Pertarungan segitiga nan sengit di Liga Inggris

id Liga Inggris, Manchester City,Liverpool, Arsenal,berita palembang, berita sumsel

Pertarungan segitiga nan sengit di Liga Inggris

Striker Manchester Erling Haaland (kiri) berduel dengan bek tengah Liverpool Joel Matip dalam pertandingan Community Shield antara Liverpool dan Manchester City di Stadion King Power di Leicester pada 30 Juli 2022. (AFP/NIGEL RODDIS)

Jakarta (ANTARA) - Sama-sama menyisakan sebelas pertandingan liga, ketiga tim ini bersaing keras untuk finis pertama ketika tirai Liga Premier Inggris musim ini ditutup 19 Mei 2024.

Mereka terpaut satu dan dua poin satu sama lain, setelah sama-sama menuntaskan 27 pertandingan liga.

Liverpool sementara berada di puncak klasemen dengan 63 poin, disusul Manchester City dengan 62 poin, sedangkan Arsenal ketat membuntuti mereka pada peringkat ketiga dengan 61 poin.

Pada pekan ke-27, mereka memenangkan pertandingannya masing-masing. Liverpool membungkam Nottingham Forest dengan 1-0, City membabat seteru sekota Manchester United dengan 3-1, sedangkan Arsenal menelan Sheffield United dengan 6-0.

Memasuki tiga bulan terakhir kompetisi, performa ketiga tim ini kian menyeramkan saja.

Kita mulai dari Manchester City.

Sejak menyerah 0-1 kepada Aston Villa pada 7 Desember 2023, City tak terkalahkan dalam 20 pertandingan terakhirnya dalam berbagai kompetisi. Dari 20 laga itu hanya Crystal Palace dan Chelsea yang bisa menahan imbang mereka.

Keperkasaan mereka dikukuhkan dengan trofi Piala Dunia Klub setelah menelan Fluminense 4-0 dalam final turnamen itu pada 23 Desember 2023.

Itu merupakan trofi kedua City musim ini setelah Piala Super Eropa usai menaklukkan Sevilla dalam final 17 Agustus 2023.

The Reds sendiri tak kalah mengerikan, dan juga mengesankan.

Dihantam badai cedera yang menimpa pemain-pemain intinya, Liverpool justru memuncaki klasemen, bahkan merebut trofi pertama dari kemungkinan empat trofi yang bisa mereka raih musim ini.

Uniknya, mereka merengkuh trofi itu bersama pemain-pemain muda belum berpengalaman ketika pada 25 Februari mereka menaklukkan skuad super-mahal Chelsea pada final Piala Liga.

Sukses Piala Liga itu memberi pesan bahwa kualitas skuad Liverpool amat merata, sehingga tak ada beda antara pemain inti dan lapis kedua.

Setelah takluk 1-3 kepada Arsenal dalam pertandingan liga pada 4 Februari 2024, Liverpool tak terkalahkan dalam enam pertandingan terakhir, termasuk final Piala Liga melawan Chelsea itu dan pertandingan Piala FA melawan Southampton pada 29 Februari yang mereka menangkan 3-0.

Arsenal tak kalah menyeramkan. Setelah kalah dalam tiga pertandingan berturut-turut melawan West Ham United, Fulham dan Liverpool antara 29 Desember sampai 7 Januari, Arsenal tak pernah kalah dalam pertandingan liga. Mereka bahkan memasukkan total 31 gol dan hanya kebobolan 4 gol kala menghantam Crystal Palace, Nottingam Forest, West Ham United, Burnly, Newcastle United dan Sheffield United, selama periode itu.

Berbahaya dan tangguh

Baik City, Liverpool, maupun Arsenal sama-sama berbahaya di kotak penalti lawan, tapi juga tangguh menjaga daerah pertahanan sendiri.

Mereka adalah tiga tim Liga Inggris yang cuma kebobolan 20-an gol setelah 27 pertandingan liga, padahal tim-tim lain sudah kebobolan minimal 39 gol.

Mereka juga sudah mencetak gol di atas 60 gol, sehingga memiliki selisih gol antara 35 sampai 45 gol, ketika tim-tim lain memiliki selisih gol rendah yang bahkan minus.

Dengan semua catatan itu, wajar jika tiga tim berfilosofi sepak bola menyerang itu menjadi favorit-favorit juara liga musim ini.

Tetapi, apakah perjalanan ketiganya akan mulus sampai akhir musim?

Tentu saja tidak, karena dalam sebelas pertandingan berikutnya mereka menghadapi lawan-lawan yang bisa menyulitkan mereka.

Mereka juga harus memecah konsentrasi karena masih berkompetisi dan bahkan menjadi favorit juara di Liga Champions, Liga Europa dan Piala FA.

