Jakarta (ANTARA) - Di panggung pentas, Happy Salma membawakan kembali sosok Inggit Garnasih. Ketika lampu panggung mulai nyala, tokoh yang diperankannya itu tampak duduk dengan sahaja di sebuah kursi. Ia berkebaya, bersanggul, dan berselop. Di atasnya, cahaya lampu gantung berpijar temaram.
Sosok Inggit menggenggam kain rajut merah dan mulai menuturkan kisah perpisahannya dengan Kusno–nama kecil Soekarno–membuka lembar demi lembar perjalanan dan kenangan yang ia lalui bersama Soekarno selama 20 tahun pernikahan.
Kini Happy tak hanya bermonolog dalam artian konvensional. Selama pentas, ia beberapa kali bersenandung, diiringi gubahan musik dari komposer Dian HP dan konduktor Avip Priatna.
Di atas panggung, Happy juga tak sendirian. Tiga tokoh pendukung yang menjadi saksi hidup rumah tangga Inggit-Soekarno turut hadir. Ialah Ratna Djuami (diperankan oleh Jessica Januar), Kartika atau Omi (diperankan oleh Desak Putu Pandara Btari Patavika), serta Ibu Amsi–ibu kandung Inggit (diperankan oleh Ati Sriati).
Ketiga tokoh pendukung, yang sangat dekat dengan Inggit, bersenandung dengan melantunkan lirik-lirik yang bercerita. Tak ketinggalan paduan suara yang merdu pun menggelora memenuhi sudut-sudut ruang teater.
Happy mahir menempatkan diri sebagai sosok Inggit, bertutur dengan fasih walau cerita berjalan dengan alur bolak-balik. Penonton tenggelam tak hanya pada jalannya kisah, lebih dari itu, berbagai emosi yang tumpah di atas panggung–mulai dari sedih, bahagia, amarah, hingga sesekali jenaka–turut memberi warna dalam benak penonton.
“Ibu”, kekasih, sekaligus kawan Soekarno
Soekarno menikahi Inggit pada 24 Maret 1923. Kala itu, Soekarno masih menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) yang menumpang di rumah Haji Sanoesi–seorang pedagang dan aktivis Sarekat Islam yang kelak berstatus sebagai mantan suami Inggit.
Ketika keduanya bertemu dan saling jatuh cinta, Inggit masih bersuamikan Sanoesi sementara Soekarno masih beristrikan Siti Oetari–anak dari HOS Tjokroaminoto. Usia keduanya pun terpaut cukup jauh, Inggit hampir lima belas tahun lebih tua dari Soekarno.
Dalam roman yang ditulis Ramadhan K.H., diceritakan Sanoesi mencoba berlapang dada merelakan Inggit untuk menikah dengan Soekarno, dibarengi dengan syarat surat perjanjian yang meminta kepada Soekarno agar tak melukai hati Inggit di kemudian hari. Sementara Soekarno pada akhirnya memutuskan untuk bercerai dari Oetari dengan alasan hubungan mereka selama ini hanya seperti kakak-beradik.
“Akang telah katakan kepada Kusno, cintailah Enggit dengan sungguh-sungguh dan jangan terlantarkan dia. Saya tidak senang, tidak rela kalau mesti melihat Enggit hidup sengsara, baik lahir, maupun batin. Saya tidak rela kalau sampai mendengar kejadian menimpanya seperti itu,” kata Sanoesi kepada Inggit dalam “Kuantar ke Gerbang” karya Ramadhan K.H..
S.I. Poeradisastra melalui kata pengantarnya dalam roman Ramadhan K.H. itu memandang sosok Inggit sebagai perempuan tangguh yang bukan sekadar berperan sebagai pendamping Soekarno.
“Hanya Inggit Garnasih lah yang merupakan tiga di dalam satu diri; ibu, kekasih, dan kawan yang memberi tanpa meminta,” tulis S.I. Poeradisastra.
