Palembang (ANTARA) - Mantan komisaris perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan meminta perlindungan hukum kepada Presiden RI Joko Widodo karena merasa dikriminalisasi oleh aparat kepolisian daerah (Polda) setempat.
Mantan komisaris PT. Campang Tiga yakni Mularis Djahri itu merasa dikriminalisasi setelah ia dan anaknya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan diduga secara sepihak oleh aparat Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumatera Selatan atas kasus yang menjeratnya, kata ketua tim kuasa hukum Mularis, Alex Noven saat memberikan keterangan resminya di Palembang, Selasa.
“Kami kirim surat ke Presiden Joko Widodo per 5 Agustus 2022 lalu perihal mohon perlindungan hukum, atas kesewenang-wenangan oknum aparat Ditreskrimsus Polda Sumsel yang menetapkan klien kami Mularis dan Hendra anaknya sebagai tersangka,” kata dia.
Alex menjelaskan, keyakinan tersebut berdasarkan karena kasus yang menjerat kliennya itu dilaporkan oleh oknum polisi bukan dilaporkan oleh pihak PT. Laju Perdana Indah (LPI) dengan bentuk laporan model A nomor LP/A-216/XII/2021/SPKT.Ditreskirmsus Polda Sumsel 15 Desember 2021.
Dalam laporan tersebut menyebutkan Mularis dan Hendra Saputra melalui PT. Campang Tiga yang mereka pimpin itu diduga telah melakukan tindak pidana perkebunan ilegal di atas lahan perkebunan milik PT. LPI seluas 4.384 hektare di Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur.
Baca juga: Polisi tetapkan Mularis sebagai tersangka pendudukan lahan perkebunan secara ilegal
Dalam laporan itu bahkan menyebutkan, kata dia, bapak dan anak tersebut juga disangkakan melakukan tindak pidana pencucian uang atas hasil pengolahan perkebunan sawit di atas lahan PT. LPI milik pengusaha besar nasional berinisial AS itu hingga mengalami kerugian.
Di mana, atas kasus dugaan tersebut Mularis dan Hendra ditetapkan sebagai tersangka lalu di tahan selama 60 hari di rumah tahanan Direktorat Tahanan dan Barang Bukti Polda Sumsel sebagaimana sesuai dengan surat yang diterbitkan Kejaksaan Tinggi Sumsel B-5633/L.6.4/Eku.1/7/2022, termasuk penyitaan dan pemblokiran aset PT. Campang Tiga.
“Menjadi bias semua sangkaan tersebut, karena jelas ini kasus perdata terkait sengketa tanah, bukan perkara pidana. Pertama kepemilikan PT. LPI atas lahan seluas 4.384 itu masih perlu dibuktikan, dibeli dari siapa dipergunakan untuk apa lahan itu. Lalu bagaimana bisa dikenakan pencucian uang yang mana pokok permasalahannya (sengketa tanah) itu belum dapat di buktikan,” kata dia.
Menurut dia, pihaknya memiliki cukup bukti-bukti otentik yang memiliki kekuatan hukum sempurna untuk membantah pengenaan Pasal 107 huruf (a) Juncto Pasal 55 juncto Pasal 65 Undang-undang (UU) nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto Pasal 3 UU nomor 39 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang yang disangkakan oleh penyidik itu.
Bukti itu di antaranya seperti izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan pengelolaan hasil perkebunan sawit dari Bupati Ogan Komering Ulu Timur terbit tahun 2004, 2006, 2007 di atas lahan total seluas 12 ribu hektar milik PT. Campang Tiga, lalu dasar kepemilikan atas SK Menteri/HGU, sertifikat HGU, SPH Kecamatan.
Bahkan, lanjutnya, di tahun 2006 dan tahun 2010 PT. Campang Tiga telah melaporkan PT. LPI terkait dugaan perbuatan pemalsuan surat tentang penerbitan sertifikat HGU nomor 3 tahun 2002, namun sampai saai ini belum naik ke tingkat Pengadilan.
