Jangan hanya bicara cintai produk Indonesia
Jawaban baru diterima Yon Ming setelah empat tahun. Akhirnya saya tersadar bahwa mana mungkin ada yang mau
Palembang (ANTARA) - Melahirkan produk sendiri yang merupakan buah karya anak bangsa bukanlah pekerjaan mudah, apalagi untuk barang-barang berteknologi tinggi.
Cercaan dari negara pesaing hingga tertutupnya pasar di dalam negeri sendiri menjadi kendala utama yang dihadapi para pioner.
Sebagai seorang yang berprofesi teknisi (engineer), Yon Ming kesal dan sekaligus marah ketika seorang berkebangsaan Italia dengan santai berkata kepadanya.
“Kenapa Indonesia susah-susah buat, mending beli saja produk kami,” kata dia saat ditemui Antara dalam sebuah pameran produk standarisasi minyak dan gas (migas) yang diselenggarakan SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Palembang, Rabu (6/7/22).
Ia menceritakan betapa jengkelnya ia waktu itu karena sudah hampir empat tahun mengajak perusahaan asal Italia tersebut untuk menjadi rekanan dalam pembuatan pabrik katup (valve).
Dalam industri migas katup digunakan sebagai alat pengatur volume aliran minyak atau gas di dalam pipa. Terdapat dua jenis katup yang umumnya dipakai di industri migas, yakni ball valve (bola katup), dan butterfly valve (katup kupu-kupu), dan Yon bermaksud membuat ball valve.
Insinyur mesin lulusan Universitas Sriwijaya ini pun menyadari bahwa dirinya sudah menjadi korban para pemberi harapan palsu (PHP).
Yon Ming yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Teknologi Rekayasa Katup memulai karir sebagai teknisi di pabrik milik PT TEL dan PT WKS yang keduanya bergerak di perkebunan. Selepas menamatkan pendidikan strata satu, ia memilih langsung bekerja.
Kemudian ia merambah karir lain dengan bekerja di sebuah perusahaan menjadi penjual katup untuk industri bertemperatur tinggi.
Karena itu ia sering mengunjungi sejumlah pabrik di negara-negara Eropa, di antaranya negara Italia sejak 2006.
Lama kelamaan, jiwa engineer-nya pun terketuk yakni ingin membuat produk tersebut karena menilai hal itu sangat mungkin dilakukan. Persoalan hanya pada teknologi, sementara untuk modal usaha dan tenaga kerja dapat diatasi melalui jaringan pertemanan dan keluarga di Indonesia.
Untuk itu pada 2008 ia pun mulai mewujudkan impian itu dengan menghubungi empat perusahaan asal Italia untuk diajak bekerja sama dalam konsep join venture, dan satu perusahaan asal Cekoslowakia.
Respon cepat langsung diberikan Cekoslowakia yang menyatakan menolak hanya dalam enam bulan setelah profosal diberikan, namun empat perusahaan asal Italia justru tidak memberikan jawaban meski terus menjalin komunikasi.
Jawaban baru diterima Yon Ming setelah empat tahun. “Akhirnya saya tersadar bahwa mana mungkin ada yang mau,” kata dia.
Namun di tengah keputusasaan itu, ia justru berjumpa dengan warga negara asing (WNA), seorang pensiunan kepala teknik di salah satu perusahaan terkemuka di Tanah Air, yang bersedia membantunya untuk mewujudkan cita-cita menghasilkan produk sendiri.
Singkat cerita, dengan mendapatkan suntikan modal dari salah satu anggota keluarga, ia mulai membuat produk katup atau sejenis keran yang dapat bertahan di suhu 400 derajat Celcius. Hingga akhirnya ia memiliki pabrik sendiri dengan ratusan pekerja di Cikande, Serang, Banten sejak 2015.
Usahanya pun bertahan hingga kini dengan menyasar pasar dalam negeri dan luar negeri dengan produksi 12.000 unit per tahun.
Jaga kualitas
Produk buatan PT Teknologi Rekayasa Katup yakni katup tersedia dalam ukuran 1 inci hingga 36 inchi, atau dari berat 1 kg hingga 20 ton.
Produk ini sudah berstandar migas asal Amerika Serikat sehingga banyak digunakan perusahaan KKKS dalam negeri dan luar negeri atau perusahaan yang bergerak pada industri bertemperatur tinggi.
Terkait kualitas, Yon Ming mengatakan dirinya enggan bermain-main. Produknya hanya memiliki satu level kualitas, berbeda dengan produk asal China yang terkadang mengklasifikasikan barang yang dibuat dari kualitas (KW) satu hingga 100.
Ia berkaca dengan kegagalan perusahaan serupa, yang lantaran ingin menurunkan biaya produksi sehingga penurunan kualitas barang dijadikan solusi.
