Jakarta (ANTARA) - Spanduk besar bertuliskan "Telur ayam Fresh, higienis, kaya nutrisi Vitamin A, B1, C" terlihat ketika memasuki salah satu supermarket yang terletak di pusat kota Jakarta.
Di rak-rak khusus protein hewani tersebut, telur ayam kemasan tersedia dengan berbagai promosi, mulai dari telur ayam pilihan, "fresh egg from local farm", hingga telur premium.Telur ayam yang sudah dikemas dalam bentuk "pack" itu dijual bervariasi, ada yang isi 6 butir, 10 butir dan 30 butir. Harganya jelas berbeda. Contohnya saja telur kemasan isi 6 butir (setengah kilogram) dihargai Rp17.000.
Sementara itu jika dibandingkan dengan di pasar atau warung kelontong, konsumen hanya perlu membayar Rp12.000 dengan jumlah butir yang sama, mengacu pada harga telur curah saat ini Rp24.000--Rp25.000 per kilogram.
Di balik perbedaan harga tersebut, tidak banyak konsumen yang mengetahui bahwa telur curah dengan promosi "telur pilihan" ini diproduksi dari budidaya peternakan ayam petelur (layer) yang hiegenis, bersertifikat dan menerapkan "biosecurity" 3 layer atau tiga zona.
Adapun penerapan Biosecurity 3 Zona adalah praktik pengelolaan perunggasan yang baik dan berstandar dengan membagi area peternakan menjadi tiga, yakni zona merah, kuning dan hijau.
Klasifikasi tiga zona dalam peternakan ini berfungsi agar populasi ayam lebih steril dan tidak terpapar oleh virus maupun bakteri yang berpotensi membuat turunnya kualitas telur yang diproduksi.
Pembagian zona dimulai dari zona merah atau area dengan risiko tinggi (high risk) karena zona ini terindikasi adanya pencemaran kuman maupun bakteri. Di area ini, kemungkinan cemaran bibit penyakit sangat banyak.
Oleh karenanya, area tersebut dikhususkan sebagai lokasi penerimaan dan penyimpanan boks bekas telur, lokasi penerimaan tamu seperti pembeli ayam/telur, maupun pengunjung lain seperti tetangga atau peternak lain.
Zona kuning dengan kategori "middle risk" merupakan zona transisi antara daerah kotor (merah) dan steril. Area ini hanya dibatasi untuk kendaraan yang penting seperti truk ransum, ayam DOC, dan lokasi tempat menyimpan boks telur yang sudah bersih. Akses ini hanya diperuntukkan bagi pekerja kandang.
Terakhir, zona hijau adalah zona steril dengan kategori "low risk" yang merupakan wilayah yang harus terlindungi dari kemungkinan kontaminasi penularan penyakit. Area ini merupakan kandang populasi ternak. Hanya pekerja kandang yang boleh masuk ke zona hijau.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita menjelaskan pentingnya menerapkan biosecurity tiga zona ini karena dapat mengendalikan penggunaan antimikroba pada unggas, serta mengurangi risiko terjadinya penyakit infeksi.
Selain itu, produk unggas yang dihasilkan dari peternakan biosecurity tiga zona ini lebih terjamin karena konsumen tidak perlu khawatir terdapat residu antibiotik.
"Kami mengingatkan jangan sampai terjadi 'antimicrobial resistence'. FAO sudah menyarankan untuk meminimalisasi penggunaan antibiotik terhadap hewan. Oleh karena itu, saya menggaungkan pentingnya biosecurity bagi peternak layer," kata Ketut.
Dalam kajian Balai Penelitian Veteriner Kementerian Pertanian, antibiotik banyak digunakan dalam industri peternakan sebagai pemacu pertumbuhan (antibiotic growth promotors/AGP). Penambahan AGP dalam pakan dapat meningkatan pertumbuhan hewan sampai dengan 4-8 persen dan meningkatkan konversi pakan dari 2 persen menjadi 5 persen.
Konsentrasi antibiotika yang ditambahkan dalam pakan ternak merupakan dosis rendah yaitu berkisar 2,5 – 12,5mg/kg. Namun penggunaannya secara terus menerus dapat memacu terjadinya resistensi bakteri patogen dan bakteri komensal dalam saluran pencernaan.
Apabila produk peternakan, seperti daging dan telur ayam, mengandung residu antibiotik dan dikonsumsi oleh manusia setiap hari, akan menyebabkan turunnya tingkat kesehatan masyarakat sebagai konsumen karena dapat menyebabkan alergi, keracunan, resiko karsinogenik dan teratogenik serta yang paling utama yaitu timbulnya resistensi antibiotika.
