Jakarta (ANTARA) - Pemerintah gencar membangun jaringan jalan tol dalam upaya meningkatkan konektivitas antardaerah, sehingga pertumbuhan ekonomi nasional juga bisa dirasakan daerah-daerah lain di Indonesia.
Dalam konteks ini, termasuk pembangunan jaringan jalan tol Jakarta yang terhubung dengan daerah-daerah penyangga, menjadikan Jakarta tak lagi menjadi kota metropolitan, tetapi sudah menjadi megalopolitan, dengan jangkauan hingga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Apabila direkam dari langit, maka kondisi Jakarta dan sekitarnya, ibarat jaring laba-laba dengan jalan tol sebagai jaring utama serta jalan arteri sebagai penghubung.
Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apabila kediaman kita berdekatan dengan jalan tol atau malah dilewati, apakah bisa meminta pengelola (badan usaha jalan tol/ BUJT) membukakan akses.
Beberapa masyarakat yang tinggal di dekat jalan tol terkadang harus berkeliling dulu untuk menuju pintu tol terdekat, bahkan harus menembus kemacetan dulu baru bisa masuk jalan tol.
Beberapa pengembang ternyata berhasil membuka pintu tol di dekat kawasan perumahan. Pertanyaannya apakah hal ini dimungkinkan karena kalau kebijakan ini diterapkan, maka bisa saja semua pengembang di sepanjang jalan tol membuka akses langsung ke dalam tol.
Tentunya kebijakan menyediakan akses langsung ke dalam jalan tol bukan pilihan yang bijak. Kondisi demikian hanya akan membuat fungsi tol sebagai jalan bebas hambatan menjadi terhambat.
Terkait fakta itu, pengembang berdalih tidak membuka akses baru, hanya saja mereka membangun jalan akses sendiri yang mendekati atau terhubung dengan akses keluar/ masuk tol.