Jakarta (ANTARA) - Penelitian terbaru menyatakan bahwa tekanan untuk selalu merasa bahagia memiliki efek yang buruk pada kesejahteraan psikologis seseorang.
Istilah toxic positivity atau kondisi yang memaksa seseorang untuk berusaha dan berpikir positif dalam keadaan apapun, belakang lebih sering dibicarakan khususnya selama pandemi COVID-19.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan di Universitas Tilburg Belanda, menyatakan bahwa tekanan masyarakat untuk mengejar kebahagiaan ironisnya memiliki efek buruk pada kesejahteraan psikologis seseorang.
Hal ini terutama terjadi di negara-negara yang mendapat skor tinggi pada Indeks Kebahagiaan Dunia (World Happiness Index), dan memiliki standar kebahagiaan yang lebih tinggi.
"Ada hubungan yang kuat antara perasaan perlu bahagia dan sejauh mana orang benar-benar mengalami perasaan seperti kesedihan, kesuraman, kelelahan atau kecemasan," tulis penelitian tersebut dilansir Indian Express, Senin.
Penelitian lintas budaya ini dilakukan dengan lebih dari 7.400 peserta di 40 negara. Menguraikan hubungan antara tekanan masyarakat untuk bahagia dan kesejahteraan psikologis.
Studi tersebut mengamati bahwa di Belanda (urutan kelima dalam WHI 2021), hubungan antara tekanan untuk bahagia dan kesejahteraan psikologis untuk sebagian besar indikator sekitar dua kali lebih kuat dibandingkan dengan Uganda atau Ukraina (menempati 119 dan 110 dalam WHI 2021).
Kamna Chibber, Kepala Departemen Kesehatan Mental, Fortis Memorial Research Institute, Gurgaon, India mengatakan, penting untuk memusatkan perhatian pada penerimaan situasi dalam kehidupan. Mengalami masalah dan kesusahan dengan kondisi tertentu adalah hal yang normal.
"Sangat penting untuk menekankan bahwa meskipun tujuannya adalah untuk mengalami kegembiraan, tetap positif dan optimis, hal tersebut juga harus termasuk merangkul pengalaman dan emosi yang sulit dan tidak terus-menerus berusaha untuk menolak atau menyangkal kehadiran mereka," ujar Chibber.
Chibber menjelaskan bahwa penerimaan membutuhkan seseorang untuk hadir dan tidak berpaling dari situasi. Menyangkal, menjaga jarak dan meninggalkan kesedihan tidak akan membantu dalam menemukan resolusi.
"Sebaliknya, merangkul situasi dan mengakui apa yang terjadi pada Anda, emosi dan pikiran Anda, dan bagaimana hal itu mempengaruhi Anda sangat penting untuk bisa bergerak maju," katanya.
Pada saat yang sama, untuk mempertahankan sikap positif, mengenali ketidakkekalan pikiran, perasaan dan bahkan situasi serta menggunakannya sebagai cara untuk menghargai kebaikan yang ada, dapat membantu dalam memelihara keadaan kebahagiaan/kepuasan.
Berita Terkait
Kemenkes: Kasus COVID-19 tambah 2.234, terbanyak dari kota Jakarta
Selasa, 6 Desember 2022 9:26 Wib
Psikolog: "toxic parenting" sebabkan anak kurang percaya diri
Rabu, 6 Juli 2022 16:46 Wib
Kemenkes: Positif COVID-19 bertambah 218 kasus, tertinggi DKI 81 kasus
Senin, 30 Mei 2022 20:06 Wib
Kemenkes: Sudah 164.023.683 warga divaksinasi COVID-19 lengkap
Senin, 25 April 2022 19:09 Wib
Kemenkes: Angka 'positivity rate' COVID-19 kalangan nakes tinggi
Rabu, 9 Februari 2022 17:59 Wib
Mengenal "toxic positivity" dari sudut pandang "mindfulness"
Senin, 11 Oktober 2021 9:40 Wib
Epidemiolog: Positif COVID-19 Sumsel naik 47,35 persen usai lebaran
Kamis, 3 Juni 2021 15:34 Wib
"Positivity", tips Dewi sandra hadapi pandemi
Kamis, 1 Oktober 2020 15:04 Wib