Namun sejauh ini, Pep Guardiola, Mikel Arteta dan Juergen Klopp yang akan mundur akhir musim ini, pandai mengelola dan memoles skuad, sehingga tak kekurangan modal untuk selalu tampil bagus dari laga ke laga, dalam kompetisi apa pun.

Meskipun demikian mereka tetap berpotensi tergelincir menghadapi tim-tim tertentu, termasuk akibat pertemuan di antara mereka sendiri.

Bagi Liverpool, laga 10 Maret pekan ini melawan Manchester City di Anfield adalah pertarungan terberatnya sebelum musim ini ditutup. Kabar baiknya, catatan City di Anfield tak terlalu bagus.

Jika berhasil menghindari jegalan City, Liverpool mungkin tak akan terlalu sulit mengatasi Manchester United dan Aston Villa meski bertanding di kandang lawan. Tetap saja The Reds harus hati-hati karena dua tim tersebut berpotensi memberi luka kepada mereka.

Akan halnya City, setelah melewati hadangan United akhir pekan lalu, laga di Anfield akhir pekan ini adalah pembuktian siapa yang lebih besar dari mereka pada musim ini.

Tergelincir di kandang The Reds bisa mempersulit langkah City, karena pada pekan-pekan berikutnya mereka akan diladeni Brighton, Arsenal, dan Tottenham bulan depan.

Perjalanan Arsenal berikutnya tak kalah menantang dan berliku.

Selain pertemuan dengan City pada 31 Maret itu, laga-laga sulit lainnya akan mereka hadapi kala bertandang ke kandang Brighton dan Wolves, disusul dua derbi London melawan Tottenham dan Chelsea, serta dijamu Manchester United pada 11 Mei yang mungkin sudah diperkuat seluruh pemain intinya yang cedera.

Di pacuan terdepan

Ketiga tim bisa saja tergelincir, tapi bisa juga makin perkasa sehingga lawan tetap kerepotan menghadapi mereka.

Yang jelas, mereka menghadirkan pertarungan tiga arah yang membuat periode akhir Liga Inggris musim ini kian mendebarkan, yang mungkin membuat mereka harus menuntaskan musim dengan selisih poin yang tipis.

Jika itu terjadi, maka untuk pertama kali sejak musim 2013-2014, tiga tim Liga Inggris bersaing ketat menjadi juara liga. Sepuluh tahun lalu itu, pertarungan sengit melibatkan Chelsea, City dan Liverpool.

Namun pertarungan tiga arah itu menunjukkan adanya kesenjangan yang makin besar di Liga Premier.

Dalam lima tahun pertama liga utama Inggris dinamai Liga Premier, rata-rata kesenjangan antar tim dalam liga hanya 11,4 poin, tapi dalam lima musim terakhir berlipat ganda menjadi 21,8 poin.

Kemampuan keuangan klub menjadi faktor besar di balik kesenjangan itu.

Pada musim 2000-2001, Manchester United yang memiliki skuad dengan gaji terbesar di liga, tapi besarannya hanya tiga kali lebih besar dibandingkan dengan Bradford City yang menjadi tim dengan gaji terendah pada musim itu.

Namun kini kesenjangan itu semakin lebar. Musim ini saja perbedaan antara skuad termahal (Manchester City dan United) dengan termurah (Luton Town) begitu besar. Luton hanya menganggarkan Rp499,8 miliar per tahun untuk gaji pemain, padahal City dan United mengalokasikan lebih dari Rp5,91 triliun.

Tapi, meminjam data dari laporan The Athletic beberapa hari lalu, perbedaan gaji di antara enam klub besar Liga Inggris atau ‘Big Six’ juga kian lebar.

Misalnya, Arsenal yang mengalokasikan Rp3,3 triliun dan Liverpool yang mengalokasikan Rp2,7 triliun, masih di bawah Manchester City.

Tapi ada kalanya gaji besar bukan jaminan sukses. Leicester City yang menjuarai Liga Premier musim 2015-2016 adalah contohnya.

Faktor-faktor seperti pelatih bisa membuat gaji tak lagi begitu penting. Itulah yang sedang dilakukan Mikel Arteta dan Jurgen Klopp yang memiliki skuad tak semahal Chelsea, City dan United.

Dengan bekal keuangan tak seroyal Chelsea, City dan United, tim asuhan Arteta dan Klopp selalu berada di pacuan terdepan dalam memburu status juara liga.

Apakah musim ini tetap menjadi milik City yang kaya raya, atau Arsenal dan Liverpool yang tak terlalu kaya dibandingkan dengan City? Pertanyaan itu mungkin baru bisa terjawab Mei nanti.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pertarungan segitiga nan sengit di Liga Inggris