Dampak dari resistensi antibiotika dalam tubuh manusia akan mengakibatkan infeksi dan kegagalan pengibatan karena kebalnya imunitas.
Pada 2013, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat total kematian sebanyak 700 ribu jiwa akibat resistensi terhadap antibiotik. Angka ini bahkan diprediksi melonjak hingga 10 juta kematian pada 2050. Dari angka tersebut, hampir 40 persen di antaranya berasal dari wilayah Asia.
FAO menyatakan implementasi Biosecurity 3 Zona secara rutin dan konsisten di peternakan ayam petelur secara signifikan menurunkan penggunaan antibiotik 40 persen dan disinfektan 30 persen.
Untuk memudahkan konsumen mengenali produk unggas yang dihasilkan dari peternakan biosecurity ini, terdapat nomor kontrol veteriner (NKV) yang dicantumkan dalam kemasan telur.
Peternak yang memperoleh sertifikat NKV ini dapat memasarkan produk mereka ke supermarket, minimarket, bahkan diekspor ke luar negeri. Sertifikat NKV menjadi jaminan bahwa produk unggas memenuhi syarat Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).
Berdasarkan data Unit Khusus FAO di bidang Kesehatan Hewan (Emergency Center for Transboundary Animal Diseases/FAO ECTAD), baru ada sekitar 60 peternakan di Indonesia yang menerapkan biosekuriti tiga zona sebagai hasil pembinaan dari FAO.
"Peternak yang menerapkan biosekuriti binaan FAO ada sekitar 60 peternakan. Wilayahnya ada di Jawa Tengah, Banten, Lampung dan Sulawesi Selatan. Ini belum termasuk peternak swasta yang sudah mandiri menerapkan biosekuriti," kata National Technical Advisor FAO Alfred Kompudu.
Salah satu peternakan yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona telah dilakukan oleh Margaraya Farm yang berada di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.
Mengunjungi peternakan biosekuriti
"Harus mandi dulu ya sebelum masuk," begitu kata Rony Agustian (41) kepada pengunjung yang hendak memasuki peternakan miliknya, Margaraya Farm di Desa Rulung Raya, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.
Saat memasuki gerbang peternakan Margaraya Farm, pengunjung akan langsung mengetahui bahwa halaman depan sekaligus garasi mobil di rumah Rony merupakan zona merah peternakan ini. Cat merah terang di sekeliling tembok dan papan bertuliskan "Anda Berada pada Zona Merah" memperjelas keberadaan dan posisi kami.
Papan lainnya dengan anjuran untuk mengikuti rambu-rambu yang ada, seolah menjadi peringatan bagi para tamu untuk bersiap memasuki zona kuning, di sebelahnya. Sebuah pintu kecil menjadi perantara bagi tamu saat memasuki zona kuning atau kawasan tempat tinggal Rony bersama istri dan anaknya.
Tentu saja cat kuning juga tidak luput di area teras rumah Rony. Sambil Rony menyajikan telur rebus sebagai kudapan tamu, ia juga menjelaskan jadwal kerja karyawan dan prosedur berpakaian di area peternakan. Waktu kerja para karyawan dimulai pukul 07.30 sampai 17.00 WIB.
Di area ini pula, karyawan dan tamu yang berkepentingan harus mandi terlebih dahulu sebelum memasuki area kandang. Ada dua kamar mandi di luar rumah yang ditujukan untuk laki-laki, dan satu kamar mandi di dalam rumah untuk perempuan.
Seluruh badan harus terbilas air dari ujung kepala hingga kaki guna memastikan tidak ada debu dan kotoran yang nantinya dapat berbahaya jika tertular unggas. Setelah itu, karyawan harus mengenakan seragam khusus, seperti wearpack untuk lebih menjamin kebersihan.
Rony mengakui bahwa mengubah disiplin kepada karyawan-karyawannya memang tidaklah mudah, butuh waktu sekitar 1-2 bulan agar mereka adaptasi dan terbiasa untuk menerapkan kewajiban mandi sebelum memasuki kandang.
Meski sudah mandi di rumah, karyawan tetap diwajibkan mandi terlebih dahulu untuk mencegah agar bakteri berbahaya yang dibawa manusia tidak terpapar ke ayam ternak.
"Ya repot memang harus mandi lagi, padahal di rumah sudah mandi. Akhirnya sekalian saja, pagi-pagi mandi di sini langsung," kata Slamet, salah satu anak kandang di peternakan ini.
Dibekali seragam khusus wearpack dan sendal jepit, karyawan disemprotkan cairan disinfektan saat memasuki pintu berbahan seng menuju zona hijau, lokasi peternakan ayam.