“Kita tidak bisa sama dengan China, mereka memiliki pasar yang luas. Tidak laku di sini, cari pasar lain. Sementara kami, pasarnya sangat terbatas,” kata dia.
Sebagai engineer, ia menyadari bahwa dalam setiap produk yang dihasilkan dipastikan tidak sempurna 100 persen.
Terkadang persoalan ini menjadi permasalahan di masa datang, apalagi jika perusahaan sudah memutuskan penurunan kualitas dari awal maka dipastikan akan lebih bermasalah lagi. Artinya, perusahaan harus siap tidak diterima pasar, atau sama saja dengan bangkrut.
Namun, untuk menjaga kualitas barang ini bukanlah pekerjaan mudah karena harga-harga bahan baku di dalam negeri tergolong tinggi.
Sebut saja untuk baja yang menjadi bahan utama pembuatan katup, yang mana industrinya di Tanah Air tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Belum lagi, yang terkadang membuatnya miris yakni adanya upaya untuk menjatuhkan harkat dan martabat produk buatan Indonesia oleh negara-negara pesaing, mulai dari mengatakan produknya kurang bagus, lebih mahal tiga lipat dan banyak lagi.
Padahal, menurutnya, jika kita bandingkan secara fear maka produk buatannya unggul dari sisi kualitas dan harga atau berdaya saing.
Di dalam negeri pun ia merasa kurang mendapatkan tempat, terkadang perusahaan-perusahaan nasional lebih memilih mengorder produk asing dengan beragam alasan.
Memang ini lazim terjadi di industri mana pun (persaingan), tapi jika tidak ada keberpihakan maka produk Indonesia tidak akan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Negeri ini akan senantiasa menjadi pasar.
“Memang slogan cintai produk Indonesia itu sudah biasa didengar di telinga, tinggal lagi mau beli atau tidak,” kata dia.
Dewan Pembina Gabungan Asosiasi Usaha Penunjang Energi dan Migas Indonesia (Guspenmigas) Willem Siahaya mengatakan inilah yang menjadi persoalan produsen produk dalam negeri.
Sebelumnya, perusahaan-perusahaan ini berjuang sendiri. Lantaran peliknya masalah yang dihadapi lantas sebagian bersepakat membuat asosiasi. Namun disayangkan asosiasi yang terbentuk juga kurang mendapatkan respons dari pemerintah.
Lalu, para asosiasi ini mendirikan Guspenmigas yang membawahi 14 asosiasi sekaligus, dengan harapan dapat menjadi pemakaian produk dalam negeri itu sebagai hal wajib di industri Tanah Air.
Deputi Pengendalian Pengadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Satwiko mengatakan produk dalam negeri saat ini sudah sangat siap memenuhi kebutuhan sektor migas di Tanah Air sehingga SKK Migas menargetkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di industri hulu migas mencapai 60 persen pada 2022.
Berdasarkan data SKK Migas disebutkan pihaknya sudah berhasil meningkatkan realisasi TKDN di bidang barang dan jasa di industri hulu migas sebesar 63 persen pada Mei 2022, meskipun pemerintah hanya menetapkan target 57 persen pada 2022.
Namun diakui industri produk dalam negeri terkendala pada skala produksi, yang mana ketika perusahaan meningkatkan produksinya ternyata biaya produksi rata-rata tetap tinggi.
Oleh karena itu, SKK Migas akan membantu produk buatan dalam negeri itu bukan hanya mendapatkan tempat di dalam negeri tapi juga menyasar pasar global sehingga bisa meningkatkan skala ekonominya.
Salah satu upayanya yakni membantu memperkenalkan produk karya anak bangsa itu ke forum-forum internasional migas seperti yang dilakukan tahun ini di Kuala Lumpur, Malaysia dan Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, kata dia.
Bicara jargon Cinta Produk Indonesia ini sebenarnya sudah didengungkan sejak era pemerintahan Presiden Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu selalu menyelipkan kata berdikari dalam pidato-pidatonya sebagai wujud keengganan Indonesia untuk mengemis-ngemis dengan bangsa lain.
Lalu, pada era Presiden Soeharto muncul lagu "Aku Cinta Buatan Indonesia", kemudian pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono muncul istilah "100 persen cinta Indonesia".
Pada era kepemimpinan Presiden Jokowi, isu mengenai cinta produk buatan Indonesia ini dimunculkan dengan jargon "Bangga Buatan Indonesia", bahkan ada produk hukum turunannya dalam bentuk Keppres No 24 tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri.
Terlepas dari beragam upaya mulai dari sekadar mengajak hingga 'memaksa' untuk penggunaan produk dalam negeri tetap saja pertanyaan yang muncul mengapa produk dalam negeri selalu melipir. Apakah karena kita hanya cinta tapi tidak membeli ?.
