasional. Insentif ini lebih tinggi daripada rabat 30 persen yang ditawarkan Uni Emirat Arab.
Soft power
Langkah-langkah agresif Saudi ini membuat negara-negara tetangga yang selama ini menjadi tempat langganan produksi film-film terkenal, menjadi tersaingi.
Salah satunya adalah Yordania yang mempunyai Wadi Rum di mana pengambilan gambar untuk film-film laris Hollywood sering dilakukan di sana, salah satunya “Dune”. Saudi sempat membujuk Hollywood agar membuat "Dune" di tanah Saudi.
Inisiatif membesarkan industri film Saudi adalah satu dari selaksa pemikiran reformis Pangeran Mohammed bin Salman yang dinobatkan sebagai putra mahkota pada 2017 dan menjadi penguasa de facto Saudi yang menentukan hampir segala urusan di negara itu.
Sang pangeran berusaha mengubah Saudi lebih terbuka, lebih modern, dan tak lagi menggantungkan diri kepada minyak, seperti termaktub dalam Visi 2030 yang dia canangkan demi memodernisasi Saudi.
Di tengah kontroversi yang meliputi dirinya, Mohamed bin Salman agresif mempromosikan wajah baru Saudi, termasuk mengenalkan serangkaian pergeseran sosial, mulai dari mencabut larangan mengemudi kendaraan bermotor bagi perempuan, sampai membolehkan pria dan wanita bareng dalam satu acara hiburan atau olahraga.
Kini, segala hal yang dulu dianggap mustahil bisa terjadi di Saudi, termasuk Festival Film Laut Merah yang dulu tak terbayangkan bakal ada festival film di Saudi.
"Ini titik balik, tapi kami masih menginginkan lebih," kata aktris Saudi Elham Ali kepada AFP saat momen karpet merah Festival Film Laut Merah lalu.
Rangkaian langkah Saudi dalam menampilkan wajah yang sama sekali baru itu ditempuh juga dengan melipatgandakan pengerahan soft power, mulai seni sampai olahraga dan sains, demi wajah baru Saudi itu.
Film dan sinema kini dipahami sebagai salah satu aspek soft power yang dapat membuka jalan bagi keberhasilan perubahan sosial dan ekonomi di Saudi.
Saudi sendiri kerap menunjuk Korea dan China sebagai referensi untuk bagaimana memoles diri lewat seni dan budaya agar bangsa semakin penting dalam konstelasi politik dunia.
K-Pop dan film-film Korea yang beriringan dengan penetrasi teknologi tinggi Korea ke segala penjuru jagat, membuat citra dan pengaruh Negeri Ginseng membesar di dunia.
Negara lain seperti Turki mengikutinya, dengan juga mengekspor film layar lebar dan layar kacanya, guna menaikkan citra globalnya yang bisa memperkuat Turki dalam banyak aspek hubungan internasional.
Saudi memahami semua ini. Negeri ini juga mencermati dua tetangganya di Teluk, yakni Qatar dan UEA, yang telah lama menggunakan soft power guna meningkatkan citra dan memupus gambaran buruk di mata dunia. Qatar dan UEA malah kini menjadi pemain besar dalam industri olahraga dan media.
Saudi berusaha mengikutinya. Ketika UEA dan Qatar memiliki Manchester City dan Paris Saint Germain, Saudi pun membeli Newcastle United yang terseok-seok musim ini namun diyakini bakal berubah sangat besar musim-musim mendatang.
Semua upaya yang ditempuh Saudi itu menyasar tiga hal, yakni menjadi langkah awal agar tak terlalu tergantung kepada minyak bumi, agar terhubung dengan kaum muda yang dominan dalam demografi Saudi, dan memupus citra internasional yang rusak terutama akibat kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi.
Banyak yang ragu, tapi banyak juga yang menyambut positif upaya Saudi dalam memperbaiki citra ini. Antusiasme cukup tinggi kepada GP Saudi dan Festival Film Laut Merah adalah dua dari sekian bukti sambutan positif khalayak terhadap langkah Saudi dalam mengubah citra yang lebih modern, lebih maju, lebih terbuka.
Superstar Formula 1 Lewis Hamilton dan bintang pop Justin Bieber yang memainkan lagu-lagu hitsnya di hadapan penonton yang membeli ludes tiket pertunjukannya, juga tak mau kalah.
Tapi mereka tidak melakukannya di Los Angeles dan kota-kota yang lama dikenal sebagai kibat dunia hiburan atau tempat-tempat kompetisi top olahraga.
Mereka melakukannya di Jeddah yang menjadi ibu kota budaya Arab Saudi yang terus menampilkan sisi berbeda dari negeri yang dulu dikenal tertutup bagi dunia hiburan itu.
Sejak 3 sampai 5 Desember, Jeddah menjadi tuan rumah Grand Prix Formula 1. Tetapi kalau mau jujur GP Saudi tak ada artinya dibandingkan dengan Festival Film Internasional Laut Merah yang membuat kota itu terlihat semakin terkenal, bertambah glamor dan kian artistik.
Diselenggarakan di Situs Warisan Dunia di bagian Kota Tua di Jeddah dari 6 sampai 15 Desember lalu, perhelatan sinema yang baru pertama diadakan setelah puluhan tahun Saudi mengharamkan film, menghadirkan pesohor-pesohor top dunia dan membuat dunia hiburan sejenak berpaling ke sana.
Saudi melarang film sejak awal 1980-an, tapi kini Saudi agaknya berambisi menjadi Hollywood padang pasir.
Bioskop-bioskop dibuka di mana-mana. Produser-produser asing dibujuk agar membuat film di Saudi. Miliaran dolar AS diinvestasikan untuk membawa industri film nasional pentas di panggung global.