Di zona hijau atau zona bersih dengan kategori low risk merupakan area terbatas, atau hanya karyawan yang berkepentingan khusus memasuki zona ini. Di area ini lah, 45.000 ekor ayam petelur milik Rony dipelihara.
Tidak ada bau menyengat ketika memasuki area peternakan ini. Di dalamnya, terdapat lima kandang dengan ukuran masing-masing 7,5 x 60 meter. Karyawan yang ingin memberi pakan atau meninjau kesehatan unggas, harus menaiki tangga terlebih dahulu karena bentuk kandang yang seperti rumah panggung.
Masing-masing kandang terisi 4.150 ekor ayam yang diberi pembatas setiap ekor unggas. Tepat di bawah posisi kandang, terdapat pipa silikon yang dibelah sebagai tempat pakan ternak.
Untuk mengubah peternakannya sesuai dengan terapan biosekuriti 3 zona, Rony harus merogoh biaya investasi sebesar Rp100 juta, namun masih bisa bertambah seiring dengan penambahan populasi dan perluasan kandang. Ia pun telah menerapkan sistem pengelolaan kandang yang baik ini sejak Januari 2019.
Awalnya, Rony tidak tertarik untuk membuat peternakannya sesuai dengan terapan biosecurity karena harus menambah biaya. Namun, edukasi dari Fakultas Peternakan Hewan Universitas Lampung (Unila) dan Pisar Petelur Nasional (PPN) telah menggerakkan Rony untuk menerapkan biosecurity agar produksi ayam lebih stabil.
Selama pendampingan dua bulan dari Unila, Rony mengaku tidak banyak yang diubah karena "layout" peternakannya sudah sesuai untuk diterapkan biosecurity. Hanya sejumlah fasilitas yang harus ditambah untuk menunjang pengelolaan ternak yang higienis, antara lain shower disinfektan, tempat untuk bedah bangkai dan perlengkapan kandang.
Menurut dia, pengelolaan ternak yang baik ini telah membuat produksi telur lebih stabil karena karyawan menjadi lebih disiplin dan teratur dalam memberi pakan ayam serta menjamin ayam dapat steril dari paparan bakteri.
"Dampaknya produksi lebih stabil sekitar 2 ton per hari, sedangkan sebelumnya lebih sedikit sekitar 3 persen, bahkan kalau kena penyakit bisa berkurang 10 persen dari produksi sekarang," kata Rony.
Sejak memulai usaha peternakan layer pada 2008, Rony kini memiliki total populasi ayam 45.000 ekor yang dibagi dalam dua lokasi peternakan, dari awalnya hanya sekitar 1.000 ekor ayam. Produksinya saat ini sekitar 2 ton per hari dan dijual secara curah di Provinsi Lampung.
Namun setelah peternakannya mendapat Sertifikat NKV pada Juni lalu, Rony bisa memasarkan produknya ke luar provinsi. Saat ini, ia mengaku bersiap memasarkan telur melalui distributor di Jakarta.
"Produksi telur 70-75 persen dipasarkan lokal di Lampung, sedangkan 25-30 persen ke Jakarta. Di sana sudah ada beberapa langganan kami yang siap menerima," katanya.
NKV untuk konsumen dan peternak
Nomor kontrol veteriner (NKV) selalu dicantumkan di dalam kemasan telur. Meski dari segi tampilan telur kemasan ini tidak berbeda dengan telur curah, produksinya berasal dari peternakan yang menjamin higienitas, serta memerhatikan kesehatan hewan.
Kementerian Pertanian mencatat sampai dengan Mei 2019, NKV yang sudah diterbitkan untuk budidaya ayam petelur sebanyak 48 unit usaha.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Kementan Syamsul Ma'rif menjelaskan pentingnya NKV bagi rantai konsumsi pangan adalah jaminan produk memenuhi aspek ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) serta dapat ditelusuri (traceability).
Selain itu, NKV juga meningkatkan daya saing produk untuk perluasan pasar dan ekspor. Kualitas produk unggas yang memiliki NKV level III (kategori cukup) hanya bisa dipasarkan di provinsi tempat peternakan tersebut berada, sedangkan level II (kategori baik/menuju kualifikasi ekspor) dapat dipasarkan ke luar provinsi di seluruh Indonesia. Sementara NKV level I (sangat baik/kualifikasi ekspor) dapat dipasarkan ke luar negeri.
"Unit usaha yang memiliki NKV memiliki peluang yang lebih besar untuk masuk ke ritel dan supermarket," kata Syamsul.
Sejauh ini kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi telur ber-NKV memang belum terbangun. Namun, Kementan berupaya untuk sosialisasi dan promosi produk ber-NKV, serta bahaya residu antibiotik kepada ibu-ibu PKK.