Baca juga: Mantan calon Wali Kota Palembang Mularis Djahri terancam hukuman 20 tahun penjara
“Sehingga laporan atas dugaan yang disangkakan polisi kepada klien kami hingga mereka ditahan itu patut diduga sebagai upaya kriminalisasi atau Cruetly By Order. Perlu diketahui semua izin yang kami miliki itu sampai saat ini belum pernah dinyatakan palsu atau tidak sah,” kata dia.
Ia pun menyatakan lahan seluas 4.384 hektare yang diklaim PT. LPI tersebut sudah dikuasai oleh orang tua Mularis sejak tahun 1990 dengan dasar kepemilikan yang legalitasnya dapat dipertanggung jawabkan.
Kemudian PT. Campang Tiga mulai menanam pohon kelapa sawit di lahan itu pada tahun 1997 dan mampu memproduksi hasil turunannya berupa TBS dan CPO dengan memperkerjakan sebanyak 1.000 orang warga setempat sebagai karyawan sampai sekarang.
“Saat ini 1.000 karyawan PT.Campang Tiga saat ini terancam diberhentikan (PHK) karena operasional terhenti setelah dilakukan penangkapan, penahanan dan penyitaan aset rekening klien kami itu oleh oknum penyidik Ditreskrimsus yang tanpa ada alasan kuat, nyata dan dapat dipertanggung jawabkan patut diduga perbuatan kriminalisasi atau ada pesanan terselubung,” kata dia, didampingi anggota tim kuasa hukum Sudirman Hamidi.
Alex menyebutkan, semua bukti yang mereka miliki sudah dijabarkan dalam surat permohonan perlindungan hukum kepada Presiden RI Joko Widodo dengan harapan kasus dapat mengawal perjalanan kasus ini sehingga menjadi lebih berkeadilan kepada mereka, khususnya nasib para karyawan warga dari tiga desa di kecamatan Cempaka, Ogan Komering Ulu Timur.
Kuasai lahan
Adapun diketahui sebelumnya, Direktur Ditreskrimsus Polda Sumsel Kombes Pol. Barly Ramadhany mengatakan pada kasus tersebut penyidik Subdit IV Tipidter dan Subdit II Perbankan Ditreskrimum Polda Sumsel telah memintai keterangan sebanyak 23 saksi.
Saksi tersebut di antaranya yakni ahli pada bidang perkebunan, korporasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Kanwil ATR/BPN Sumsel, dan Perpajakan.
Berdasarkan penyidikan itu tersangka Mularis selaku mantan komisaris sekaligus direktur PT. Campang Tiga (2003-2016) diduga kuat sudah menduduki atau menguasai lahan perkebunan milik PT. LPI secara tidak sah, dengan cara melakukan pengolahan lahan, penanaman dan panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.
Hasil penyelidikan kepolisian atas barang bukti dan keterangan saksi diketahui PT. Campang Tiga milik tersangka Mularis memiliki surat HGU sekitar 1.200 hektar dari total seluas 5.400 hektar lahan yang digunakan, selebihnya seluas 4.384 hektar merupakan milik PT. LPI.
Baca juga: Polda Sumsel telusuri kerugian negara atas kasus Mularis kuasai lahan sawit 4.300 Ha
Sementara Barly menjelaskan, untuk terkait perkara TPPU yang disangkakan kepada Mularis diketahui tersangka juga diduga telah menjual hasil pengolahan TBS menjadi minyak CPO dan melakukan transaksi keuangan berupa penempatan, transfer dana dari pemanfaatan lahan secara tidak sah itu pada penyedia jasa keuangan.
“Penjualan CPO itu berlangsung selama tahun 2014-2021 hasil analisa ahli dari penjualan itu menghasilkan senilai Rp700 miliar yang patut diduga TTPU," kata dia, selanjutnya, tersangka membayar pembelian barang dan melakukan pembayaran utang dengan maksud menyembunyikan dan menyamarkan hasil kejahatannya.
Atas kasus tersebut saat ini tersangka Mularis sudah dilakukan penahanan di Dittahti Polda Sumsel sejak Senin (20/6) untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, kemudian menyusul pada Senin (8/8) Hendra Saputra selaku putra dari Mularis.