Inggit mewujudkan kasih ibu yang tampaknya tidak pernah didapatkan Soekarno sebelumnya. Bahkan tak hanya itu, ia mendukung ekonomi keluarga saat Soekarno memulai pergerakan di organisasi dan menghidupi Soekarno dengan berjualan jamu. Inggit jugalah yang mendorong Soekarno agar tak membengkalaikan studinya.
“Aku sudah tahu, bahwa aku belasan tahun lebih tua daripada Kusno. Aku sudah tahu bahwa pendidikanku jauh lebih rendah daripada pendidikannya. Aku sudah tahu bahwa Kusno mahasiswa. Aku merasa berkewajiban mengemongnya supaya ia cepat berkesampaian mendapatkan gelarnya,” kata Inggit dalam “Kuantar ke Gerbang”.
Kemudian, Inggit pula yang menjadi kawan Soekarno kala ia merawat semangat Soekarno saat ditahan di penjara Banceuy dan Sukamiskin. Sewaktu berkunjung ke penjara Banceuy, Inggit menyelipkan buku-buku untuk Soekarno di dalam kain kebayanya, buku-buku yang kemudian melahirkan pemikiran Soekarno dalam pledoi “Indonesia Menggugat”.
Inggit juga setia mendampingi Soekarno bertahun-tahun dalam pengasingannya di Ende, NTT, dan kemudian dipindahkan ke Bengkulu, hingga akhirnya dipulangkan kembali ke pulau Jawa melalui Padang, Sumatera Barat.
Tetapi pasangan itu mulai tidak lagi padu semenjak Soekarno menaruh hati pada Fatmawati, anak dari tokoh Muhammadiyah, selama mereka semua tinggal bersama di pengasingan Bengkulu. Konflik batin Inggit muncul sejak itu, dan semakin memuncak saat Soekarno meminta izin kepada Inggit untuk menikahi Fatmawati.
Ketika Soekarno akan melenggang di gerbang Istana di Jakarta, sekitar dua tahun menjelang kemerdekaan, Inggit mengemas barang-barang dan kenangan dalam koper tuanya untuk kembali ke Bandung.
Inggit memilih mempertahankan martabatnya sebagai perempuan dan menolak dimadu. Meski dijanjikan menjadi istri utama, Inggit memilih mengatakan tidak. Pasangan ini akhirnya resmi berpisah pada 1943.
Sosok Inggit, kata penulis naskah Ratna Ayu Budhiarti, tetap tegak bahkan setelah dihantam ombak. Itu pula yang ditampilkan dalam adegan penutup pertunjukan–ketika tirai panggung mulai turun perlahan, Inggit tetap berdiri dengan tegak walau kesedihan melanda kala melepas Soekarno.
Happy memandang sosok Inggit sebagai spirit tentang kejujuran dan cerminan kedalaman perasaan seorang perempuan. Kisah Soekarno-Inggit, kata Happy, merupakan fase yang tidak pernah dibicarakan dalam narasi sejarah besar, kisah yang ada di wilayah domestik para pendiri bangsa ini.
Sementara sutradara pertunjukan Wawan Sofwan memandang sosok Inggit sebagai ‘mentor kehidupan’ Soekarno selama 20 pernikahan. Sebuah proses menuju pendewasaan Soekarno, yang kata Poeradisastra, harus memulai hidup barunya tanpa Inggit saat berusia 40 tahunan.
“Soekarno merasa bahwa Inggit adalah semacam api untuk semangat hidup dia. Bagi saya itu sangat luar biasa, seorang perempuan domestik yang mengurus di belakang tapi mampu mendidik pendiri bangsa kita,” kata Wawan dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, naskah monolog “Inggit Garnasih” pernah ditulis oleh Ahda Imran. Namun untuk pementasan kali ini, naskah ditulis oleh penulis perempuan dengan harapan dapat lebih menonjolkan pergulatan batin seorang Inggit Garnasih.
Kembalinya gairah pentas teater
Ini bukan pertama kalinya monolog “Inggit Garnasih” diangkat ke panggung pentas. Titimangsa Foundation, yang dibesut oleh Happy Salma, sempat mementaskan monolog ini sekitar 13 kali pada periode 2011 hingga 2014 di Jakarta dan Bandung.
Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari Adrian menuturkan bahwa monolog “Inggit Garnasih” dapat dikatakan cikal bakal perjalanan Titimangsa dan Bakti Budaya Djarum Foundation.
“Saya ingat sekali waktu itu, sebelas tahun yang lalu, pertama kali saya dibawa sama Happy melihat pertunjukan ‘Inggit’ di Bandung. Waktu itu Happy bercerita dengan sangat berapi-api tentang ‘Inggit’ ini dan juga mimpinya ingin membawa ‘Inggit’ ke pentas besar,” kata Renitasari.
Musikal monolog “Inggit Garnasih” yang dipentaskan pada 19-21 Mei 2022 menjadi produksi teater ke-53 yang dihadirkan Titimangsa. Happy menegaskan produksi ke-53 ini menandakan kesetiaan dan kesungguhannya dalam memproduseri seni pertunjukan.
Walau monolog “Inggit Garnasih” telah dipentaskan berulangkali, serta selalu menggunakan sumber adaptasi yang sama yaitu roman “Kuantar ke Gerbang” karya Ramadhan K.H., Happy percaya gairah dalam bentuk seni pertunjukan akan selalu berbeda.
“Saya melihat pertunjukan-pertunjukan di luar negeri, seperti ‘The Sound of Music, ‘Hamlet’, atau apapun, bisa berulang-ulang kali dan tetap melihat ada geliat. Saya memberanikan diri dengan teman-teman, ‘Kenapa tidak?’” kata Happy.
Musikal monolog “Inggit Garnasih” telah direncanakan pentas pada 2020, namun tertunda akibat pandemi. Salah satu kekuatan pentas ini, kata Happy, hampir 50 persen pembeli tiket sejak 2020 enggan menukarkan kembali uangnya walau pentas ditunda bahkan nyaris dibatalkan.
Meski kuota penonton masih dibatasi 75 persen dari total kapasitas gedung, momen pentas “Inggit Garnasih” memberikan kegairahan untuk seni pertunjukan yang selama dua tahun terakhir banyak diadaptasi ke dalam bentuk rekaman daring dan dibagikan secara gratis.
Selama dua tahun menanti pentas besar dan berkali-kali ditunda, Wawan mengatakan pihaknya tetap bersiteguh menggelar musikal monolog secara langsung walau sempat tergoda untuk pindah ke medium daring. Ia percaya hari itu akan datang tepat pada waktunya.
Menurutnya, seni pertunjukan tak hanya berbicara hal-hal terkait di atas panggung melainkan juga interaksi sosial dan peristiwa budaya yang menyertainya. Ia berharap geliat seni pertunjukan akan tetap berlangsung seperti saat ini hingga pandemi benar-benar pulih seratus persen.
“Saya sangat terharu bukan pada pertunjukannya, tapi teman-teman yang pada menonton ke sini, berbondong-bondong memberikan suatu dorongan yang sangat positif dan energi yang sangat positif pada panggung. Dan itu saya pikir modal yang sangat besar untuk seni pertunjukan,” kata Wawan.
Menariknya berdampingan dengan pementasan, pameran lukisan “Merekam Inggit” dan live painting oleh Bayu Wardhana turut dihadirkan. Lukisan dibuat sebagai respon dari pementasan dan dilelang yang hasilnya ditujukan untuk mendukung Museum Inggit.
Menurut Agus Noor, sebagai kurator pameran, lukisan-lukisan karya Bayu memiliki keunikan sekaligus daya gugah. Dikenal dengan ketangkasannya dalam menangkap momen lanskap, kali ini Bayu menangkap momen puitik di panggung teater–emosi dan karakter yang bergerak diabadikan dalam kanvas.
“Dengan kata lain, lukisan-lukisan itu tak hanya menggambarkan apa yang terjadi selama proses dan pementasan, tetapi juga membuka ruang dialog untuk semakin memahami pergulatan batin seorang Inggit Ganarsih,” kata Agus Noor.