Baca juga: SKK Migas: Produk dalam negeri sudah penuhi standarisasi migas
Baca juga: Pertamina resmikan SP Beringin dukung ketahanan energi nasional
Cercaan dari negara pesaing hingga tertutupnya pasar di dalam negeri sendiri menjadi kendala utama yang dihadapi para pioner.
Sebagai seorang yang berprofesi teknisi (engineer), Yon Ming kesal dan sekaligus marah ketika seorang berkebangsaan Italia dengan santai berkata kepadanya.
“Kenapa Indonesia susah-susah buat, mending beli saja produk kami,” kata dia saat ditemui Antara dalam sebuah pameran produk standarisasi minyak dan gas (migas) yang diselenggarakan SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Palembang, Rabu (6/7/22).
Ia menceritakan betapa jengkelnya ia waktu itu karena sudah hampir empat tahun mengajak perusahaan asal Italia tersebut untuk menjadi rekanan dalam pembuatan pabrik katup (valve).
Dalam industri migas katup digunakan sebagai alat pengatur volume aliran minyak atau gas di dalam pipa. Terdapat dua jenis katup yang umumnya dipakai di industri migas, yakni ball valve (bola katup), dan butterfly valve (katup kupu-kupu), dan Yon bermaksud membuat ball valve.
Insinyur mesin lulusan Universitas Sriwijaya ini pun menyadari bahwa dirinya sudah menjadi korban para pemberi harapan palsu (PHP).
Yon Ming yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Teknologi Rekayasa Katup memulai karir sebagai teknisi di pabrik milik PT TEL dan PT WKS yang keduanya bergerak di perkebunan. Selepas menamatkan pendidikan strata satu, ia memilih langsung bekerja.
Kemudian ia merambah karir lain dengan bekerja di sebuah perusahaan menjadi penjual katup untuk industri bertemperatur tinggi.
Karena itu ia sering mengunjungi sejumlah pabrik di negara-negara Eropa, di antaranya negara Italia sejak 2006.
Lama kelamaan, jiwa engineer-nya pun terketuk yakni ingin membuat produk tersebut karena menilai hal itu sangat mungkin dilakukan. Persoalan hanya pada teknologi, sementara untuk modal usaha dan tenaga kerja dapat diatasi melalui jaringan pertemanan dan keluarga di Indonesia.
Untuk itu pada 2008 ia pun mulai mewujudkan impian itu dengan menghubungi empat perusahaan asal Italia untuk diajak bekerja sama dalam konsep join venture, dan satu perusahaan asal Cekoslowakia.
Respon cepat langsung diberikan Cekoslowakia yang menyatakan menolak hanya dalam enam bulan setelah profosal diberikan, namun empat perusahaan asal Italia justru tidak memberikan jawaban meski terus menjalin komunikasi.
Jawaban baru diterima Yon Ming setelah empat tahun. “Akhirnya saya tersadar bahwa mana mungkin ada yang mau,” kata dia.
Namun di tengah keputusasaan itu, ia justru berjumpa dengan warga negara asing (WNA), seorang pensiunan kepala teknik di salah satu perusahaan terkemuka di Tanah Air, yang bersedia membantunya untuk mewujudkan cita-cita menghasilkan produk sendiri.
Singkat cerita, dengan mendapatkan suntikan modal dari salah satu anggota keluarga, ia mulai membuat produk katup atau sejenis keran yang dapat bertahan di suhu 400 derajat Celcius. Hingga akhirnya ia memiliki pabrik sendiri dengan ratusan pekerja di Cikande, Serang, Banten sejak 2015.
Usahanya pun bertahan hingga kini dengan menyasar pasar dalam negeri dan luar negeri dengan produksi 12.000 unit per tahun.
Jaga kualitas
Produk buatan PT Teknologi Rekayasa Katup yakni katup tersedia dalam ukuran 1 inci hingga 36 inchi, atau dari berat 1 kg hingga 20 ton.
Produk ini sudah berstandar migas asal Amerika Serikat sehingga banyak digunakan perusahaan KKKS dalam negeri dan luar negeri atau perusahaan yang bergerak pada industri bertemperatur tinggi.
Terkait kualitas, Yon Ming mengatakan dirinya enggan bermain-main. Produknya hanya memiliki satu level kualitas, berbeda dengan produk asal China yang terkadang mengklasifikasikan barang yang dibuat dari kualitas (KW) satu hingga 100.
Ia berkaca dengan kegagalan perusahaan serupa, yang lantaran ingin menurunkan biaya produksi sehingga penurunan kualitas barang dijadikan solusi.
“Kita tidak bisa sama dengan China, mereka memiliki pasar yang luas. Tidak laku di sini, cari pasar lain. Sementara kami, pasarnya sangat terbatas,” kata dia.