Pada 2017, hanya film dokumenter yang boleh tayang di Saudi, tetapi setahun setelah itu "Black Panther" mengawali tayangnya sekitar 500-an judul film dalam kurun tiga tahun terakhir.
64 miliar dolar AS dibenamkan untuk memajukan industri hiburan Saudi sampai 2030 ketika tahun tersebut Saudi diproyeksikan menaikkan jumlah film sampai empat kali lipat menjadi 2.000 judul.
Saudi juga aktif membawa sineas-sineas terkemuka dunia yang beberapa di antaranya kerap hilir mudik di Timur Tengah.
Februari lalu Apple tv+ merilis "Cherry" yang mengisahkan seorang veteran tentara AS. Seting ceritanya di Irak, tapi pengambilan gambarnya dilakukan di Al Ula di Saudi barat laut.
Lewat konglomerasi media MBC Group, Saudi juga berkolaborasi dengan Thunder Road Films yang memproduksi "Sicario" yang memperoleh tiga nominasi Oscar beberapa tahun lalu, guna memproduksi film berjudul "Kandahar" yang turut diawaki aktor Gerard Butler.
Grup media Saudi itu juga berkolaborasi dengan AGC Studios dari Hollywood untuk membuat "Desert Warrior" yang beranggaran 140 juta dolar AS. Film berlatar Saudi abad ketujuh itu melibatkan aktor beken Anthony Mackie yang membintangi Avengers, Captain America, Hurt Locker dan banyak lagi.
Saudi juga menawarkan rabat 40 persen dari total biaya produksi film baik yang dibuat sineas setempat maupun sineas internasional. Insentif ini lebih tinggi daripada rabat 30 persen yang ditawarkan Uni Emirat Arab.
Soft power
Langkah-langkah agresif Saudi ini membuat negara-negara tetangga yang selama ini menjadi tempat langganan produksi film-film terkenal, menjadi tersaingi.
Salah satunya adalah Yordania yang mempunyai Wadi Rum di mana pengambilan gambar untuk film-film laris Hollywood sering dilakukan di sana, salah satunya “Dune”. Saudi sempat membujuk Hollywood agar membuat "Dune" di tanah Saudi.
Inisiatif membesarkan industri film Saudi adalah satu dari selaksa pemikiran reformis Pangeran Mohammed bin Salman yang dinobatkan sebagai putra mahkota pada 2017 dan menjadi penguasa de facto Saudi yang menentukan hampir segala urusan di negara itu.
Sang pangeran berusaha mengubah Saudi lebih terbuka, lebih modern, dan tak lagi menggantungkan diri kepada minyak, seperti termaktub dalam Visi 2030 yang dia canangkan demi memodernisasi Saudi.
Di tengah kontroversi yang meliputi dirinya, Mohamed bin Salman agresif mempromosikan wajah baru Saudi, termasuk mengenalkan serangkaian pergeseran sosial, mulai dari mencabut larangan mengemudi kendaraan bermotor bagi perempuan, sampai membolehkan pria dan wanita bareng dalam satu acara hiburan atau olahraga.
Kini, segala hal yang dulu dianggap mustahil bisa terjadi di Saudi, termasuk Festival Film Laut Merah yang dulu tak terbayangkan bakal ada festival film di Saudi.
"Ini titik balik, tapi kami masih menginginkan lebih," kata aktris Saudi Elham Ali kepada AFP saat momen karpet merah Festival Film Laut Merah lalu.
Rangkaian langkah Saudi dalam menampilkan wajah yang sama sekali baru itu ditempuh juga dengan melipatgandakan pengerahan soft power, mulai seni sampai olahraga dan sains, demi wajah baru Saudi itu.
Film dan sinema kini dipahami sebagai salah satu aspek soft power yang dapat membuka jalan bagi keberhasilan perubahan sosial dan ekonomi di Saudi.
Saudi sendiri kerap menunjuk Korea dan China sebagai referensi untuk bagaimana memoles diri lewat seni dan budaya agar bangsa semakin penting dalam konstelasi politik dunia.
K-Pop dan film-film Korea yang beriringan dengan penetrasi teknologi tinggi Korea ke segala penjuru jagat, membuat citra dan pengaruh Negeri Ginseng membesar di dunia.
Negara lain seperti Turki mengikutinya, dengan juga mengekspor film layar lebar dan layar kacanya, guna menaikkan citra globalnya yang bisa memperkuat Turki dalam banyak aspek hubungan internasional.
Saudi memahami semua ini. Negeri ini juga mencermati dua tetangganya di Teluk, yakni Qatar dan UEA, yang telah lama menggunakan soft power guna meningkatkan citra dan memupus gambaran buruk di mata dunia. Qatar dan UEA malah kini menjadi pemain besar dalam industri olahraga dan media.
Saudi berusaha mengikutinya. Ketika UEA dan Qatar memiliki Manchester City dan Paris Saint Germain, Saudi pun membeli Newcastle United yang terseok-seok musim ini namun diyakini bakal berubah sangat besar musim-musim mendatang.
Semua upaya yang ditempuh Saudi itu menyasar tiga hal, yakni menjadi langkah awal agar tak terlalu tergantung kepada minyak bumi, agar terhubung dengan kaum muda yang dominan dalam demografi Saudi, dan memupus citra internasional yang rusak terutama akibat kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi.
Banyak yang ragu, tapi banyak juga yang menyambut positif upaya Saudi dalam memperbaiki citra ini. Antusiasme cukup tinggi kepada GP Saudi dan Festival Film Laut Merah adalah dua dari sekian bukti sambutan positif khalayak terhadap langkah Saudi dalam mengubah citra yang lebih modern, lebih maju, lebih terbuka.