Melawan kekerasan terhadap jurnalis perempuan

id jurnalis,kekerasan jurnalis,berita sumsel, berita palembang

Melawan kekerasan terhadap jurnalis perempuan

Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kalimantan Selatan, menggelar dialog perempuan, di otel Batung Batulis, Kamis, 23/12/2022 (Antara/Istimewa)


Masalahnya adalah apakah ada hubungan kekerasan seksual dengan kualitas jurnalistik? Tentu perlu penelitian mendalam.

Jurnalis perempuan tidak sendiri.

Secara umum, kualitas jurnalistik di Indonesia masih masuk kategori sedang, yang ditunjukkan dengan skor Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) selama lima tahun terakhir berturut-turut di bawah 80. Skor IKP 2023 saja hanya 71.57, yang dapat dimaknai masih kurang berkualitas.

Dari 20 indikator IKP, ternyata kebebasan dari kekerasan, kebebasan mempraktikkan jurnalisme, kriminalisasi dan intimidasi mendapat angka merah.

Kondisi ini menunjukkan banyak faktor yang memicu kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan.


Beban ganda

Siapakah sebenarnya yang memikirkan nasib jurnalis perempuan Indonesia yang terabaikan karena kekerasan seksual?

Menurut Ketua Komisi Hukum dan Perundang-uandangan Dewan Pers Arif Zulkifli, Dewan Pers sekarang ini sedang menyusun pedoman peliputan kekerasan seksual dimulai dari ruang redaksi, sekaligus nantinya dapat menjadi dasar verifikasi faktual perusahaan pers.

Para jurnalis perempuan tidak hanya memikirkan bagaimana melawan kekerasan seksual, tapi juga menghadapi beban ganda sebagai jurnalis.

Dengan bekerja di media massa, mereka tidak hanya mencari dan menulis berita, tapi banyak di antaranya juga harus mencari iklan.

Bekerja di media massa, berarti jurnalis perempuan masuk ke dalam lingkaran sebuah industri komersil, yang selain mempunyai tugas dan fungsi sosial, juga harus profit oriented.

Ini berarti, jurnalis perempuan secara langsung atau tidak langsung juga ikut terlibat mencari keuntungan. Apalagi dengan konsep berita layak siar dan laku dijual, ini menunjukkan jurnalis perempuan menghadapi tugas berat.

Seorang jurnalis perempuan yang bekerja di media daring di Jakarta mengungkapkan bahwa ia harus mencari sekitar 40 berita setiap hari, sambil mencari iklan.

Menurut Shoemaker dan Rees (1996), ada lima lingkaran yang dapat mempengaruhi kerja di media, yakni rutinitas media, organisasi media, ekstra media, faktor ideologi, dan jurnalis itu sendiri.

Dengan demikian, jurnalis perempuan tidak bisa bekerja sendirian, karena dia juga berada dalam pusaran lima lingkaran tersebut.

Lingkaran-lingkaran tersebut sampai sekarang masih didominasi laki-laki, yang umumnya bersuara keras.

Di sisi lain, masih banyak jurnalis perempuan yang bekerja di perusahaan media yang masih miskin, karena hanya bergantung pada uang bulanan humas atau iklan pemerintah.

Di Padang, misalnya, masih ada kantor redaksi yang mengontrak ruko atau menumpang di ruang makan keluarga.

Bahkan, ada kantor redaksi dengan dinding kayu yang bersebelahan dengan bengkel atau tak jauh dari tempat pembuangan sampah.

Selain itu, banyak juga jurnalis perempuan ini tidak mempunyai penghasilan tetap, karena gajinya bergantung pada jumlah berita yang dibuatnya atau uang saku dari humas pemerintah daerah.