Sebagai engineer, ia menyadari bahwa dalam setiap produk yang dihasilkan dipastikan tidak sempurna 100 persen.
Terkadang persoalan ini menjadi permasalahan di masa datang, apalagi jika perusahaan sudah memutuskan penurunan kualitas dari awal maka dipastikan akan lebih bermasalah lagi. Artinya, perusahaan harus siap tidak diterima pasar, atau sama saja dengan bangkrut.
Namun, untuk menjaga kualitas barang ini bukanlah pekerjaan mudah karena harga-harga bahan baku di dalam negeri tergolong tinggi.
Sebut saja untuk baja yang menjadi bahan utama pembuatan katup, yang mana industrinya di Tanah Air tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Belum lagi, yang terkadang membuatnya miris yakni adanya upaya untuk menjatuhkan harkat dan martabat produk buatan Indonesia oleh negara-negara pesaing, mulai dari mengatakan produknya kurang bagus, lebih mahal tiga lipat dan banyak lagi.
Padahal, menurutnya, jika kita bandingkan secara fear maka produk buatannya unggul dari sisi kualitas dan harga atau berdaya saing.
Di dalam negeri pun ia merasa kurang mendapatkan tempat, terkadang perusahaan-perusahaan nasional lebih memilih mengorder produk asing dengan beragam alasan.
Memang ini lazim terjadi di industri mana pun (persaingan), tapi jika tidak ada keberpihakan maka produk Indonesia tidak akan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Negeri ini akan senantiasa menjadi pasar.
“Memang slogan cintai produk Indonesia itu sudah biasa didengar di telinga, tinggal lagi mau beli atau tidak,” kata dia.
Dewan Pembina Gabungan Asosiasi Usaha Penunjang Energi dan Migas Indonesia (Guspenmigas) Willem Siahaya mengatakan inilah yang menjadi persoalan produsen produk dalam negeri.
Sebelumnya, perusahaan-perusahaan ini berjuang sendiri. Lantaran peliknya masalah yang dihadapi lantas sebagian bersepakat membuat asosiasi. Namun disayangkan asosiasi yang terbentuk juga kurang mendapatkan respons dari pemerintah.
Lalu, para asosiasi ini mendirikan Guspenmigas yang membawahi 14 asosiasi sekaligus, dengan harapan dapat menjadi pemakaian produk dalam negeri itu sebagai hal wajib di industri Tanah Air.
Deputi Pengendalian Pengadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Satwiko mengatakan produk dalam negeri saat ini sudah sangat siap memenuhi kebutuhan sektor migas di Tanah Air sehingga SKK Migas menargetkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di industri hulu migas mencapai 60 persen pada 2022.
Berdasarkan data SKK Migas disebutkan pihaknya sudah berhasil meningkatkan realisasi TKDN di bidang barang dan jasa di industri hulu migas sebesar 63 persen pada Mei 2022, meskipun pemerintah hanya menetapkan target 57 persen pada 2022.
Namun diakui industri produk dalam negeri terkendala pada skala produksi, yang mana ketika perusahaan meningkatkan produksinya ternyata biaya produksi rata-rata tetap tinggi.
Oleh karena itu, SKK Migas akan membantu produk buatan dalam negeri itu bukan hanya mendapatkan tempat di dalam negeri tapi juga menyasar pasar global sehingga bisa meningkatkan skala ekonominya.
Salah satu upayanya yakni membantu memperkenalkan produk karya anak bangsa itu ke forum-forum internasional migas seperti yang dilakukan tahun ini di Kuala Lumpur, Malaysia dan Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, kata dia.
Bicara jargon Cinta Produk Indonesia ini sebenarnya sudah didengungkan sejak era pemerintahan Presiden Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu selalu menyelipkan kata berdikari dalam pidato-pidatonya sebagai wujud keengganan Indonesia untuk mengemis-ngemis dengan bangsa lain.
Lalu, pada era Presiden Soeharto muncul lagu "Aku Cinta Buatan Indonesia", kemudian pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono muncul istilah "100 persen cinta Indonesia".
Pada era kepemimpinan Presiden Jokowi, isu mengenai cinta produk buatan Indonesia ini dimunculkan dengan jargon "Bangga Buatan Indonesia", bahkan ada produk hukum turunannya dalam bentuk Keppres No 24 tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri.
Terlepas dari beragam upaya mulai dari sekadar mengajak hingga 'memaksa' untuk penggunaan produk dalam negeri tetap saja pertanyaan yang muncul mengapa produk dalam negeri selalu melipir. Apakah karena kita hanya cinta tapi tidak membeli ?.
Baca juga: SKK Migas: Produk dalam negeri sudah penuhi standarisasi migas
Baca juga: Pertamina resmikan SP Beringin dukung ketahanan energi nasional