Temuan studi baru didasarkan pada uji klinis acak selama 6 bulan yang dilakukan antara tahun 2014 dan 2015 di A Estrada, Spanyol yang bertujuan untuk menyelidiki efek diet Atlantik tradisional terhadap kesehatan manusia, khususnya sindrom metabolik (MetS) dan keberlanjutan lingkungan. Studi tersebut diterbitkan dalam jurnal Jama Network.
Sebanyak 574 peserta berusia 3 tahun hingga 85 tahun terlibat dalam studi ini. Dengan menggunakan tabel nomor acak yang dihasilkan oleh komputer, peserta secara acak dibagi dalam rasio 1:1 ke dalam kelompok intervensi dan kontrol.
Uji klinis ini menekankan penggunaan diet atlantik dengan makanan musiman segar, lokal, dan minim diproses, termasuk buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian utuh, dan minyak zaitun.
Semua peserta dinilai untuk asupan diet, aktivitas fisik, penggunaan obat, dan variabel lainnya pada awal dan setelah enam bulan.
"Dari 457 peserta tanpa MetS (sindrom metabolik) pada awal uji coba, 23 mengembangkan MetS selama tindak lanjut 6 bulan dalam kelompok intervensi, 17 dalam kelompok kontrol), terdapat penurunan yang signifikan dalam kasus MetS insiden untuk kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol," tulis para peneliti.
Namun, studi tersebut mencatat bahwa kelompok kontrol dan intervensi memiliki penurunan skor jejak karbon tanpa perbedaan yang signifikan.
"Temuan kami memberikan bukti penting potensi diet tradisional untuk mempercepat kemajuan menuju pencapaian SDG (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami sepenuhnya mekanisme yang mendasari hasil yang diamati dan untuk menentukan generalisabilitas temuan ini ke populasi lain dengan memperhitungkan variasi budaya dan diet dari setiap wilayah," kesimpulan dari para peneliti.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Diet atlantik bisa kurangi risiko sindrom metabolik